Produsen Senjata Indonesia Bantah Jual Senjata ke Junta Myanmar

Dipublikasikan oleh Nurul Aeni Azizah Sari

07 Juni 2024, 10.54

Sumber: en.tempo.co

TEMPO Interaktif, Jakarta - Perusahaan induk pertahanan milik negara, Defend ID, pada Rabu, 4 Oktober, membantah tuduhan bahwa tiga perusahaannya mengekspor produk industri pertahanan ke Myanmar sejak militer negara itu, Tatmadaw, melancarkan kudeta pada 1 Februari 2021.

Defend ID melalui induk perusahaannya PT Len Industri yang beranggotakan produsen bahan peledak PT Dahana, produsen senjata PT Pindad, produsen pesawat terbang PT Dirgantara Indonesia, dan produsen kapal PT PAL Indonesia, mengaku mendukung penuh Resolusi Majelis Umum PBB 75/287 yang melarang pasokan senjata ke Myanmar.

"PT Pindad tidak mengekspor alutsista ke Myanmar, terutama sejak seruan Dewan Keamanan PBB pada Februari 2021," kata Defend ID dalam keterangan pers. Defend ID juga mencatat bahwa ekspor terakhir ke Myanmar adalah pada tahun 2016, berupa amunisi dengan spesifikasi olahraga untuk partisipasi negara tersebut dalam kompetisi menembak tahunan tentara, ASEAN Armies Rifle Meet (AARM) 2016.

Defend ID juga memastikan bahwa PT Dirgantara Indonesia dan PT PAL tidak memiliki transaksi senjata dengan Myanmar. Mantan jaksa agung Indonesia, Marzuki Darusman, melaporkan tiga perusahaan milik negara, yaitu PT Pindad, PT PAL, dan PT Dirgantara Indonesia, ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada hari Senin, 2 Oktober, atas dugaan mengekspor senjata ke Myanmar yang telah berada di bawah kekuasaan junta militer sejak kudeta pada awal tahun 2021.

Marzuki, yang telah memimpin Misi Pencari Fakta Independen di Myanmar sejak Juli 2017, menyerahkan laporan tersebut bersama dengan Feri Amsari dari firma hukum Themis, organisasi masyarakat sipil Myanmar Accountability Project (MAP), dan Salai Za Uk Ling selaku Wakil Direktur Eksekutif Chin Human Rights Organization (CHRO). Mereka mendesak Komnas HAM untuk menyelidiki lebih lanjut bukti-bukti dugaan keterlibatan BUMN dalam pelanggaran HAM berat di Myanmar melalui perdagangan senjata.

"Fakta bahwa alutsista secara aktif dipromosikan setelah kampanye genosida terhadap Rohingya dan kudeta tahun 2021 menimbulkan keprihatinan dan keraguan serius tentang kesediaan pemerintah Indonesia untuk menegakkan kewajibannya di bawah hukum hak asasi manusia internasional dan hukum humaniter," ujar Marzuki dalam sebuah pernyataan.

Investigasi sumber terbuka dan dokumen yang bocor mengungkapkan bahwa transaksi tersebut diduga dilakukan melalui perusahaan Myanmar, True North Company Limited, yang dimiliki oleh Htoo Htoo Shein Oo, putra dari menteri junta militer Win Shein, yang saat ini sedang dijatuhi sanksi oleh Amerika Serikat, Kanada, dan Uni Eropa. Para aktivis juga menyerukan kepada pemerintah dan pihak-pihak lokal yang diduga terlibat dalam dugaan ekspor tersebut untuk secara permanen menghentikan perdagangan senjata dengan junta dan pemerintah Myanmar hingga konflik berakhir.

Disadur dari: en.tempo.co