Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Revolusi E-learning: Perjalanan Tak Terduga dari Surat Pos ke Laptop Pribadi

Dipublikasikan oleh Hansel

19 September 2025, 07.07

unsplash.com

Di Balik Layar Kelas Virtual, