Strategi Hidrogen Nasional Indonesia Menyiapkan Tahap untuk Proyek-Proyek Percontohan dan Investasi Baru

Dipublikasikan oleh Nurul Aeni Azizah Sari

08 Juni 2024, 08.33

Sumber: Pinterest.com

  • Strategi nasional berfungsi sebagai referensi untuk pengembangan hidrogen
  • Hidrogen rendah karbon untuk menggantikan bahan bakar fosil dalam industri dan tenaga listrik pada tahun 2060
  • Industri akan tumbuh setelah tahun 2030 dengan penggunaan yang lebih luas di berbagai sektor

Strategi hidrogen nasional Indonesia yang baru-baru ini dirilis memberikan sinyal kebijakan kepada perusahaan-perusahaan energi milik negara dan swasta untuk melanjutkan proyek-proyek percontohan dan membingkai peran bahan bakar baru ini dalam bauran energi jangka panjang Indonesia, demikian menurut para analis.

Direktorat Jenderal energi baru, Terbarukan, dan konservasi energi (EBTKE), di bawah Kementerian energi dan sumber daya mineral (ESDM), menerbitkan laporan strategi hidrogen Nasional. Dokumen ini akan berfungsi sebagai referensi untuk pengembangan hidrogen di Indonesia, kata Andriah Feby Misna, kepala direktorat tersebut kepada S&P Global Commodity Insights pada tanggal 3 Januari.

Misna mengatakan bahwa hidrogen diharapkan menjadi salah satu kontributor utama dalam transisi energi di Indonesia dan juga menjadi salah satu strategi utama pemerintah dalam mengimplementasikan peta jalan menuju Net Zero Emission pada tahun 2060. Dalam peta jalan tersebut, pertumbuhan permintaan dimulai dari tahun 2030, dengan penggunaan hidrogen hijau di sektor transportasi pada tahun 2031, dan di sektor industri pada tahun 2041 untuk menggantikan gas alam dan fosil untuk proses pemanasan suhu tinggi. Strategi Indonesia adalah memulai dengan hidrogen rendah karbon dan secara bertahap beralih ke hidrogen hijau ketika keekonomian proyek dapat bersaing dengan sumber energi lainnya, dengan tujuan menciptakan ekonomi hidrogen, kata Misna.

Tujuan yang ambisius
Strategi ini mengharapkan hidrogen rendah karbon untuk menggantikan bahan bakar fosil di semua industri dan pembangkit listrik dan menjadi salah satu bahan bakar utama di sektor transportasi pada tahun 2060, bersama dengan kendaraan listrik yang juga ditenagai oleh listrik rendah karbon.

“Sangat penting untuk melihat keyakinan yang begitu besar terhadap potensi hidrogen sebagai bahan bakar untuk melakukan dekarbonisasi, meskipun waktunya masih cukup lama,” ujar Johan Utama, analis riset utama, Gas, Power, dan Solusi Iklim di S&P Global Commodity Insights.

“Strategi ini akan menjadi kerangka acuan bagi organisasi-organisasi lain di seluruh pemerintahan untuk merumuskan kebijakan-kebijakan yang mendukung. Dampak jangka pendeknya adalah memungkinkan badan-badan usaha milik negara seperti perusahaan minyak nasional Pertamina, perusahaan pupuk Pupuk Indonesia, dan perusahaan listrik negara PLN untuk bergerak maju dalam proyek-proyek percontohan untuk memproduksi dan mengkonsumsi hidrogen rendah karbon,” kata Utama.

Ia mengatakan bahwa meskipun strategi ini bertujuan untuk mengekspor, namun dekarbonisasi dan pemenuhan kebutuhan energi dalam negeri menjadi fokus utama. Selain itu, meskipun tidak ada target pasti yang disebutkan, perkiraan permintaan dari Pertamina di bawah dua skenario berkisar antara 0,9 juta mt/tahun hingga 8 juta mt/tahun untuk hidrogen rendah karbon pada tahun 2040, dan perkiraan permintaan dari IEA menunjukkan sekitar 800 Peta Joule (sekitar 5,6 juta mt) pada tahun 2060, kata Utama.

