Sungai sebagai Nadi Peradaban Asia
Sungai selalu menjadi pusat kehidupan, budaya, dan spiritualitas di Asia, terutama di Tiongkok dan India. Dalam bab “River Culture in China and India, a Comparative Perspective on its Origins, Challenges, and Applications” oleh Yixin Cao dan Alvin M. Vazhayil (2023), penulis mengupas secara mendalam bagaimana sungai membentuk peradaban, menghadapi tantangan modern, serta bagaimana kedua negara berupaya menyelamatkan warisan sungai mereka. Resensi ini akan membedah isi paper dengan mengaitkan data, studi kasus, dan tren global, serta memberikan analisis kritis dan opini untuk memperkaya perspektif pembaca.
Makna Sungai dalam Budaya Tiongkok dan India
Sungai di Tiongkok dan India bukan sekadar sumber air, melainkan juga simbol identitas, spiritualitas, dan kekuatan alam. Di Tiongkok, sungai seperti Yangtze dan Yellow River dijuluki “Mother River”, menjadi sumber inspirasi sastra, filosofi, dan ritual. Di India, sungai seperti Ganga dan Yamuna dipuja sebagai dewi, pusat ritual keagamaan, dan dipercaya mampu memberikan pembebasan spiritual (moksha).
Kedua negara memiliki kekayaan sungai yang luar biasa. Tiongkok tercatat memiliki lebih dari 45.000 sungai dengan total panjang 1,6 juta km, sementara India memiliki 14 sungai besar dan empat tipe utama sungai yang menopang hampir 60% penduduknya. Sungai-sungai ini menjadi fondasi pertanian, kota, perdagangan, hingga seni dan sastra.
Studi Kasus: Krisis Ekologi dan Budaya Sungai
Degradasi Ekosistem dan Budaya
Krisis ekologi melanda kedua negara. Data dari paper menunjukkan bahwa biodiversitas air tawar global menurun 84% sejak 1970, bahkan hingga 97% untuk spesies ikan besar di sungai-sungai Asia. Tiongkok kini memiliki lebih dari 23.000 bendungan besar, sementara India 4.400—fragmentasi sungai akibat dam dan kanal sangat masif.
Di Tiongkok, pembangunan Three Gorges Dam berdampak besar: 13 kota, 140 kota kecil, dan lebih dari 1.300 desa tenggelam; panen ikan alami di Yangtze turun lebih dari 50% dalam dua dekade terakhir, dan beberapa spesies punah. Urbanisasi ekstrem di kota seperti Shenzhen mengubah 80% sungai menjadi kanal beton, menghilangkan karakter alami dan budaya sungai.
Di India, polusi air menjadi masalah akut. Jumlah sungai tercemar melonjak dari 150 pada 2009 menjadi 302 pada 2015. Sungai Yamuna dan Ganga kini sangat tercemar limbah domestik dan industri. Di Delhi, perikanan air tawar turun 68% antara 2002–2016. Ritual keagamaan dan festival justru memperparah polusi, karena limbah persembahan dan mandi massal masuk ke sungai tanpa pengolahan.
Dinamika Sosial dan Politik Sungai
Tiongkok: Modernisasi dan Homogenisasi
Modernisasi di Tiongkok seringkali mengorbankan keaslian budaya sungai. Sistem polder tradisional di Delta Yangtze hilang, situs arkeologi tenggelam, dan relokasi massal akibat proyek bendungan memutus hubungan komunitas minoritas dengan sungai. Pariwisata masif di beberapa sungai justru memperparah pencemaran dan menghilangkan karakter lokal.
India: Urbanisasi, Ketimpangan, dan Ritual
Di India, urbanisasi dan migrasi besar-besaran menyebabkan keterputusan budaya antara manusia dan sungai. Warga miskin tinggal di bantaran sungai yang tercemar, sementara kelas menengah dan atas seringkali hanya mengadvokasi pelestarian tanpa benar-benar mengubah gaya hidup konsumtif yang memperparah polusi. Ritual keagamaan, meski memperkuat identitas budaya, juga berkontribusi pada pencemaran sungai.
Tantangan dan Upaya Pemulihan Sungai
Motivasi Global dan Lokal
Perubahan iklim memperburuk krisis sungai. India masuk 13 besar negara dengan stres air tertinggi, sedangkan Tiongkok peringkat 56. Suhu di DAS Ganges naik 0,5°C dalam 100 tahun terakhir, meningkatkan risiko banjir hingga 40%. Kedua negara punya target ambisius: Tiongkok ingin 25% energi dari terbarukan dan netral karbon pada 2060, India menargetkan 40% kapasitas listrik dari non-fosil pada 2030.
Konflik dan Kerja Sama Sungai Lintas Batas
Empat sungai lintas batas utama antara Tiongkok dan India, seperti Brahmaputra/Yarlung Tsangpo, menjadi sumber konflik geopolitik. Tiongkok membangun dam di hulu, India khawatir akan dampak ekologi dan keamanan air. Di Tiongkok, mekanisme kompensasi ekologi antar provinsi mulai diterapkan, sedangkan di India, sengketa antar negara bagian seperti Cauvery dan Krishna masih berlangsung.
Reformasi Tata Kelola dan Partisipasi Publik
Tiongkok meluncurkan River Chief System (RCS) pada 2016, menunjuk lebih dari 1,2 juta “kepala sungai” di semua level pemerintahan untuk mengelola sungai secara terpadu, berbasis data, dan melibatkan masyarakat. Inovasi seperti aplikasi WeChat untuk pelaporan polusi memperkuat pengawasan publik. Selain itu, konsep “Sponge City” diterapkan untuk menahan limpasan air dan mengurangi banjir dengan infrastruktur hijau.
