Saya Kira Saya Malas Mengerjakan Skripsi. Ternyata, Sains Punya Jawaban yang Mengejutkan

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic

29 September 2025, 14.30

Saya Kira Saya Malas Mengerjakan Skripsi. Ternyata, Sains Punya Jawaban yang Mengejutkan

Dulu, Skripsi Terasa Seperti Mendaki Everest Tanpa Oksigen

Saya ingat betul malam itu. Jam dua pagi, layar laptop menyala terang di kamar yang gelap, kursor berkedip-kedip di halaman kosong Bab 2. Di sekeliling saya, ada tiga cangkir kopi yang sudah dingin dan tumpukan jurnal yang baru saya tatap sampulnya. Rasanya bukan sekadar malas. Ini lebih mirip kelumpuhan. Setiap kali saya mencoba menulis satu kalimat, rasanya seperti mencoba mengangkat beban seratus kilogram. Pikiran saya kosong, dada saya sesak, dan ada suara kecil di kepala yang terus berbisik, "Kamu nggak akan pernah selesai."

Mengerjakan skripsi saat itu terasa seperti mendaki Gunung Everest sendirian, tanpa oksigen, dan hanya memakai sandal jepit. Mustahil. Saya yakin, kalau kamu pernah berada di titik ini—titik di mana revisi terasa tak berujung dan wisuda terasa seperti mitos—kamu tahu persis perasaan ini.

Kalau kamu pernah merasakan ini, kamu tidak sendirian. Dan yang lebih penting, ini mungkin bukan sepenuhnya salahmu. Perasaan stuck itu nyata, dan ternyata, ada penjelasan ilmiah di baliknya.

Lalu, Saya Menemukan Sebuah Peta: Studi yang Mengubah Cara Saya Melihat "Malas"

Beberapa waktu lalu, saya tidak sengaja menemukan sebuah paper penelitian. Bukan bacaan ringan, tapi isinya seperti peta harta karun yang mengungkap semua musuh tak terlihat yang selama ini menghantui para pejuang skripsi. Sebuah studi dari para peneliti di Universitas Negeri Surabaya mengamati mahasiswa teknik yang berjuang menyelesaikan tugas akhir mereka.  

Dan data pertama yang saya baca langsung membuat saya terhenyak.

Dari 733 mahasiswa angkatan 2017 di Fakultas Teknik, hanya 214 yang berhasil lulus tepat waktu. Itu cuma 29,19%. Coba resapi angka itu. Artinya, lebih dari 70% mahasiswa di sana mengalami keterlambatan. Ini mengubah segalanya. Masalah ini bukan lagi tentang kegagalan personal ("  

Aku yang payah"), melainkan sebuah fenomena kolektif ("Ternyata, mayoritas dari kita mengalaminya"). Jika mayoritas orang gagal mencapai target, mungkin masalahnya bukan pada orangnya, tapi pada rintangan yang mereka hadapi.

Penelitian ini membedah rintangan-rintangan itu dan mengelompokkannya menjadi tiga "musuh gaib" yang akan kita bongkar bersama: musuh dari dalam diri, musuh dari lingkungan sekitar, dan musuh tak terlihat bernama logistik dan ekonomi.

Musuh #1: Cermin di Depan Meja Belajarmu (Faktor Internal)

Penelitian ini dengan tegas menyatakan bahwa faktor internal adalah penghambat yang paling dominan. Ini adalah pertarungan yang terjadi di dalam kepala kita sendiri. Tapi "faktor internal" ini bukan sekadar "malas". Setelah saya gali lebih dalam, ternyata wujudnya jauh lebih kompleks.  

Saat Bekerja Lebih Menggoda Daripada Bimbingan

Bayangkan skenario ini: kamu baru pulang kerja jam 9 malam setelah delapan jam melayani pelanggan di kafe atau dikejar deadline di kantor. Tubuhmu pegal, pikiranmu penat. Di hadapanmu ada dua pilihan: membuka laptop untuk merevisi Bab 3 yang dicoret-coret dosen, atau rebahan sambil nonton episode terbaru serial favoritmu. Jujur saja, mana yang akan kamu pilih?

