Lagu-lagu Paramitha Rusady dan Obbie Messakh tentang nostalgia lagu masa SMA agaknya harus direfleksikan kembali dengan kenyataan saat ini. Dengan pertumbuhan jumlah penduduk yang tidak sebanding dengan pertumbuhan jumlah lapangan kerja, mencari kerja menjadi makin sulit. Oleh sebab itu, kualifikasi sumber daya manusia menjadi hal yang amat krusial.
Lulusan perguruan tinggi negeri cenderung digadang-gadang sehingga masa persiapan SNPMB (Seleksi Nasional Penerimaan Mahasiswa Baru) menjadi momok menakutkan bagi kebanyakan siswa pada masa akhir SMA-nya. Dibandingkan dengan akhir 1980-an, ketika lagu-lagu tentang indahnya masa SMA berjaya, masa-masa SMA kini dikenang sebagai sesuatu yang sarat akan tekanan dan ketidakpastian.
Psikolog Vera Itabiliana Hadiwidojo pernah mengungkapkan bahwa kebanyakan siswa Kelas XII menghadapi stres saat memasuki musim SNPMB. Angka yang tinggi ini mendorong banyak orang untuk menjadikan siswa "kambing hitam". Biasanya, siswalah yang dituduh tidak bisa mengelola stres. Nasihat agar siswa mampu mengkondusifkan lingkungan belajar dan mengatur waktu agar tidak mengalami stres kerap dilontarkan.
Padahal, sebenarnya, tekanan psikologis yang dialami siswa Kelas XII bersumber dari dua faktor sosial utama. Pertama, adanya stereotip toksik bahwa melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi Negeri (PTN) merupakan satu-satunya penjamin kesuksesan. Kedua, salah kaprah bahwa Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) adalah tolok ukur akurat terhadap kecerdasan siswa.
PTN di atas segalanya
Benarkah bahwa PTN adalah penjamin kesuksesan yang absolut? Ide ini sebenarnya wajar saja. Lulusan perguruan tinggi negeri biasanya memiliki jaringan koneksi yang luas yang mempermudah mereka mencari pekerjaan. Apalagi, PTN dianggap kompeten dalam menghadirkan pendidikan yang berkualitas karena sudah berpengalaman sejak lama. Sebut saja Universitas Indonesia (UI) yang diprakarsai pada 1849, atau Institut Teknologi Bandung (ITB) yang cikal bakalnya muncul pada 1920.
Siswa SMA yang tidak melanjutkan pendidikan ke PTN sering dianggap bodoh dan memiliki masa depan yang tidak terjamin. Masih banyak mahasiswa perguruan tinggi swasta (PTS) yang mengalami kesulitan saat mencari kerja, atau mendapat komentar negatif dari keluarga karena melanjutkan pendidikan ke PTS.
Sebagaimana dicetuskan oleh sosiolog Max Weber, PTN ditafsirkan sebagai simbol yang melambangkan prestise. Melalui PTN, seseorang dapat menaikkan strata sosial dan citranya di mata orang-orang sekitar. Oleh sebab itu, tidak heran jika banyak orang rela mati-matian mengikuti jadwal belajar yang ketat demi lulus UTBK, yaitu tes seleksi masuk PTN.
Pola pikir "PTN di atas segalanya" ini dapat digambarkan melalui sebuah anekdot (yang konon, terinspirasi dari fenomena nyata): di suatu perusahaan, seorang atasan akan menyuruh HRD memilah berkas para pelamar kerja dengan cara memisahkan berkas pelamar lulusan PTN dan PTS.
Berkas pelamar lulusan PTS akan ditaruh di bawah tumpukan berkas-berkas lainnya sehingga tidak dilirik. Padahal, bukan berarti lulusan PTS tidak kredibel. Dewasa ini, makin banyak PTS yang menerapkan ujian masuk bagi calon mahasiswanya. Bahkan, banyak lulusan PTS turut memberdayakan masyarakat lokal atau menjadi diaspora dengan kontribusi positif.
UTBK sebagai tolok ukur kecerdasan
Dihapuskannya Tes Kemampuan Akademik (TKA) yang meliputi mata pelajaran yang diajarkan di sekolah seperti Biologi, Kimia, Sejarah, dan Geografi dalam UTBK 2023 merupakan inovasi yang problematik. Kebijakan ini, konon, diterapkan supaya kecerdasan siswa dapat dinilai secara lebih objektif sesuai jurusannya di SMA.