India mengandalkan kombinasi pendekatan top-down dan bottom-up. Gerakan Save Ganga mendorong pemerintah melakukan intervensi, meski implementasi sering lambat. Komunitas lokal seperti Mishing di Assam mengembangkan adaptasi tradisional yang kini diakui sebagai praktik ekosistem bionik. Festival sungai, pengakuan Ramsar Sites, dan promosi wisata budaya juga menjadi bagian dari strategi pelestarian.
Analisis Kritis dan Perbandingan
Tiongkok cenderung mengandalkan kebijakan top-down yang terpusat, seperti River Chief System dan pembangunan dam besar-besaran. Keunggulannya adalah efektivitas administratif dan integrasi kebijakan, namun seringkali mengorbankan keaslian budaya, relokasi massal, dan homogenisasi lanskap sungai. Proyek ekologi kadang lebih berorientasi politik atau ekonomi daripada pelestarian sejati.
India, sebaliknya, mengedepankan partisipasi masyarakat dan pluralisme hukum. Inovasi lokal berkembang pesat, namun koordinasi nasional lemah. Polusi sungai utama masih menjadi tantangan besar, sementara proyek revitalisasi sering terhambat birokrasi dan kepentingan politik. Ritual keagamaan yang seharusnya memperkuat ikatan manusia-sungai justru memperparah pencemaran jika tidak diimbangi edukasi dan inovasi pengelolaan limbah.
Kedua negara kini berada pada titik balik: dari eksploitasi ke konservasi sungai. Tiongkok lebih progresif dalam legislasi dan inovasi teknologi, sementara India unggul dalam pelestarian nilai-nilai tradisional dan partisipasi komunitas. Namun, keduanya harus memperkuat sinergi antara kebijakan, sains, dan budaya untuk mencapai keberlanjutan ekologi dan sosial sungai.
Opini dan Hubungan dengan Tren Global
Krisis sungai di Tiongkok dan India mencerminkan tantangan global: fragmentasi ekosistem, polusi, dan hilangnya identitas budaya akibat modernisasi dan urbanisasi. Dunia kini mengarah pada pendekatan integratif yang menggabungkan sains, tradisi, dan partisipasi publik. Konsep seperti “ecological civilization” di Tiongkok dan gerakan masyarakat sipil di India selaras dengan tren global pengelolaan sungai berbasis ekosistem dan budaya.
Kunci keberhasilan ada pada redefinisi nilai sungai—bukan sekadar sumber daya ekonomi, tetapi juga warisan budaya dan ekologi yang harus dijaga bersama. Kolaborasi lintas sektor, inovasi teknologi, dan pemberdayaan komunitas lokal menjadi fondasi utama menuju harmoni manusia dan sungai.
Rekomendasi untuk Masa Depan Sungai Asia
- Integrasi Kebijakan dan Sains
Kedua negara perlu memperkuat integrasi antara kebijakan nasional, sains, dan pengetahuan lokal agar solusi yang diambil tidak hanya efektif secara administratif, tetapi juga relevan secara sosial dan ekologis. - Pendidikan dan Inovasi Sosial
Edukasi publik tentang pentingnya sungai harus diperkuat, terutama di kalangan generasi muda dan komunitas urban. Inovasi sosial seperti aplikasi digital untuk pelaporan polusi dan festival budaya berbasis pelestarian harus diperluas. - Penguatan Partisipasi Masyarakat
Pengelolaan sungai tidak bisa hanya top-down. Penguatan peran komunitas lokal, pengakuan hak-hak masyarakat adat, dan pemberdayaan perempuan dalam pengelolaan sumber daya air sangat penting. - Restorasi Ekosistem dan Revitalisasi Budaya
Restorasi ekosistem sungai harus diimbangi dengan revitalisasi budaya lokal, seperti pengakuan situs sakral, festival sungai, dan promosi wisata berbasis konservasi. - Kolaborasi Regional dan Internasional
Konflik lintas batas harus diatasi dengan dialog, kerja sama, dan mekanisme kompensasi ekologi yang adil. Kolaborasi antara Tiongkok, India, dan negara-negara lain di Asia Selatan dan Tenggara sangat penting untuk menjaga keberlanjutan sungai lintas negara.
Jalan Panjang Menuju Harmoni Manusia-Sungai
Bab ini menegaskan bahwa sungai adalah cermin perjalanan peradaban, spiritualitas, dan dinamika sosial-ekonomi. Tantangan modern berupa fragmentasi, polusi, dan hilangnya identitas menuntut inovasi tata kelola, kolaborasi lintas sektor, serta sinergi antara pengetahuan tradisional dan teknologi modern.
Baik Tiongkok maupun India telah memulai langkah besar, namun perjalanan menuju harmoni manusia-sungai masih panjang dan penuh tantangan. Keberhasilan masa depan sungai Asia akan sangat ditentukan oleh kemampuan kedua negara untuk mengintegrasikan kebijakan, sains, budaya, dan partisipasi publik dalam satu visi keberlanjutan.
Sumber artikel:
Cao, Y.; Vazhayil, A.M. (2023): River Culture in China and India, a Comparative Perspective on its Origins, Challenges, and Applications. In: Wantzen, K.M. (ed.): River Culture – Life as a Dance to the Rhythm of the Waters. Pp. 281–311. UNESCO Publishing, Paris. DOI: 10.54677/CVXL8810