Selain e-commerce, informasi penggerak dan fintech; Ada beberapa startup yang diproyeksi bisa meraup untung besar dari pangsa pasar digital Indonesia yang terus berkembang. Salah satu yang sering disebut adalah edtech. Pada dasarnya startup di bidang ini berusaha membawa demokratisasi teknologi ke dunia pendidikan.
Edtech Indonesia mulai menjadi perbincangan hangat di tahun 2015 - meski startup seperti Zenius sudah ada sejak tahun 2004, sedangkan pemain besar lainnya seperti Ruangguru dan HarukaEdu baru debut pada tahun 2013. Kepopuleran platform tersebut juga mengikuti tren digital yang berkembang di masyarakat - misalnya, penyebaran broadband, layanan berbasis aplikasi yang lebih populer dan pilihan pembayaran digital yang lebih banyak.
Staf editorial DailySocial telah meliput lusinan startup edtech selama lima tahun terakhir, 65 di antaranya masih hidup dan berkembang saat ini — termasuk beberapa startup asing yang fokus menggarap pasar di sini.
Berikut beberapa tren menarik yang dapat kita petakan dalam industri edtech tanah air:
Edtech menawarkan enam layanan berbeda di Indonesia. Pertama, pembelajaran online, menjual materi pendidikan di internet. Beberapa menawarkan konten interaktif, video berdasarkan permintaan, dan tutorial online. Cakupan materinya pun beragam mulai dari kursus untuk remaja sekolah, konten bahasa asing hingga penguatan keterampilan pribadi seperti akuntansi dan pemrograman. Contoh startup di bidang ini adalah Arkademi, Bahaso, Bensmart, CodeAku, Kode.id, Ruangguru, Vokraf, Zenius.
Layanan e-learning di Indonesia sebagian besar menyasar pengguna umum, diikuti oleh pengguna sekolah dasar, sekolah menengah pertama, dan sekolah menengah atas. Beberapa juga menawarkan materi yang dikemas khusus untuk anak-anak prasekolah (misalnya Ludebla, Titik Pintar), universitas (misalnya DQLab) dan bisnis (misalnya Ringerlactat).
edtech terus menerapkan konsep blended learning pada benchmark ini sebagai langkah proaktif menuju kesiapan pasar; yaitu menawarkan program yang memadukan aktivitas online dan offline.
Model layanan edtech selanjutnya adalah learning management system (LMS). Berbeda dengan e-learning, LMS dibuat dengan merencanakan kegiatan pembelajaran. Dahulu banyak digunakan di institusi, namun seiring berjalannya waktu juga ditujukan untuk penggunaan pribadi. Beberapa platform pembelajaran hanya menawarkan sistem manajemen administrasi kegiatan belajar mengajar, sementara yang lain juga menawarkan pasar materi pembelajaran.
Di antara produk-produk startup lokal yang ada saat ini, LMS telah dikembangkan agar sesuai dengan beberapa segmen pasar, antara lain bisnis (contoh: Codemi, HarukaEdu, RuangKerja), level K-12 (contoh: kelas, Mejakita, Pintro), universitas (contoh: Ngampooz ) . ). ) dan umum (contoh: ZumiApp).
Berikutnya adalah Software as a Service (SaaS), aplikasi on-demand yang membantu institusi pendidikan menerapkan perubahan dengan mendigitalkan proses bisnisnya; yang berkaitan dengan misalnya administrasi, pengelolaan perpustakaan, kehadiran, dan lain-lain. Hingga saat ini, SaaS yang dibuat oleh startup lokal menyasar level K-12. Alasannya cukup masuk akal, sektor lain seperti bisnis atau perguruan tinggi biasanya bisa berkembang secara mandiri dengan bantuan tim IT, sedangkan K-12 Indonesia jarang memiliki sumber daya manusia yang mampu melakukannya. Contoh layanan SaaS untuk pendidikan adalah AIMSIS, Gredu, Infradigital, SekolahPintar, dll.
Layanan lainnya adalah direktori yang berisi berbagai informasi tentang kebutuhan pendidikan - seperti daftar universitas yang direkomendasikan atau lainnya. Kemudian fintech, khususnya mereka yang menawarkan bantuan keuangan pendidikan. Dan terakhir, e-library berisi sumber bacaan atau referensi digital untuk menunjang pembelajaran.
Sumber: dailysocial.id