Pengelolaan Sumber Daya Air di Indonesia

Dipublikasikan oleh Kania Zulia Ganda Putri

13 Mei 2024, 07.12

Sumber: www.oecd.ilibrary.org

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) mengakui tiga isu strategis pengelolaan air di Indonesia: ketersediaan air, bencana air, dan produktivitas air. Kelangkaan air diperkirakan akan semakin parah pada tahun 2045 akibat perubahan iklim, degradasi lahan, dan penggunaan air yang tidak berkelanjutan (Republik Indonesia, 2020).

Pada tahun 2016, sebagian besar wilayah Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi mengalami kekurangan air (BAPPENAS, presentasi 2022). Kelangkaan air dapat menghambat pembangunan ekonomi karena 67% kegiatan ekonomi diproyeksikan berada di wilayah yang mengalami kelangkaan air pada tahun 2045 (Bank Dunia, 2021).

Indonesia termasuk dalam sepuluh negara konsumen air tanah terbesar (berdasarkan volume pengambilan air tanah), yang mengambil air tanah terutama untuk keperluan rumah tangga (ADB, 2016). Indonesia merupakan salah satu negara paling rawan bencana di dunia (Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia, 2021). Lebih dari 75% bencana di negara ini diklasifikasikan sebagai bencana meteorologi atau hidrologi.

Frekuensi kejadian banjir meningkat dalam 20 tahun terakhir (Bank Dunia, 2021). Terjadinya banjir tidak terbatas pada wilayah tertentu saja; ini adalah fenomena nasional. Peristiwa banjir dengan periode ulang 50 tahun diperkirakan akan menyebabkan penurunan PDB hingga 1,65 persen.

Produktivitas air termasuk yang terendah di Asia. Sekitar 80 persen air dikonsumsi oleh irigasi, sebagian besar oleh tanaman bernilai rendah. Selain itu, kehilangan air pada irigasi relatif tinggi, hampir separuh sistem irigasi tergolong “rusak” (Republik Indonesia, 2020). Selain ketiga isu strategis pengelolaan air tersebut, penurunan kualitas air seringkali dimunculkan sebagai ancaman terhadap sumber daya air.

Lebih dari separuh sungai di negara ini sangat tercemar, yang disebabkan oleh berbagai aktivitas seperti buang air besar sembarangan, infrastruktur pengolahan air limbah yang buruk, perluasan perkebunan kelapa sawit, penggundulan hutan, dan emisi polutan dari pertanian dan sanitasi (Bank Dunia, 2021) .

Intrusi air asin semakin mengancam kualitas air. Indonesia menghadapi risiko iklim yang tinggi, menempati peringkat ke-59 dari 191 negara pada Indeks Risiko INFORM 2019 (Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia, 2021). Menyajikan beberapa risiko terkait perubahan iklim di Indonesia. Proyeksi paparan risiko banjir sungai dan pesisir di negara ini adalah salah satu yang tertinggi di dunia (peringkat ke-17).

Perubahan iklim juga kemungkinan besar akan memicu kekurangan air dan kekeringan, meskipun kekeringan tidak merata dalam hal intensitas (episode kekeringan akibat El Niño, pergeseran musim hujan) dan geografi (beberapa wilayah lebih terkena dampak dibandingkan wilayah lainnya). Defisit air diperkirakan terjadi di wilayah seperti Jawa, Bali, Nusa Tenggara Timur, dan sebagian wilayah Sulawesi.

Pasokan air ke rumah tangga

Indonesia telah mencapai hasil yang mengesankan dalam meningkatkan akses terhadap ‘peningkatan pasokan air’ dalam beberapa dekade terakhir. Pada tahun 2018, 20,14 persen dari seluruh rumah tangga di Indonesia memiliki akses terhadap pasokan air pipa (Republik Indonesia, 2020). Tantangan-tantangan penting tetap ada untuk memberikan layanan berkualitas tinggi kepada semua pengguna.

Kurangnya layanan pasokan air yang dapat diandalkan mendorong pengguna untuk menggunakan sumber daya air tanah. Pengambilan air tanah untuk keperluan rumah tangga merupakan masalah besar yang mempunyai dampak lingkungan dan ekonomi.

Dampak dari pengambilan air tanah yang berlebihan diperkirakan akan menurunkan PDB hingga 1,42 persen pada tahun 2045.Saat ini, hanya 9 persen dari total kebutuhan air domestik disediakan oleh perusahaan air minum; sumur air tanah pribadi merupakan sumber air yang dominan. Bahkan dengan adanya akses terhadap air pipa, pelayanan seringkali terputus-putus.

Banyak perusahaan utilitas perkotaan (PDAM) tidak dapat menyediakan layanan 24/7 dan gangguan layanan dapat berlangsung selama beberapa hari (Bank Dunia, 2021). Kesenjangan antara pasokan dan permintaan air dalam jumlah besar menimbulkan tantangan bagi penyedia layanan air.

Secara nasional, 24 persen dari jumlah air baku yang tersedia untuk penyediaan air tidak digunakan, sementara – secara paradoks – hanya 30 persen dari total kebutuhan air baku nasional yang dapat dipenuhi dengan infrastruktur curah yang ada saat ini. Banyak perusahaan air minum menyediakan layanan yang terputus-putus karena kurangnya pasokan dalam jumlah besar. Pada saat ini, sistem pasokan air curah lainnya tidak digunakan karena tidak ada permintaan (Bank Dunia, 2021). Laporan ini akan mendalami masalah ini lebih dalam di Bab 3.

Tanah dan air

Keterhubungan antara tanah dan air membuat pengelolaan air semakin menantang. Hutan dan ekosistem lain yang memiliki fungsi hidrologis penting, seperti lahan basah, lahan gambut, dan bakau, mengalami penurunan. Total tutupan hutan Indonesia diperkirakan akan berkurang dari 50 persen total luas lahan pada tahun 2017 menjadi 38 persen pada tahun 2045 (Republik Indonesia, 2020).

Tren deforestasi yang terus berlanjut berdampak pada sumber daya air dan dapat memperburuk bahaya terkait air seperti tanah longsor dan kelangkaan air, serta berkontribusi terhadap emisi gas rumah kaca yang signifikan jika terjadi hilangnya lahan gambut. Namun demikian, setelah mencapai puncaknya pada tahun 2015, laju deforestasi telah menurun secara signifikan.

Reformasi kebijakan

Pemerintah telah menerapkan beberapa reformasi pengelolaan air. Reformasi tersebut mencakup revisi kerangka hukum dan peraturan setelah diundangkannya UU Air tahun 2019 dan Omnibus Law tahun 2020. Empat rancangan peraturan pemerintah tentang air minum, sumber air, pengelolaan sumber daya air dan irigasi direncanakan akan disahkan pada tahun 2021 namun proses reformasi masih berlangsung. Setelah keempat peraturan tersebut disahkan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat akan mengisi rinciannya melalui peraturan teknis (Kuesioner, 2022).

Disadur dari: www.oecd.ilibrary.org