Seni Aktivisme Lingkungan di Indonesia: Pergeseran Cakrawala

Dipublikasikan oleh Syayyidatur Rosyida

22 Juni 2024, 06.35

sumber: pixabay.com

Buku Seni Aktivisme Lingkungan di Indonesia karya Edwin Jurriens mengisi kekosongan dalam literatur seni dan aktivisme. Buku ini mengupas tuntas interaksi antara seni kontemporer dan aktivisme lingkungan di Indonesia sejak akhir 1960-an hingga awal 2020-an. Bagian-bagian dalam buku ini dikategorikan berdasarkan konsep utama yang disorot dalam subjudul buku ini: pergeseran cakrawala. Buku ini melintasi periode-periode penting dalam sejarah, menyoroti peran seni dalam mendorong kesadaran ekologis dan mempengaruhi respons masyarakat terhadap krisis lingkungan.

Konsep 'artivisme' menjadi pusat perhatian, dengan menekankan peran penting seni dalam aktivisme. Buku ini menilai potensi dan keterbatasan artivisme lingkungan di Indonesia, dengan menggunakan latar belakang dinamika seni rupa dan transformasi sosial di Indonesia. Dengan memberikan gambaran menyeluruh mengenai seni kontemporer di Indonesia, buku ini menganalisis para seniman yang menangani isu-isu lingkungan yang mendesak. 

Bab-bab awal buku ini merefleksikan hubungan Indonesia yang kompleks dengan lingkungan alam dan budayanya. Pameran tunggal seniman Setu Legi mengeksplorasi "Tanah Air," yang merujuk pada tanah dan air. Jurriens membahas aspek gender dan agama dalam keterlibatan lingkungan di Indonesia, dengan menampilkan karya seniman Arahmaiani. Buku ini menekankan keterkaitan antara fenomena alam dan budaya Indonesia yang beragam dan bagaimana seni berkontribusi pada kesadaran ekologis.

Dengan latar belakang pembangunan bangsa pasca-kemerdekaan, narasi buku ini menyoroti bagaimana faktor politik, terutama selama rezim Orde Baru, berdampak pada lingkungan dan membatasi kebebasan berpendapat. Pembangunan ekonomi, di bawah "Bapak Pembangunan" Suharto, memprioritaskan daerah-daerah di pusat, yang menyebabkan kesenjangan ekonomi dan eksploitasi lingkungan.

Seniman modern dan kontemporer dari berbagai daerah di Indonesia merespons dampak lingkungan, mempolitisasi dan menyejarah isu-isu ekologi. Teks ini memperkenalkan konsep "artivisme," yang menekankan peran seni dalam menghubungkan masyarakat dengan kepedulian terhadap lingkungan dan menginspirasi hubungan yang berkelanjutan antara manusia dan alam.

Para seniman menggunakan beragam strategi, termasuk lukisan realistis, karya kolaboratif, dan proyek-proyek lainnya, yang membahas isu-isu seperti polusi air, reklamasi, filosofi spiritual, dan jaringan perkotaan-pedesaan. Buku ini menekankan potensi 'karya seni pascabencana alam' untuk meningkatkan kesadaran akan kesetaraan sosial-budaya, politik, dan ekonomi yang berkaitan dengan bencana alam.

Buku ini memberikan eksplorasi komprehensif mengenai seni kontemporer Indonesia, yang berpusat pada tema besar "pergeseran cakrawala". Cakrawala ini melambangkan perspektif yang berkembang dan representasi artistik yang beragam dari lingkungan alam, yang beresonansi dengan seruan para seniman akan pendekatan sosial-politik alternatif untuk mengatasi tantangan lingkungan kontemporer.

Narasi ini dimulai dengan menelaah perubahan dan variasi representasi artistik lingkungan alam. Diskusi ini meluas ke seruan para seniman akan sikap sosial-politik dan budaya alternatif untuk mengatasi tantangan lingkungan yang kompleks, terutama dalam menanggapi representasi visual yang disahkan secara resmi selama masa penjajahan Belanda dan Orde Baru.

