Saya punya tanaman hias di sudut ruangan kerja. Namanya Filo. Setiap beberapa minggu, daunnya mulai layu dan terkulai. Saya panik, menyiramnya banyak-banyak, dan dalam sehari, ia kembali segar bugar. Saya merasa lega. Lalu, tiga minggu kemudian, siklus yang sama terulang lagi. Layu, panik, siram, segar. Terus-menerus. Saya tahu masalahnya—saya pelupa—tapi entah kenapa, "pelajaran" itu tidak pernah benar-benar meresap menjadi sebuah kebiasaan baru.
Kisah sepele tentang tanaman saya ini adalah analogi skala kecil untuk masalah yang jauh lebih besar dan tragis. Baru-baru ini, saya membaca sebuah studi akademis sepanjang 26 halaman berjudul “Improving Safety Performance of Construction Workers through Learning from Incidents”. Studi ini menyoroti sebuah fakta yang mengerikan: industri konstruksi adalah salah satu yang memiliki tingkat kecelakaan tertinggi, dan yang lebih membuat frustrasi, banyak insiden ini adalah pengulangan dari insiden sebelumnya.1
Ini bukan sekadar data statistik. Ini adalah gema dari tragedi yang terus berulang. Bayangkan ini: dalam studi kasus yang dianalisis di Hong Kong, seorang pekerja tewas jatuh dari perancah bambu pada tahun 2021 karena perancah yang "di bawah standar". Setahun sebelumnya, di proyek pengembangan yang sama, insiden yang nyaris identik terjadi: seorang pekerja lain tewas jatuh dari perancah karena "balok penyangga atas yang tidak stabil".1 Dua nyawa hilang dalam insiden yang sangat mirip, di lokasi yang sama.
Ini membawa kita pada sebuah pertanyaan fundamental yang menghantui setiap manajer, pemimpin tim, dan profesional: Apakah kita benar-benar belajar dari kesalahan, atau kita hanya mengarsipkan laporan insiden di laci yang tak pernah dibuka lagi?
Studi yang diterbitkan dalam International Journal of Environmental Research and Public Health ini mencoba menjawab pertanyaan itu. Dengan mensurvei 210 pekerja konstruksi, para peneliti tidak hanya bertanya apakah mereka belajar, tetapi bagaimana mereka belajar, dan apa yang benar-benar membuat pelajaran itu melekat dan mengubah perilaku.1 Temuan mereka mengubah cara saya berpikir tentang kegagalan, pembelajaran, dan kepemimpinan. Dan intinya adalah ini: sebagian besar dari kita salah fokus.
Di Luar Arsip Laporan: Apa Sebenarnya Arti "Belajar dari Insiden"?
Ketika mendengar "belajar dari insiden", otak kita mungkin langsung membayangkan tumpukan formulir investigasi dan rapat evaluasi yang membosankan. Tapi para peneliti mendefinisikannya sebagai sesuatu yang jauh lebih hidup dan aktif. Secara formal, Learning from Incidents (LFI) adalah "proses untuk mencari, menganalisis, dan menyebarluaskan tingkat keparahan dan penyebab insiden, serta mengambil tindakan korektif untuk mencegah terulangnya kejadian serupa".1
Saya akan menerjemahkannya ke dalam bahasa manusia: LFI adalah versi organisasi dari menyentuh kompor panas sekali dan memutuskan, sebagai satu kelompok, untuk tidak pernah melakukannya lagi. Ini bukan tentang menyalahkan, tapi tentang membangun kearifan kolektif dari pengalaman yang menyakitkan.
Melalui analisis statistik yang canggih, para peneliti menemukan bahwa proses LFI yang efektif ini tidak terjadi secara ajaib. Ia ditopang oleh empat pilar fundamental. Mereka mengidentifikasi empat faktor inti ini dari 15 pertanyaan mendetail yang mereka ajukan kepada para pekerja.1
Bayangkan sebuah bangku yang kokoh dengan empat kaki. Keempat pilar ini adalah kaki-kakinya:
-
Berbagi & Pemanfaatan Informasi
-
Komitmen Manajemen
-
Tindak Lanjut (Follow-up)
-
Konten Pembelajaran
Jika salah satu kaki ini goyah atau patah, seluruh sistem keselamatan akan runtuh. Selama ini, banyak organisasi mungkin hanya fokus pada satu atau dua kaki, sambil mengabaikan yang lain. Studi ini tidak hanya mengidentifikasi keempat pilar ini; ia mengukur dampaknya, memberi kita peta jalan yang jelas tentang di mana harus memfokuskan energi kita untuk hasil maksimal. Mari kita bedah satu per satu.
