Potensi Indonesia sebagai Pusat Industri Farmasi di Asia Tenggara: Transformasi, Inovasi, dan Kebijakan yang Mendukung

Dipublikasikan oleh Cindy Aulia Alfariyani

13 Mei 2024, 13.14

Ilustrasi - Staf perusahaan farmasi yang membuat obat. (ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/foc/aa/my)

Jakarta (ANTARA) - Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi pusat industri farmasi di Asia Tenggara, untuk itu transformasi di industri ini menjadi hal yang sangat penting, dengan mengadopsi inovasi sebagai basisnya, kata Center for Indonesian Policy Studies (CIPS).

"Indonesia perlu memilih kebijakan industri yang tepat dan memperhatikan faktor-faktor yang berkontribusi terhadap keberhasilan. Misalnya, meningkatkan anggaran penelitian dan pengembangan serta mengadopsi fleksibilitas dalam Hak Kekayaan Intelektual (HKI)," kata peneliti madya di Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Ronald Tundang dalam sebuah pernyataan yang diterima di Jakarta, Senin.

Tundang mengatakan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang mengusulkan agar obat dan vaksin COVID-19 menjadi komoditas publik, melalui dukungannya terhadap pengecualian perlindungan HKI untuk obat dan vaksin COVID-19 berdasarkan Perjanjian Hak Kekayaan Intelektual (TRIPs).

Pemerintah telah menerapkan kebijakan untuk memfasilitasi kemandirian industri farmasi, khususnya dalam produksi Bahan Baku Obat (BBO), misalnya melalui kebijakan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN).

Pemerintah juga mewajibkan penggunaan produk dalam negeri untuk pengadaan barang dan jasa, termasuk melalui skema Jaminan Kesehatan Nasional oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

Kebijakan lain termasuk insentif fiskal, seperti pengurangan pajak dan pembebasan bea masuk bagi perusahaan farmasi yang akan memproduksi bahan baku.

Pemerintah perlu menyiapkan kebijakan yang dapat digunakan dalam skenario normal dan saat kondisi mendesak, seperti pandemi. Kebijakan industri, seperti TKDN dan insentif untuk industri BBO, dapat meningkatkan harga obat dalam kondisi mendesak.

"Harga obat yang terjangkau dan kemandirian industri farmasi merupakan dua hal yang penting namun memiliki tujuan yang berbeda. Harga obat yang terjangkau dapat dicapai melalui impor BBO, sesuatu yang bertentangan dengan kemandirian industri farmasi," katanya.

Kemandirian industri farmasi dalam jangka panjang dapat menghasilkan harga obat yang terjangkau, katanya. Namun, hal itu tidak mudah, karena membutuhkan kemampuan riset dan pengembangan yang tinggi.

Tundang mengatakan ada beberapa pilihan bagi Indonesia untuk mengembangkan industri ini.

Pertama, Indonesia dapat meniru India dan China dalam memproduksi obat generik atau mengikuti langkah Amerika Serikat dan Swiss yang menjadi pusat riset dan pengembangan teknologi.

"Selama ini Indonesia belum memiliki posisi yang jelas dalam hal ini," katanya.

Apabila Indonesia memilih opsi pertama, maka Indonesia harus menyiapkan strategi yaitu identifikasi obat paten yang akan segera habis masa berlakunya.

Hal ini memungkinkan produsen obat generik nasional untuk mengajukan izin edar untuk menggunakan obat paten yang masih berlaku. Ketentuan Bolar juga berlaku untuk opsi kedua, karena banyak negara yang menggunakannya untuk tujuan penelitian dan pengembangan.

Indonesia belum dipertimbangkan karena tidak ada basis industri untuk bahan baku obat dan karena kapasitas penelitian dan pengembangan yang rendah.

Pemerintah juga harus meningkatkan kapasitas penelitian dan mengembangkan skala industri farmasi dengan menambah anggaran untuk itu.

Saat ini, anggaran penelitian dan pengembangan Indonesia berada di peringkat terendah di G20, dengan hanya 0,2 persen dari PDB.

Disadur dari: en.antaranews.com