Namun, soal-soal matematika dan literasi dalam tes terstandardisasi (standardized test) seperti UTBK tetap saja tidak mampu menggambarkan kemampuan siswa secara akurat ataupun holistik.
Howard Garner (1983) berpendapat bahwa manusia memiliki delapan jenis kecerdasan. Melalui UTBK, definisi kecerdasan dikerucutkan menjadi satu jenis saja: bisa menjawab soal dengan model yang sudah ditentukan secara cepat dan tepat.
Klaim Mendikbud Nadiem Makarim bahwa dengan diterapkannya sistem baru UTBK yang hanya mengujikan kemampuan skolastik, siswa tidak perlu lagi mengikuti bimbingan belajar di luar jam sekolah juga terbukti salah. Buktinya, bimbingan-bimbingan belajar masih terus dicari. Bimbingan belajar justru berinovasi untuk mengakomodasi perubahan-perubahan dalam sistem pelaksanaan UTBK.
Dalih orangtua yang rela menguras dompet demi mendaftarkan anaknya di bimbingan belajar selalu sama: sekolah saja tidak cukup. Tidak seperti sistem UTBK pada tahun-tahun sebelumnya yang masih mengujikan mata pelajaran TKA yang dipelajari selama tiga tahun duduk di bangku SMA, kini materi UTBK benar-benar asing.
Materi tes potensi skolastik (TPS) yang meliputi penalaran umum, kemampuan matematika, dan kemampuan berbahasa digadang-gadang sebagai kemampuan-kemampuan yang penting karena sering dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Namun, justru hal-hal itu tidak diajarkan di sekolah. Kalaupun diajarkan, pentingnya kemampuan skolastik tidak terlalu dititik beratkan.
Matematika, misalnya, diajarkan sebagai rangkaian rumus dan angka yang perlu dihafalkan tanpa benar-benar diresapi hakikat dan contoh penerapannya. Sistem pembelajaran di sekolah yang, ibaratnya, tidak menghubungkan titik-titik menjadi satu garis bermakna, tetapi sekadar menekan siswa agar sekadar menghapal letak titik-titik tersebut telah "mencemarkan" hakikat pendidikan yang sesungguhnya.
Diterapkannya sistem penilaian item response theory (IRT) juga berpotensi menjadi kelemahan lain dalam pelaksanaan UTBK. Ringkasnya, komputer akan memberi bobot penilaian yang berbeda untuk setiap soal, tergantung tingkat kesulitannya. Soal yang sulit akan mendapat skor yang lebih besar daripada soal yang mudah. Jika banyak peserta berhasil menjawab suatu soal dengan benar, hal itu berarti bahwa soal tersebut termasuk dalam kategori mudah, dan begitu pula sebaliknya.
Sistem penilaian ini berbeda dengan sistem penilaian ujian lain pada umumnya yang bersifat absolut (misalnya, jawaban benar mendapat skor 4, jawaban salah mendapat skor -1, dan jawaban kosong mendapat nilai 0). Alhasil, tidak ada soal yang mendapat nilai 0 pada UTBK. Aturan ini kerap "dimanipulasi" oleh siswa untuk mendapat skor setinggi-tingginya.
Beredarnya video-video di media sosial yang membagikan cara-cara "menembak" jawaban dengan akurat serta berita siswa yang mendapat skor tinggi dari hasil "menembak" jawaban mengundang polemik: apakah "kecanggihan" sistem pelaksanaan UTBK benar-benar efektif atau di atas kertas saja?
Jika sistem pelaksanaan UTBK benar-benar sudah efektif, seharusnya kecurangan peserta UTBK dapat diantisipasi. Nyatanya, banyak siswa yang bukannya menghabiskan waktu untuk mempersiapkan diri, melainkan untuk menyiapkan alat berteknologi tinggi untuk mencontek. Dari tahun ke tahun, kecurangan siswa saat UTBK menjadi pokok bahasan klasik.
Kecurangan pada UTBK menunjukkan celah pada sistem pendidikan SMA di Indonesia. Banyaknya siswa yang kehilangan motivasi belajar pada tahun terakhir SMA menjadi bukti bahwa pendidikan Indonesia masih digerogoti pola pikir "sekolah adalah formalitas" yang sudah jelas keliru. Siswa jadi enggan belajar bukan karena malas, tetapi karena sadar bahwa PTN adalah target yang harus diutamakan sehingga pembelajaran di sekolah ibarat halal hukumnya untuk disisihkan sementara.
Sumber: news.detik.com