Empat Pilar Penopang Budaya Keselamatan
Inilah inti dari penemuan studi tersebut. Keempat pilar ini bukanlah konsep abstrak, melainkan serangkaian perilaku dan sistem yang dapat diamati dan diukur.
Pilar 1: Api Unggun Digital—Tempat Cerita Keselamatan Dibagikan (Berbagi & Pemanfaatan Informasi)
Pilar ini bukan sekadar tentang mengirim email massal atau menempel poster K3. Ini adalah tentang aliran informasi yang aktif, tepat waktu, dan dua arah. Seperti apa bentuknya di lapangan? Studi ini mengukurnya melalui pertanyaan-pertanyaan yang sangat praktis 1:
-
Apakah supervisor Anda akan sangat membantu jika Anda meminta informasi terkait insiden? (Pertanyaan 1)
-
Apakah Anda tetap menerima informasi insiden, bahkan saat Anda tidak di lokasi (libur atau cuti)? (Pertanyaan 2)
-
Apakah Anda segera memberitahu supervisor, praktisi keselamatan, atau rekan kerja begitu Anda melihat sebuah insiden? (Pertanyaan 3)
Saya suka menyebutnya "Api Unggun Digital". Di zaman kuno, suku-suku berkumpul di sekitar api unggun untuk berbagi cerita tentang bahaya, berburu, dan cara bertahan hidup. Cerita-cerita itu memastikan kearifan kolektif tersebar ke semua anggota. Di organisasi modern yang aman, sistem informasi dan saluran komunikasi—mulai dari rapat harian, grup WhatsApp, hingga platform digital—berfungsi sebagai api unggun yang sama. Tujuannya adalah memastikan setiap anggota "suku" tahu di mana letak bahaya dan bagaimana menghindarinya.
Namun, yang terpenting adalah tujuan akhir dari berbagi informasi ini: perubahan perilaku. Para peneliti tidak berhenti pada penyebaran informasi. Mereka mengukur apakah para pekerja dapat "mengidentifikasi perilaku tidak aman rekan kerja atau diri saya sendiri dari informasi insiden" (Pertanyaan 4) dan, yang paling krusial, "mengubah perilaku tidak aman saya berdasarkan informasi insiden" (Pertanyaan 5).1 Informasi yang tidak menghasilkan tindakan hanyalah kebisingan.
Pilar 2: Pemandangan dari Ruang Direksi—Mengapa Keyakinan Atasan Anda Paling Penting (Komitmen Manajemen)
Jika pilar pertama adalah tentang saluran komunikasi, pilar kedua adalah tentang sumber dari budaya itu sendiri. Komitmen manajemen sering kali menjadi frasa klise dalam manual perusahaan. Tapi studi ini mendefinisikannya melalui tindakan nyata yang dirasakan oleh pekerja di lapangan 1:
-
Apakah manajemen dan staf pengawas segera menerapkan tindakan korektif yang sesuai setelah ada perubahan kondisi kerja (misalnya, bahaya baru teridentifikasi)? (Pertanyaan 7)
-
Apakah di tempat kerja Anda terdapat atmosfer kepercayaan dan keterbukaan? (Pertanyaan 8)
-
Apakah manajer dan staf pengawas tahu cara mendorong pekerja untuk berbagi pengalaman keselamatan mereka? (Pertanyaan 9)
Inilah wawasan yang paling mendalam bagi saya. "Atmosfer kepercayaan dan keterbukaan" adalah bahasa lain untuk psychological safety (keamanan psikologis). Pilar ini bukan tentang manajer yang menulis manual keselamatan setebal bantal; ini tentang mereka menciptakan lingkungan di mana orang tidak takut untuk angkat bicara tentang kesalahan, kegagalan, atau nyaris celaka. Ini tentang membuat kerentanan menjadi aman.
Metafora "Pemandangan dari Ruang Direksi" sangat pas di sini. Apa yang dilihat, dihargai, dan dibicarakan oleh para pemimpin akan menentukan irama bagi seluruh organisasi. Jika mereka memandang insiden sebagai peluang belajar, bukan sebagai kesempatan untuk mencari kambing hitam, maka perspektif itu akan mengalir ke bawah dan membentuk seluruh budaya.1 Tanpa komitmen yang tulus dari puncak, pilar-pilar lainnya hanyalah hiasan.