Kondisi ini bukanlah imajinasi. Ini adalah realitas bagi mayoritas mahasiswa yang disurvei. Data dari penelitian ini menunjukkan bahwa dari 81 mahasiswa yang terlambat lulus, 56 di antaranya (hampir 70%) setuju dengan pernyataan "Saya bekerja sambil kuliah". Lebih jauh lagi, 24 dari mereka mengakui "Saya lebih memilih bekerja daripada kuliah".  

Ini adalah sebuah pencerahan besar. Bagi banyak mahasiswa, kuliah bukanlah satu-satunya prioritas. Ada tuntutan lain yang sangat nyata—yaitu pekerjaan—yang bersaing untuk mendapatkan waktu dan energi mereka yang terbatas. Seringkali, bekerja bukanlah pilihan gaya hidup, melainkan keharusan ekonomi. Ketika seorang mahasiswa memilih bekerja daripada mengerjakan skripsi, itu bukan berarti mereka tidak peduli dengan kuliah. Itu berarti mereka sedang membuat keputusan rasional berdasarkan kebutuhan mendesak (membayar kos, makan) di atas tujuan jangka panjang (lulus). Jadi, apa yang kita sebut "malas" seringkali adalah alokasi energi yang terbatas.

Bukan Malas, Mungkin Hanya Lelah dan Bingung

Menyalahkan diri sendiri karena "malas" saat mengerjakan skripsi itu seperti menyalahkan mobil yang mogok karena "tidak mau jalan", padahal sebenarnya bensinnya habis atau mesinnya rusak. Penelitian ini membuktikan bahwa "kemalasan" adalah gejala, bukan penyakitnya.

Lihat saja data ini:

  • Sebanyak 51 dari 81 responden (63%) setuju dengan pernyataan "Saya mudah lelah". Ini adalah kelelahan fisik yang nyata.  

  • Sebanyak 33 responden (sekitar 40%) mengaku "Saya bingung dengan masalah yang akan diteliti". Ini adalah hambatan intelektual, bukan keengganan.  

Para peneliti menyimpulkan bahwa faktor penghambat internal yang paling dominan adalah faktor motivasi. Tapi, data di atas menunjukkan bahwa "motivasi" bukanlah saklar on/off. Rendahnya motivasi adalah akibat dari masalah lain: kelelahan fisik, kebingungan akademis, dan tekanan dari prioritas lain seperti pekerjaan.  

  • 🚀 Hasilnya luar biasa: Faktor motivasi adalah musuh internal nomor satu, tapi ini bukan sekadar "malas".

  • 🧠 Inovasinya: Riset ini secara tidak langsung membedah "malas" menjadi tiga komponen: kelelahan fisik (63% merasa mudah lelah), kebingungan intelektual (banyak yang bingung soal topik), dan prioritas yang terbagi (hampir 70% bekerja).

  • 💡 Pelajaran: Berhenti menghakimi dirimu "pemalas". Coba tanyakan: Apakah aku lelah? Apakah aku bingung? Atau apakah ada hal lain yang lebih mendesak saat ini?

Musuh #2: Notifikasi di Ponsel dan Tongkrongan Sebelah (Faktor Eksternal)

Jika musuh pertama ada di dalam diri, musuh kedua datang dari luar. Penelitian ini menemukan sesuatu yang sangat menarik: faktor eksternal yang paling dominan menghambat penyelesaian skripsi adalah faktor teman. Ya, orang-orang di sekitarmu.  

Paradoks "Teman Seperjuangan"

Lingkaran pertemanan bisa menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, bayangkan sekelompok teman yang saling menyemangati di perpustakaan, berbagi referensi, dan mengeluh bersama tentang dosen. Mereka adalah akselerator. Di sisi lain, bayangkan kamu membuka Instagram dan melihat teman-teman seangkatanmu sudah memposting foto wisuda, sementara skripsimu masih di Bab 2. Perasaan minder itu bisa menjadi de-akselerator yang kuat.

