Setelah meraup untung di puncak pandemi COVID-19, industri farmasi Indonesia kini menghadapi pelemahan ekonomi. Perusahaan farmasi milik negara paling terpukul, dengan masalah yang mencakup utang yang signifikan, vaksin yang kedaluwarsa, dan risiko kebangkrutan yang tinggi. Sementara itu, perusahaan-perusahaan farmasi swasta telah membukukan kinerja yang positif.
Menurut Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Farmasi Indonesia (GP Farmasi) Elfiano Rizaldi, perubahan kinerja perusahaan farmasi di Indonesia dipengaruhi oleh menurunnya permintaan obat-obatan dan peralatan medis yang sebelumnya merajalela selama pandemi. Selama masa itu, perusahaan farmasi telah membeli obat-obatan dan peralatan medis yang dibutuhkan untuk menghadapi pandemi, tetapi kini banyak yang tersisa seiring dengan bergeraknya negara melewati pandemi.
Hal ini tercermin pada PT Indofarma (INAF), perusahaan milik negara, yang telah berjuang secara finansial selama beberapa tahun terakhir. Dalam enam bulan pertama tahun ini, Indofarma mengalami kerugian sebesar Rp 120,3 miliar. Dari tahun 2020 hingga 2022, perusahaan juga membukukan kerugian berturut-turut sebesar Rp 3,6 miliar, Rp 37,5 miliar, dan Rp 428,4 miliar. Lebih buruk lagi, Indofarma membukukan utang yang sangat besar yaitu Rp 1,49 triliun, membuat perusahaan memiliki ekuitas negatif sehingga tidak dapat memperoleh pinjaman baru. Akibatnya, perusahaan tidak dapat membayar kewajibannya.
Baru-baru ini, perusahaan mengumumkan bahwa mereka telah menyelesaikan gugatan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang diajukan oleh dua mitra bisnisnya, PT Solarindo Energi Internasional dan PT Trimitra Wisesa Abadi, pada tanggal 8 Juni. Indofarma memiliki utang kepada kedua perusahaan tersebut masing-masing sebesar Rp 17,1 miliar dan Rp 19,8 miliar. Selain itu, perusahaan-perusahaan lain juga masih memiliki tagihan kepada Indofarma, termasuk PT Widatra Bakti Laboratories, PT Catur Dakwah Crane Farmasi dan PT Merapi Utama Pharma.
Bursa Efek Indonesia (BEI) telah menempatkan Indofarma dalam pengawasan khusus sejak bulan Agustus sebagai upaya untuk melindungi para investor. Harga saham Indofarma merosot ke salah satu level terendah dalam sejarahnya di Rp 430 pada hari Kamis, turun dari level tertinggi Rp 5.650 pada Januari 2021 dan Rp 6.500 pada Desember 2018.
Perusahaan farmasi milik negara lainnya, PT Kimia Farma (KAEF), juga mengalami masalah. KAEF membukukan rugi bersih sebesar Rp 21,7 miliar dalam enam bulan pertama tahun ini. Untuk keseluruhan periode tahun lalu, perusahaan ini membukukan rugi bersih sebesar Rp 206,3 miliar. Kimia Farma saat ini menanggung beban vaksin yang tidak terjual senilai Rp 339 miliar untuk program Vaksinasi Gotong Royong pemerintah yang melibatkan bisnis swasta.
Direktur Utama Kimia Farma David Utama mengaku optimis perusahaan dapat meraih pendapatan hingga Rp 11 triliun dan laba bersih Rp 130 miliar tahun ini. Namun, dengan tidak terjualnya vaksin-vaksin Kimia Farma, potensi perusahaan untuk mengalami kerugian semakin besar.
Situasi Indofarma dan Kimia Farma yang memburuk telah menambah beban bagi perusahaan induk farmasi milik negara, PT Bio Farma, yang merupakan bagian dari Indofarma dan Kimia Farma. Pada Juli 2023, Bio Farma memiliki beban keuangan sebesar Rp 700 miliar karena stok kedaluwarsa, terutama produk COVID-19. Selain itu, arus kas operasional perusahaan induk juga memburuk dengan total penurunan saldo sebesar Rp 900 miliar dari tahun 2021 hingga 2023. Produk kadaluarsa ini disebut-sebut mempengaruhi perputaran modal kerja perusahaan.
Meskipun perusahaan-perusahaan farmasi milik negara menghadapi berbagai masalah, hal yang sama tidak berlaku untuk perusahaan-perusahaan farmasi swasta yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI), yang telah menunjukkan kinerja yang membaik dan peningkatan laba dalam beberapa tahun terakhir, menurut data BEI.