Pilar 3: Menutup Lingkaran—Perjalanan dari Pelajaran Menjadi Tindakan (Tindak Lanjut)
Ini adalah faktor "lalu kenapa?". Setelah sebuah insiden dianalisis dan didiskusikan, apa yang terjadi selanjutnya? Banyak organisasi hebat dalam separuh pertama siklus LFI (melaporkan dan menganalisis), tetapi gagal total di sini. Studi ini mengidentifikasi tindakan tindak lanjut yang krusial 1:
-
Memastikan informasi penting tentang insiden dibagikan kepada orang lain yang mungkin mendapat manfaat darinya (Pertanyaan 10).
-
Memberi tahu pekerja tentang kemajuan dan hasil investigasi insiden (Pertanyaan 11).
-
Menerapkan sistem penghargaan yang mendorong implementasi tindakan korektif keselamatan (Pertanyaan 12).
-
Menyediakan program pelatihan khusus untuk belajar dari insiden (Pertanyaan 13).
Tanpa tindak lanjut yang efektif, karyawan menjadi sinis. Mereka berpikir, "Untuk apa melapor? Toh tidak akan ada yang berubah." Sikap apatis ini mematikan aliran informasi yang menjadi nyawa dari pilar pertama. Para peneliti mencatat dengan tajam bahwa "implementasi tindakan perbaikan yang tidak efektif dapat berkontribusi pada kegagalan dalam belajar".1
Saya melihatnya sebagai proses "Menutup Lingkaran". Lingkaran yang terbuka adalah pertanyaan tanpa jawaban, masalah tanpa solusi. Tindak lanjut yang efektif menutup lingkaran itu. Ini adalah bukti nyata bagi semua orang bahwa masukan mereka dihargai dan organisasi serius untuk menjadi lebih baik.
Pilar 4: Belajar dari Hantu—Kekuatan dari Nyaris Celaka dan Kesalahan Orang Lain (Konten Pembelajaran)
Organisasi yang paling cerdas tidak hanya belajar dari bencana mereka sendiri. Mereka belajar dari nyaris celaka mereka sendiri dan dari bencana organisasi lain. Inilah yang membedakan organisasi reaktif dengan organisasi proaktif. Pertanyaan survei menangkap esensi ini dengan sempurna 1:
-
Apakah Anda tidak hanya belajar dari pengalaman insiden internal sebelumnya tetapi juga memperoleh pelajaran dari sumber eksternal? (Pertanyaan 14)
-
Di tempat kerja Anda, apakah Anda belajar dari kecelakaan dan near misses (nyaris celaka), terlepas dari tingkat keparahan hasilnya? (Pertanyaan 15)
"Nyaris celaka" adalah tambang emas data yang sering diabaikan. Sebuah near miss adalah pelajaran gratis. Ia memberikan semua data pembelajaran dari sebuah kecelakaan besar tanpa biaya tragis berupa cedera atau kematian. Studi ini menekankan bahwa menganalisis nyaris celaka dapat "mengungkap kelemahan organisasi dan kegagalan laten" sebelum menyebabkan kerusakan nyata.1
Analogi "Belajar dari Hantu" terasa tepat. Nyaris celaka adalah hantu dari kecelakaan yang bisa saja terjadi. Belajar dari sumber eksternal adalah belajar dari hantu organisasi lain. Mempelajari "hantu-hantu" ini secara proaktif adalah kunci untuk tidak menciptakan hantu Anda sendiri.
Rahasia di Balik Data: Hal yang Paling Mengejutkan Saya
Setelah memahami keempat pilar ini, pertanyaan berikutnya adalah: mana yang paling penting? Jika sumber daya terbatas, di mana kita harus mulai? Di sinilah studi ini menjadi sangat menarik. Para peneliti menggunakan dua metode statistik yang kuat—Regresi Linear Berganda Bertahap dan Jaringan Bayesian (Bayesian Network)—untuk memeringkat pilar-pilar ini dan mengungkap hubungan tersembunyi di antara mereka.1
Ketika saya menggali angkanya, saya kira hasilnya akan seimbang. Saya salah. Data menceritakan kisah yang jauh lebih dramatis dan bernuansa.