Data menunjukkan betapa krusialnya dukungan teman. Hampir 36% responden (29 dari 81 mahasiswa) merasa "Saya tidak punya teman dekat untuk berdiskusi tentang tugas kuliah". Ini menunjukkan bahwa skripsi bukanlah perjalanan solo. Isolasi akademis adalah penghambat yang nyata. Ketika kamu merasa bingung dengan topikmu (faktor internal) dan tidak punya siapa pun untuk diajak bicara (faktor eksternal), kebingungan itu akan mengeras menjadi tembok yang mustahil ditembus.  

Ini berarti solusi untuk kebuntuan akademis tidak selalu bersifat individual ("baca lebih banyak buku"). Solusinya bisa bersifat komunal: "temukan satu orang untuk diajak bicara." Lingkaran pertemananmu bisa menjadi pendorong kemajuan atau justru penahannya. Efeknya tidak pernah netral.

Mitos Dosen Killer dan Realita Bimbingan

Kita semua pernah dengar cerita horor tentang dosen pembimbing yang sulit ditemui, kan? Yang balas WhatsApp seminggu sekali, atau yang setiap bimbingan selalu menemukan kesalahan baru. Cerita-cerita ini membangun citra bahwa dosen adalah salah satu penghambat utama.

Namun, penelitian ini menyajikan data yang mengejutkan. Sebanyak 73% responden (59 dari 81 mahasiswa) justru merasa "Saya mudah menghubungi dosen pembimbing saat ingin bimbingan skripsi". Bahkan, para peneliti secara eksplisit menyatakan bahwa temuan ini  

bertentangan dengan penelitian lain yang menyebut proses bimbingan sebagai faktor penghambat utama.  

Temuan ini menarik. Di satu sisi, ini kabar baik. Tapi di sisi lain, kita harus bertanya: apakah "mudah dihubungi" sama dengan "bimbingan yang efektif"? Mungkin saja tidak. Paper ini tidak menggali lebih dalam soal kualitas bimbingan, hanya aksesibilitasnya. Meskipun temuannya hebat, cara analisanya di sini mungkin agak terlalu menyederhanakan masalah bimbingan yang kompleks. Ini adalah pengingat bahwa bahkan dalam data, selalu ada cerita lain yang tersembunyi di baliknya.

Musuh #3: Jarak, Dompet, dan Waktu yang Terus Berlari (Faktor Durasi Studi)

Musuh terakhir ini adalah yang paling tidak terlihat, namun dampaknya paling terasa. Ini adalah tentang logistik dan ekonomi—hal-hal praktis yang sering kita abaikan. Para peneliti menemukan bahwa faktor utama yang memperpanjang durasi studi adalah kesibukan di luar kampus dan kendala ekonomi.  

Kalkulasi Ongkos dan Energi yang Terkuras

Bayangkan energimu untuk mengerjakan skripsi itu seperti baterai ponsel di pagi hari, 100%. Tapi ada kebocoran-kebocoran kecil yang tidak kamu sadari sepanjang hari.

  • Ongkos bensin atau ojek ke kampus untuk bimbingan 15 menit? Baterai berkurang 10%.

  • Waktu dua jam yang habis di jalan karena macet? Baterai berkurang 20%.

  • Pikiran cemas tentang tagihan kos bulan depan? Baterai berkurang 15%.

Tanpa kamu sadari, saat kamu akhirnya duduk di depan laptop pada malam hari, bateraimu mungkin sudah tinggal 30%. Data mendukung analogi ini.

  • Lebih dari 50% responden (41 dari 81) mengaku "Saya jarang masuk kuliah karena kendala ekonomi".  

  • Sebanyak 42% responden (34 dari 81) merasa "Saya tinggal jauh dari kampus sehingga malas datang untuk konsultasi". 