PT Kalbe Farma (KLBF), misalnya, mencatatkan kenaikan laba hingga Rp 2,73 triliun pada 2020, Rp 3,18 triliun pada 2021, dan Rp 3,38 triliun pada 2022. Pada semester pertama tahun ini, perusahaan membukukan laba bersih sebesar Rp 1,5 triliun dari total pendapatan sebesar Rp 15,1 triliun. Kapitalisasi pasar perusahaan di BEI saat ini mencapai Rp 84 triliun. Produsen produk jamu PT Industri Jamu dan Farmasi Sido Muncul (SIDO) membukukan laba bersih sebesar Rp 1,10 triliun pada tahun 2022. Meskipun turun dari laba bersih tahun sebelumnya sebesar Rp 1,3 triliun, laba bersih tahun 2021 mengalami peningkatan 35 persen dari tahun sebelumnya. Pada enam bulan pertama tahun ini, SIDO membukukan laba bersih sebesar Rp 448 miliar, dengan kapitalisasi pasar sebesar Rp 17 triliun. Segmen farmasi perusahaan, meskipun menyumbang segmen kecil sebesar 3,7 persen dari total pendapatan, secara khusus mengalami peningkatan penjualan, dari Rp 137,1 miliar pada tahun 2021 menjadi Rp 143 miliar pada tahun 2021.
Perusahaan farmasi swasta lainnya, PT Tempo Scan Pacific, juga membukukan laba sebesar Rp 834 miliar pada tahun 2020, Rp 823 miliar pada tahun 2021, dan Rp 1 triliun pada tahun 2022. Pada paruh pertama tahun ini, perusahaan membukukan laba bersih sebesar 692,8 miliar, dengan total penjualan mencapai Rp 6,4 triliun. Kapitalisasi pasar perusahaan mencapai Rp 8 triliun. Perusahaan farmasi swasta terbuka lainnya seperti PT Pharos (PEHA), PT Pyridam Farma (PYFA), PT Darya-Varia Laboratoria (DVLA), PT Soho Global Health (SOHO) juga membukukan kinerja yang positif hingga akhir tahun lalu. Pada semester pertama tahun ini, perusahaan-perusahaan tersebut, kecuali PYFA, membukukan peningkatan laba.
Apa yang kami dengar
Beberapa sumber di BUMN menyebutkan bahwa kerugian yang diderita Indofarma merupakan akibat dari perusahaan yang terlalu berlebihan dalam melakukan pengadaan alat kesehatan selama pandemi. Indofarma, bersama dengan perusahaan farmasi BUMN lainnya seperti Kimia Farma, tidak mengantisipasi pandemi yang berakhir lebih cepat dari prediksi mereka.
Indofarma telah melakukan pengadaan obat-obatan dan produk kesehatan yang terkait dengan penanganan COVID-19 secara berlebihan. Proses pengadaan produk kesehatan ini diduga bermasalah dan bertentangan dengan tata kelola perusahaan. Hal ini termasuk pengadaan masker (INAmask) dan obat-obatan COVID-19 seperti remdesivir dan oseltamivir, yang kini menumpuk di gudang Indofarma.
Dalam kasus pengadaan INAmask, Indofarma diduga melakukan penggelembungan kinerja perusahaan dengan cara mencatatkan transaksi dengan pembeli sebagai penjualan kepada Promedik, salah satu anak usaha Indofarma. Di atas kertas, Indofarma dan Promedik memiliki perjanjian distribusi. Namun, pada praktiknya, semua penjualan dan pengiriman ke pembeli masih ditangani oleh Indofarma. Kini, jutaan masker INAmask sulit terjual karena harganya yang lebih tinggi dari masker sejenis dari penyedia lain.
Salah satu sumber mengungkapkan bahwa tim bisnis Indofarma tidak menghitung dengan cermat proyeksi bisnis peralatan kesehatan yang dibutuhkan untuk menangani COVID-19. Selain perhitungan yang tidak akurat, penugasan pemerintah kepada perusahaan farmasi milik negara selama pandemi juga menambah kerugian Indofarma.
Sebagian besar peralatan kesehatan tersebut diperoleh dengan cara meminjam dari berbagai vendor. Selain itu, pada akhirnya terungkap bahwa produk Indofarma tidak kompetitif di pasar seperti yang diharapkan. Karena kurangnya permintaan, Indofarma mengalami kerugian dari tahun 2020 hingga 2022.
Perusahaan menunda pembayaran utang, yang membuatnya menghadapi tuntutan hukum dari para pemasoknya. Yang membuat para vendor geram adalah uang hasil penjualan produk kesehatan diinvestasikan kembali oleh Indofarma untuk membeli produk dan obat-obatan COVID-19 lainnya, bukan untuk melunasi utang-utangnya. Akibatnya, peralatan kesehatan dan obat-obatan terus menumpuk. Ketika pandemi mulai mereda, perjuangan Indofarma untuk menjual produk-produk ini semakin berat.
Selain itu, audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memeriksa Indofarma dan mendeteksi kemungkinan adanya kecurangan dalam pengadaan peralatan kesehatan. Auditor mencurigai adanya transaksi fiktif antara Indofarma dan salah satu vendornya.
Disadur dari: www.thejakartapost.com