Satu Faktor yang Mengalahkan Segalanya
Model regresi memberikan hasil yang sangat jelas. Ia mencoba memprediksi "skor kinerja keselamatan" pekerja berdasarkan seberapa baik keempat pilar ini diterapkan. Hasilnya mengejutkan.
-
🚀 Juara Mutlak: Komitmen Manajemen. Analisis menunjukkan faktor ini memiliki dampak tunggal terbesar pada kinerja keselamatan. Koefisien regresinya adalah $2.723$, jauh melampaui faktor tertinggi kedua.1
-
🧠 Pelajaran Utamanya: Ini berarti sebuah organisasi dengan manajemen yang sangat berkomitmen tetapi sistemnya biasa-biasa saja kemungkinan akan memiliki kinerja keselamatan yang lebih baik daripada organisasi dengan sistem canggih tetapi kepemimpinannya acuh tak acuh. Budaya, yang didorong dari atas, benar-benar mengalahkan strategi.
Bobot statistik yang luar biasa dari "Komitmen Manajemen" menyiratkan bahwa tiga pilar lainnya sebagian besar adalah akibat dari komitmen ini. Anda tidak dapat memiliki budaya berbagi informasi yang kuat, tindak lanjut yang efektif, atau konten pembelajaran yang luas tanpa kepemimpinan yang secara aktif dan nyata memperjuangkannya. Koefisien regresi untuk Komitmen Manajemen ($2.723$) 56% lebih besar dari yang tertinggi berikutnya, Berbagi & Pemanfaatan Informasi ($1.743$).1 Ini menunjukkan bahwa setiap peningkatan satu unit dalam persepsi kualitas Komitmen Manajemen memberikan pengembalian kinerja keselamatan yang jauh lebih besar daripada peningkatan pada faktor lain. Secara logis, jika manajemen tidak berkomitmen, mereka tidak akan mengalokasikan sumber daya untuk pelatihan (Tindak Lanjut), tidak akan memupuk kepercayaan untuk komunikasi terbuka (Berbagi Informasi), dan tidak akan memprioritaskan pembelajaran dari sumber eksternal (Konten Pembelajaran). Oleh karena itu, Komitmen Manajemen adalah fondasi yang memungkinkan semua aktivitas LFI lainnya.
Panduan Praktis Manajer: Nuansa dari Sudut Pandang Berbeda
Jika model regresi memberi tahu kita apa yang paling penting secara fundamental, model Jaringan Bayesian (BN) memberikan analisis "bagaimana-jika" yang lebih dinamis. Model ini membantu menjawab pertanyaan: "Jika saya hanya bisa fokus memperbaiki satu hal sekarang, di mana saya harus menempatkan usaha saya untuk mendapatkan hasil terbaik?".1 Di sinilah nuansa yang menarik muncul.
-
💡 Kemenangan Tercepat: Berbagi & Pemanfaatan Informasi. Analisis sensitivitas menunjukkan bahwa meningkatkan faktor ini dari kondisi saat ini menjadi "100% baik" memberikan dorongan langsung terbesar pada probabilitas kinerja keselamatan yang "baik". Ini menaikkannya sebesar 2.4 poin persentase (dari 64.6% menjadi 67.0%).1 Ini adalah tuas yang paling sensitif untuk ditarik jika Anda butuh hasil cepat.
-
📈 Perubahan Paling Drastis: Tindak Lanjut. Bagi organisasi yang memulai dari titik yang buruk, memperbaiki proses Tindak Lanjut memberikan peningkatan paling dramatis. Memindahkannya dari "buruk" menjadi "baik" meroketkan probabilitas kinerja keselamatan yang baik sebesar 24.9 poin persentase (dari 41.2% menjadi 66.1%).1 Jika program keselamatan Anda sedang terpuruk, di sinilah titik balik terbesarnya.