Hambatan logistik dan ekonomi ini berfungsi sebagai pengganda stres. Mereka memperburuk dampak dari faktor internal dan eksternal. Seorang mahasiswa yang sudah "bingung soal topik" (internal) akan semakin sulit mencari solusi jika ia punya "kendala ekonomi" untuk membeli buku atau akses jurnal. Ia juga akan berpikir dua kali untuk datang ke kampus hanya untuk bertanya hal kecil jika "tinggal jauh".

Ini menjelaskan mengapa banyak mahasiswa yang awalnya cerdas dan termotivasi bisa berakhir mandek. Bukan karena mereka kehilangan kecerdasan atau motivasi, tetapi karena mereka kehabisan energi melawan gesekan-gesekan logistik yang terus-menerus ini.

Apa yang Bisa Saya Terapkan Hari Ini? Tiga Langkah Praktis dari Riset Ini

Memahami masalah adalah langkah pertama, tapi tidak cukup. Kabar baiknya, penelitian ini tidak hanya memberi kita peta masalah, tapi juga petunjuk untuk solusinya. Berikut adalah tiga langkah praktis yang bisa kamu terapkan hari ini, berdasarkan temuan-temuan di atas.

  1. Audit Energimu, Bukan Hanya Waktumu. Berdasarkan temuan dominan tentang kelelahan dan prioritas kerja, berhentilah membuat jadwal yang tidak realistis. Alih-alih menjadwalkan "3 jam skripsi" setelah 8 jam kerja, coba jadwalkan "30 menit membaca satu jurnal" atau "15 menit menulis satu paragraf". Akui bahwa energimu terbatas dan bekerjalah dengan apa yang kamu miliki, bukan dengan apa yang kamu harapkan.

  2. Bangun "Support System" yang Disengaja. Mengingat "faktor teman" adalah kunci, jangan menunggu teman untuk memulai. Jadilah orang yang proaktif. Buat grup WhatsApp dengan 2-3 teman seperjuangan. Jadwalkan "sesi mengeluh dan progres" 15 menit setiap minggu via video call. Penelitian ini membuktikan bahwa isolasi akademis itu nyata dan berbahaya. Lawan dengan koneksi yang disengaja.

  3. Petakan Prioritas Finansial dan Akademis. Jujurlah pada dirimu sendiri. Buat dua kolom di atas kertas: "Apa yang saya butuhkan untuk bertahan hidup sekarang?" dan "Apa yang saya butuhkan untuk lulus?". Tuliskan semuanya. Di mana titik temunya? Terkadang, titik temu itu berarti mencari cara agar pekerjaanmu bisa lebih mendukung studimu, atau sebaliknya. Mungkin kamu perlu meningkatkan skill agar bisa mendapatkan pekerjaan paruh waktu yang gajinya lebih baik atau jam kerjanya lebih fleksibel. Jika kamu merasa perlu meningkatkan keterampilan praktis untuk menyeimbangkan keduanya, mungkin mengikuti kursus online di (https://diklatkerja.com) bisa menjadi jembatan antara kebutuhan finansialmu hari ini dan tujuan akademismu di masa depan.

Perjalananmu Belum Selesai: Sebuah Undangan

Berjuang dengan skripsi itu normal, manusiawi, dan sangat kompleks. Itu bukan cerminan nilaimu sebagai seorang pribadi. Dengan memahami tiga musuh ini—internal (kelelahan & kebingungan), eksternal (isolasi sosial), dan logistik (ekonomi & jarak)—kamu bisa berhenti menyalahkan diri sendiri dan mulai mencari strategi yang tepat sasaran.

Kamu tidak malas. Kamu mungkin hanya lelah, bingung, terisolasi, atau terhimpit keadaan. Dan semua itu bisa diatasi, selangkah demi selangkah.

Analisis ini hanyalah puncak gunung es. Jika kamu seorang pejuang skripsi, akademisi, atau hanya orang yang penasaran dengan data di baliknya, saya sangat merekomendasikanmu untuk menyelami lebih dalam.

(https://doi.org/10.2991/978-2-38476-008-4_108)