Analisis ini kemudian beralih ke peran seni kontemporer dalam mengatasi kompleksitas 'Kapitalosen', mengeksplorasi dampak kapitalisme terhadap lanskap sosial-budaya dan alam Indonesia. Bab "Citra Kapitalosen" mengkaji tanggapan seniman Indonesia terhadap tantangan lingkungan di era Antroposen, dengan menekankan peran seni dalam melawan desensitisasi. Buku ini mengadvokasi untuk mempromosikan nilai-nilai non-kapitalis dan eksperimen inovatif, menekankan peran ekologi media dalam mengatasi kerusakan lingkungan. Buku ini menggarisbawahi relevansi Kapitalisme dalam seni lingkungan di Indonesia, mengeksplorasi respons Grup Bakrie terhadap bencana lumpur Sidoarjo dan menekankan potensi kreativitas yang luar biasa untuk melawan kekuatan-kekuatan dominan. 

"Seni Aktivisme" mengeksplorasi peran seni kontemporer dalam menjawab tantangan di masa Kapur, menavigasi berbagai 'arus kontemporer' dan memperkenalkan 'aktivisme'. Buku ini menekankan saling ketergantungan antara seni dan aktivisme, mengeksplorasi kontribusi seniman Indonesia dalam menghadapi tantangan sosial-politik. Bab tentang artivisme lingkungan awal berfokus pada Moelyono, menyoroti 'seni penyadaran' sang perintis dan kontribusinya dalam menyatukan para seniman-aktivis. Ide-ide kreatif dan praktik-praktik kreatif seniman perintis Indonesia, Moelyono, ditelaah secara mendetail.

Fokusnya kemudian bergeser ke budaya visual kolonialisme Belanda dan Orde Baru, membedah penggambaran romantisme lanskap pedesaan. Seniman kontemporer Maryanto dan Setu Legi muncul sebagai suara yang mengkritik budaya visual yang eksploitatif, mempersonalisasi dan mempolitisasi ancaman lingkungan, terutama yang berkaitan dengan perkebunan kelapa sawit. Kesenian Maranta dan Setu Legi, mengkritik pemetaan spasial historis, dan menyikapi kontrol politik dan dampak sponsor korporasi terhadap kesenian.

Konsep 'ruang pengecualian' dalam karya seni Maryanto mengkritik eksploitasi lingkungan pasca-Orde Baru. Setu Legi, yang berakar kuat pada politik dan ekologi, membuat karya eko-estetika yang beraneka ragam, menawarkan pemahaman yang bernuansa persinggungan sosial-politik dan ekologi. Pameran 'Tanah Air' melambangkan signifikansi budaya Indonesia dan mengkritik kepentingan komersial. Dengan mengeksplorasi navigasi Legi terhadap agama, politik, dan lingkungan, menantang asumsi dan mempromosikan "multinaturalisme" untuk multikulturalisme. Secara keseluruhan, buku ini memberikan eksplorasi yang komprehensif tentang lanskap lingkungan dan budaya Indonesia, menghubungkan konteks historis dengan tantangan kontemporer.

Kemudian, narasi ini meluas ke modernisasi Jakarta dari tahun 1960-an hingga 1980-an, menganalisis tanggapan para seniman terhadap urbanisasi. Lukisan-lukisan Sudjojono yang menggambarkan transisi dari Sukarno ke Soeharto dan Gerakan Seni Rupa Baru yang menentang rezim Soeharto dieksplorasi.

Generasi seniman yang lebih muda, yang diidentifikasi sebagai penduduk asli perkotaan, menjadi sorotan, mengkritik Generasi '66 dan merefleksikan gaya hidup konsumerisme penduduk asli perkotaan. Kemudian eksplorasi lebih lanjut meluas ke ekofeminisme dan aktivisme lingkungan berbasis gender, dengan fokus pada kontribusi Arahmaiani dan aktivismenya dengan komunitas agama di Yogyakarta dan Tibet.