-
🤝 Duet Maut: Strategi Paling Ampuh. Strategi paling efektif dari semuanya adalah gabungan: meningkatkan Berbagi Informasi dan Komitmen Manajemen secara bersamaan. Kombinasi ini meningkatkan probabilitas kinerja keselamatan yang baik sebesar 3.9 poin persentase, lebih dari kombinasi dua faktor lainnya.1
Di sinilah saya akan memberikan opini dan kritik halus saya. Meskipun temuan studi ini sangat kuat, penyajian dua model yang berbeda (regresi vs. BN) bisa sedikit membingungkan bagi praktisi. Model regresi memberi tahu Anda apa yang paling penting secara mendasar (Komitmen Manajemen), sementara model BN memberi tahu Anda apa yang paling berdampak secara taktis (Berbagi Informasi dan Tindak Lanjut). Kesimpulan saya adalah: bangun fondasi komitmen, tetapi jika Anda membutuhkan kemenangan cepat untuk membangun momentum, fokuslah pada perbaikan proses komunikasi dan tindak lanjut Anda.
Menerapkan Ini pada Hari Senin Pagi
Teori ini hebat, tetapi bagaimana kita mengubahnya menjadi tindakan nyata? Berikut adalah beberapa langkah praktis berdasarkan temuan studi.
Untuk Manajer dan Pemimpin:
-
Mulai dengan Cermin: Ajukan pada diri sendiri pertanyaan-pertanyaan sulit dari pilar "Komitmen Manajemen". Apakah Anda benar-benar memupuk atmosfer kepercayaan? Bagaimana reaksi Anda ketika seseorang membawa kabar buruk atau mengakui kesalahan? Jawaban jujur Anda adalah titik awal.
-
Lakukan "Gemba Walk": Pergi ke tempat kerja berlangsung (lantai pabrik, lokasi proyek). Jangan hanya mengamati. Tanyakan kepada karyawan tentang alur komunikasi. Apakah informasi insiden sampai kepada mereka secara tepat waktu dan bermanfaat?
-
Audit Tindak Lanjut Anda: Pilih tiga insiden atau nyaris celaka terakhir. Tindakan konkret apa yang diambil? Apakah sudah selesai? Apakah hasilnya dikomunikasikan kembali ke tim? Jika Anda tidak dapat menjawab ini dengan cepat, proses tindak lanjut Anda rusak.
-
Investasi pada Keterampilan: Bagi para pemimpin yang serius ingin membangun keterampilan ini, pendekatan terstruktur adalah kuncinya. Sebuah(https://diklatkerja.com/) dapat memberikan kerangka kerja yang dibutuhkan untuk mengubah ide-ide ini menjadi kebiasaan institusional.
Untuk Kontributor Individu:
-
Bagikan Cerita Anda: Jika Anda melihat sesuatu yang tidak aman atau mengalami nyaris celaka, laporkan. Anda adalah sumber konten pembelajaran yang paling berharga. Keberanian Anda untuk berbicara dapat menyelamatkan nyawa di kemudian hari.
-
Ajukan Pertanyaan: Jika Anda menerima buletin keselamatan, jangan hanya membacanya. Tanyakan kepada atasan Anda bagaimana hal itu berlaku untuk tugas spesifik Anda. Tarik informasi secara aktif, jangan hanya menunggu didorong.
-
Jadilah Perubahan: Ubah perilaku Anda sendiri berdasarkan pelajaran yang dibagikan. Tindakan Anda adalah bukti utama bahwa pembelajaran telah terjadi. Ketika rekan kerja melihat Anda melakukannya, itu menjadi lebih nyata daripada poster mana pun.
Kesimpulan: Biarkan Pelajaran Itu Terus Hidup
Pada akhirnya, studi ini mengajarkan kita sebuah kebenaran sederhana: keselamatan sejati tidak datang dari buku peraturan. Ia datang dari budaya yang hidup dan bernapas, yang dibangun di atas empat pilar: komunikasi yang terbuka (Berbagi Informasi), kepemimpinan yang otentik (Komitmen Manajemen), tindakan nyata (Tindak Lanjut), dan pandangan risiko yang luas (Konten Pembelajaran).
Perbedaan antara organisasi yang belajar dan yang mengulangi kegagalannya adalah perbedaan antara ingatan dan bekas luka. Ingatan bisa pudar. Tapi bekas luka adalah pengingat permanen yang mengubah perilaku Anda. Tujuan dari Belajar dari Insiden adalah untuk memberi organisasi bekas luka tanpa harus menderita luka yang sebenarnya.
Tulisan ini hanya menggores permukaan dari studi yang menarik ini. Jika Anda seorang pemimpin, profesional keselamatan, atau hanya seseorang yang terobsesi dengan cara organisasi belajar, saya sangat mendorong Anda untuk menjelajahi penelitian aslinya. Detailnya sangat berharga.