Resensi Kritis atas “Kepraktisan Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu (IWRM) dalam Berbagai Konteks”

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda

26 Mei 2025, 08.15

pixabay.com

Mengapa Resensi Itu Penting?

Krisis udara tidak lagi sekadar statistik: 42 % penduduk dunia kini hidup di daerah bertekanan tinggi, dan angka itu diperkirakan melonjak 10 poin dalam dekade mendatang. Di tengah urgensi tersebut, konsep Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu (IWRM) digadang-gadang sebagai obat mujarab—namun kenyataan banyak kesulitan negara mengubah jargon “integrasi” menjadi panduan operasional. Kertas Kenji Nagata dkk. (2022) menawarkan jawaban dengan pendekatan Practical IWRM , dan tulisan ini menguliti temuan mereka, menambah data terbaru, hingga menyoroti peluang penerapannya di Indonesia serta Global South.

IWRM: Ide Besar, Eksekusi Rumit

Sejak diluncurkannya Global Water Partnership pada tahun 2000, definisi IWRM—koordinasi udara, lahan, dan ekosistem demi kesejahteraan tanpa merusak alam—terdengar indah. Tapi pejabat lapangan kerap bingung memecahnya menjadi Rencana Kerja. Kegagalan bedung Wonogiri menahan sedimentasi, atau kemelut alokasi air Citarum, adalah bukti jargon tak cukup.

Menyigi “IWRM Praktis”

Nagata dkk. meracik kerangka tiga pilar:

  1. Konteks Lokal
    – mengawinkan data hidrologi dengan realitas sosial-budaya;
  2. Kemitraan Multi-Pemangku (MSP)
    – forum formal yang mempunyai kewenangan membagi anggaran, bukan sekadar lokakarya;
  3. Siklus Perbaikan Bertahap
    – mulai dari “kemenangan cepat” (quick win) lalu skala-up.

Kerangka ini diuji di Sudan, Bolivia, Indonesia, dan Iran—empat lokasi dengan iklim, politik, dan kultur beragam. Hasilnya, setiap studi kasus paparan penurunan konflik sekaligus peningkatan transparansi data.

Studi Kasus: Data, Analisis, dan Pelajaran

1. Sudan—Cekungan Bara

  • Kondisi Awal
    Tarikan air tanah El Obeid naik dua kali lipat 2000-2015, penurunan muka air 1,5 cm/tahun menurut citra GRACE 2024.
  • Intervensi
    – Pelatihan lintas pegawai kementerian;
    Dewan Sumber Daya Air Negara dengan kursi tetap petani.
  • Efek
    Keluhan petani soal sumur kering turun 38 % dalam tiga tahun.
  • Kritik
    Tanpa tarif tanah progresif, dewan rawan jadi “macan kertas”.

2. Bolivia—Cochabamba

  • Latar Belakang
    Warisan “Perang Air” 1999-2000 membuat publik sinis.
  • Aksi
    – Platform PICRR + 11 komite tematik;
    – Publikasi data kualitas air Sungai Rocha melalui aplikasi seluler.
  • Hasil
    Survei 2024: 98 % warga kini tahu asal air minum (naik 27 poin).
  • Transparansi
    data murah namun berdampak besar pada membangun kepercayaan.

3. Indonesia—Jakarta Utara

  • Fakta
    Penurunan tanah > 2 m (2000-2018); intrusi saline hingga radius 10 km.
  • Langkah Praktis
    – Analisis InSAR menandai Zona Kritis A ;
    – Pergub 93/2023 melarang sumur bor > 30 m;
    – Target PDAM koneksi 100% 2027.
  • Catatan
    Larangan tanpa opsi pipa air terjangkau memicu pasar gelap— butuh subsidi silang tarif 0–10 m³.

4. Iran—Danau Urmia

  • Angka Kunci
    Luas menyusut > 70 % sejak tahun 1990-an.
  • Program Restorasi Danau Upaya
    – Urmia menggunakan model MODIS-METRIC; – Irigasi cerdas menghemat 15 % air pertanian (2024).
     
  • Masalah
    Harga pupuk naik 38 %; petani kembali ke pola lama—bukti intervensi teknis harus dikeluarkan dari stimulus ekonomi.

Merajut Teori dan Praktik: Analisis Kritis

  1. Konsep Nirwana?
    Biswas (2008) mengulas utopis IWRM. IWRM praktis menjawab dengan slicing pragmatis : fokus satu isu mendesak, dapatkan bukti sukses, lalu replikasi.
  2. IWRM vs. Air-Energi-Makanan Nexus
    Benson dkk. (2015) menganggap IWRM “berpusat pada udara”. Pendekatan Nagata ternyata memasukkan energi dan pangan pada putaran diskusi—contohnya rencana Sudan membatasi pompa diesel bersubsidi.
  3. Aspek Keadilan
    Meskipun MSP di Sudan inklusif, kepemilikan lahan petani kecil masih menentukan hak suara. Tanpa representasi kuota, “one man – one vote” gagal menjamin keadilan.

Implikasinya bagi Indonesia & Global Selatan

Kemenangan Cepat untuk Nusantara

  1. Dashboard Neraca Air
    Kementerian PUPR bisa meniru Cochabamba: open data debit, kualitas, dan tarif di satu portal.
  2. Model Bisnis Air Tanah
    Jakarta, Semarang, dan Makassar menggunakan skema pajak air tanah tangga progresif plus subsidi sambungan PDAM.
  3. Audit Kemitraan
    MSP wajib lapor pencapaian dan keuangan tahunan; masyarakat memberi “skor kepercayaan” secara online.
  4. Pembiayaan Inovatif
    Green sukuk Rp 5 triliun/tahun;
    – Kewajiban kinerja untuk proyek substitusi sumur bor.

Tren Industri & Start-Up

  • Desalinasi Modular
    Pasar Asia Tenggara tumbuh CAGR 14 %; unit 1 MW kini setara Rp 6.000/liter.
  • Sensor IoT Kelembapan
    Nilai global diprediksi US$ 8 miliar 2030, membuka peluang baru dalam negeri.
  • InsurTech Air
    Premi mikro untuk kegagalan panen akibat kekeringan semakin diminati, khususnya di NTT.

Kesimpulan: IWRM sebagai Proses, Bukan Proyek

Nagata dkk. membuktikan bahwa integrasi udara lebih mirip maraton daripada sprint. Mereka menawarkan resep seragam, melainkan toolkit adaptif: data objektif, kemitraan setara, siklus cepat. Empat studi kasus menunjukkan model ini:

  • Skalabel —dari oasis Sudan hingga megapolitan Jakarta;
  • Fleksibel —memungkinkan modul teknis disesuaikan fiskal lokal;
  • Rentan —bila tak dibarengi kebijakan ekonomi pro-petani atau tarif progresif.

Dengan kata lain, Praktis IWRM menegaskan kembali kenyataan: air bukan hanya soal pipa dan waduk, melainkan perjalanan kolektif lintas generasi yang menuntut kesabaran, transparansi, dan inovasi.

Daftar Pustaka

Biswas, AK (2008). Arah terkini: Pengelolaan sumber daya air terpadu—pandangan kedua. Water International , 33(3), 274-278.