Bali menjadi panggung bagi kampanye sukses para seniman dalam menentang reklamasi lahan, dengan aktivisme Made Muliana Bayak yang menyatu dengan seni visual untuk mengatasi polusi plastik dan menantang tradisi budaya. Laporan ini mengeksplorasi geografi baru dalam artivisme Indonesia, meneliti kampanye melawan pembukaan hutan dan proyek-proyek kolaboratif yang menghubungkan daerah perkotaan dan pedesaan.

Studi ini juga membahas tantangan dan peluang kolaborasi internasional, serta potensi transformasi dari niat artistik yang orisinil. Peretasan kreatif disoroti sebagai strategi yang digunakan oleh komunitas seni media baru untuk mengatasi masalah aksesibilitas dan memberikan informasi kepada kelompok-kelompok yang terpinggirkan tentang isu-isu lingkungan.

"Shifting Horizons: Seni Aktivisme Lingkungan di Indonesia" mengeksplorasi hubungan dinamis antara seni dan aktivisme lingkungan, dengan fokus pada potensi ekspresi artistik untuk mendorong perubahan. Buku ini menarik kesejajaran dengan Venice Biennale 2019, yang mengakui kontradiksi dampak ekologis seni sambil menyoroti kapasitasnya untuk meningkatkan kesadaran, terutama di kalangan generasi muda.

Bab penutup menekankan kekuatan transformatif seni lintas genre, media, dan teknologi, yang dirangkum dalam metafora 'pergeseran cakrawala'. Empat sub-bab - keterlibatan sosial-politik, keintiman, partisipasi sosial dan jaringan, dan perubahan sosial-politik - menggambarkan berbagai cara seni dan aktivisme bersinggungan untuk masa depan yang lebih berkelanjutan.

Para seniman menantang representasi tradisional, memanfaatkan media baru untuk menangani isu-isu lingkungan tertentu. Keterlibatan sosial-politik mereka berfokus pada faktor-faktor yang bernuansa, menghindari asumsi tanggung jawab yang umum. Buku ini menyoroti peran seniman dalam melakukan perubahan nyata melalui artivisme, menggunakan tubuh mereka di ruang publik dan membangun jaringan untuk mendapatkan dampak yang berkelanjutan.

Singkatnya, buku ini menjunjung tinggi pendekatan holistik, menggabungkan imajinasi kreatif, berbagi pengetahuan, dan keterlibatan sosial-politik untuk mengatasi krisis lingkungan. Seniman Indonesia muncul sebagai juara lokal yang melawan arus global, mempromosikan nilai-nilai keakraban, kebersamaan, dan koeksistensi, mengkatalisasi perubahan positif di tengah tantangan lingkungan.

Kata penutup merangkum eksplorasi buku ini, menekankan interaksi dinamis antara seni, visibilitas, dan krisis lingkungan. Metafora 'pergeseran cakrawala' merangkum tema-tema inti, menggambarkan kekuatan transformatif seni, kemampuannya untuk memprovokasi keterlibatan, dan perannya dalam menata ulang struktur sosial-politik melalui visi alternatif dan penyebaran pengetahuan.

Dengan pendekatan yang komprehensif dan praktis, buku ini membahas celah yang signifikan dalam literatur seni dan aktivisme di Asia Tenggara. Dirancang untuk pembaca yang beragam, termasuk akademisi, mahasiswa, seniman, kurator, pembuat kebijakan, aktivis, dan pembaca umum yang tertarik dengan lingkungan dan budaya Indonesia, buku ini menawarkan sumber daya yang berharga. Buku ini memberikan kontribusi pada pemahaman yang bernuansa tentang kekuatan transformatif seni dalam mendorong perubahan sosial dan politik dalam konteks aktivisme lingkungan.

Disadur dari: www.iias.asia