Strategi Jenius Nvidia: Mahakarya Bisnis AI atau Ilusi Finansial?

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat

05 November 2025, 20.51

Penulis: Cak HP (Heru Prabowo)

Di dunia bisnis biasa, pabrik menjual barang, pembeli membayar, lalu cerita selesai. Tapi di dunia Jensen Huang, si pendiri Nvidia, kisah itu diputar balik seperti film fiksi ilmiah: vendor-nya ikut membiayai pembelinya. Begitu chip keluar dari pabrik, uang kembali lewat jalur investasi. Hasilnya? Valuasi Nvidia melesat ke 4,5 triliun dolar AS — setara 24 kali APBN Indonesia.

Apakah ini mahakarya strategi bisnis AI?

Atau justru ilusi finansial yang menunggu waktu untuk meletus?

 

đŸ•šī¸đŸ’ĩ

Dari Chip ke Cuan

Nvidia dulunya hanyalah pembuat chip grafis untuk gamer. Kini, di tangan Jensen Huang yang selalu memakai jaket kulit hitam itu, Nvidia menjelma jadi “tulang belakang peradaban AI.” Setiap kali ada startup kecerdasan buatan baru lahir, kemungkinan besar mereka butuh GPU Nvidia. Yang menarik: Nvidia bukan cuma menjual GPU — mereka juga ikut mendanai perusahaan-perusahaan yang akan membeli GPU itu.

Contohnya, Nvidia berinvestasi ke OpenAI, CoreWeave, Tesla AI, hingga Mistral AI di Eropa.

Bahkan perusahaan raksasa seperti Microsoft, AWS, Google Cloud, dan Oracle Cloud yang menjadi “penyalur GPU” pun mendapat sokongan teknologi dan kadang pendanaan strategis dari Nvidia.

Rantai uangnya seperti ini :

Investor → Nvidia → perusahaan hilir (AI, cloud, robotik) → pembelian GPU Nvidia → pendapatan Nvidia naik → harga saham Nvidia terbang → Nvidia punya lebih banyak modal untuk berinvestasi lagi.

Lingkaran ini menciptakan apa yang oleh sebagian analis disebut “funding flywheel” — roda pendanaan yang terus berputar tanpa jeda. Nvidia menjual chip dan sekaligus membiayai pembelian chip-nya sendiri.

 

🌀

Ekosistem atau Rekayasa?

Sebagian orang menyebut strategi ini ekosistem bisnis paling jenius abad ke-21. Nvidia memastikan pasar untuk produknya selalu hidup dan tumbuh. Bagi mereka, mendanai pembeli berarti memperpanjang umur bisnis sendiri. Namun, sebagian ekonom mengernyit. Mereka menyebutnya vendor financing atau financial engineering—sejenis “gelembung pembiayaan” yang bisa meledak jika antusiasme pasar turun. Khawatiran mereka sederhana: apa yang naik tanpa fondasi riil, cepat atau lambat akan jatuh.

Analogi klasiknya : seperti subprime mortgage tahun 2008, ketika bank memberi pinjaman ke pembeli rumah yang dibiayai dengan utang lain — hingga semuanya runtuh saat kepercayaan pasar hilang. Bedanya, Nvidia bukan menjual rumah, tapi menjual otak buatan.

 

💸

Uang, Ilusi, dan Inovasi

Yang membuat fenomena ini menarik adalah percampuran antara inovasi teknologi dan rekayasa finansial. Jensen Huang tahu, masa depan AI bukan hanya soal chip tercepat, tapi juga siapa yang mampu menciptakan pasar untuk chip itu. Alih-alih menunggu permintaan, Nvidia menciptakan permintaan itu sendiri — dengan cara membiayainya.

Apakah ini manipulasi? Tidak sepenuhnya.

Apakah ini berisiko? Sangat.

Namun, di dunia yang sedang fomo (fear of missing out) terhadap AI, risiko itu justru menjadi bahan bakar valuasi. Ketika pasar percaya, uang mengalir deras. Dan selama uang mengalir, Nvidia tetap jadi bintang paling terang di langit Silicon Valley.

 

âœī¸

Refleksi di Penghujung

Dalam satu dekade, mungkin kita akan menilai strategi ini dengan dua kemungkinan: Sebagai mahakarya bisnis digital, atau ilusi besar abad modern. Tapi yang pasti, Nvidia telah mengajarkan satu hal: Bahwa di zaman AI, nilai bukan lagi ditentukan oleh produk yang dijual, melainkan oleh cerita yang berhasil membuat orang percaya untuk membeli masa depan.

 

📖

Glosarium Mini

- GPU (Graphic Processing Unit): Prosesor khusus untuk komputasi paralel, sangat penting dalam AI dan machine learning.

- Vendor Financing: Strategi ketika pemasok membiayai pelanggan untuk membeli produknya sendiri.

- Financial Engineering: Rekayasa keuangan untuk meningkatkan valuasi atau kinerja bisnis, sering kali lewat investasi internal.

- Valuasi: Nilai ekonomi perusahaan, sering mencerminkan ekspektasi pasar, bukan keuntungan riil.

- FOMO (Fear of Missing Out): Ketakutan tertinggal tren yang mendorong perilaku investasi spekulatif.

.

Daftar Pustaka 

Azhar, R. M., & Kiendra, R. M. (2019). System as Integration Concept in Industrial Engineering and Islam. Proceedings of INCRE 2019. DOI:10.4108/eai.8-10-2019.2294528

Financial Times. (2024). Nvidia invests in AI start-ups buying its own chips. Retrieved from https://www.ft.com/

The Economist. (2024). The Nvidia Flywheel: How a chipmaker became a market maker for AI.

Bloomberg. (2025). Jensen Huang’s trillion-dollar loop: Inside Nvidia’s AI ecosystem.

CNBC. (2025). Is Nvidia’s rise sustainable? Analysts split over AI investment bubble.