Total produksi listrik dari produksi hidrogen diperkirakan akan mencapai sekitar 220 terawatt-jam pada tahun 2060, hampir sama dengan total permintaan saat ini di semua sektor, menurut IEA. IEA mengatakan dalam laporannya di bulan September 2022 bahwa hidrogen dan bahan bakar berbasis hidrogen merupakan teknologi yang saat ini belum tersedia secara komersial di Indonesia, tetapi akan memenuhi sekitar seperempat pengurangan emisi pada tahun 2050. Bahan bakar berbasis hidrogen mengacu pada amonia dan hidrokarbon sintetis, seperti metana sintetis dan produk minyak sintetis.

Tiga pilar strategis
Strategi hidrogen Indonesia memiliki tiga pilar: mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil untuk memastikan ketahanan energi, mengembangkan pasar hidrogen domestik, dan mengekspor hidrogen dan turunannya ke pasar global, kata Misna. Indonesia saat ini mengkonsumsi sekitar 1,75 juta mt/tahun hidrogen, terutama sebagai bahan baku untuk sektor pupuk, amonia, dan penyulingan minyak, menurut laporan tersebut.

Misna mengatakan bahwa pengembangan hidrogen di Indonesia masih dalam tahap penelitian dan proyek percontohan, dan industri ini diproyeksikan akan berkembang setelah tahun 2030 dengan penggunaan yang lebih luas di kendaraan, pembangkit listrik, penyimpanan energi, dan dekarbonisasi sektor-sektor yang sulit untuk dikurangi seperti pelayaran, penerbangan, produksi baja, manufaktur, dan transportasi jarak jauh.

Dokumen tersebut juga menyebutkan bahwa Indonesia memiliki potensi sumber daya energi terbarukan yang melimpah untuk memproduksi hidrogen, dengan total potensi energi baru dan terbarukan (EBT) sekitar 3.689 GW, dimana hanya 0,3% yang telah dimanfaatkan sejauh ini.

Menurut pemodelan NZE yang disediakan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, permintaan hidrogen rendah karbon dari berbagai industri diperkirakan akan meningkat antara tahun 2031 dan 2060. Transportasi hidrogen rendah karbon akan dimulai dengan 26.000 barel setara minyak (atau 0,04 TWh untuk truk jalan raya) pada tahun 2031 dan tumbuh menjadi 52,5 juta barel setara minyak (89 TWh untuk perkapalan dan angkutan truk) pada tahun 2060, demikian laporan tersebut.

Penggunaan hidrogen rendah karbon di sektor industri akan dimulai dengan 2,8 TWh pada tahun 2041 dan berkembang menjadi 79 TWh pada tahun 2060. Dari jumlah tersebut, industri logam, keramik, dan kertas diperkirakan akan mencapai 29 TWh pada tahun 2060. Strategi hidrogen ini menegaskan kembali peta jalan dekarbonisasi PLN dan IEA, di mana 220 TWh pembangkit listrik melalui hidrogen pada tahun 2060 akan menggantikan pembangkit listrik berbasis gas dan pembakaran batu bara.

Dokumen tersebut juga menyatakan bahwa hambatan utama adalah pasokan-permintaan yang tidak dapat diprediksi dan penggunaan hidrogen rendah karbon masih terbatas karena ketidakjelasan peraturan. Hingga saat ini, Indonesia belum memiliki produksi hidrogen rendah karbon dan tidak memiliki strategi jangka panjang atau pasar, dan saat ini tidak ada peraturan formal untuk sektor ini. Terdapat tantangan infrastruktur karena produksi hidrogen harus diangkut ke tujuan akhir. Infrastruktur penyimpanan hidrogen juga diperlukan untuk menyeimbangkan pasokan dan permintaan hidrogen, dan investasi infrastruktur yang rendah akan menghambat pengembangan hidrogen, kata para analis.

Disadur dari: spglobal.com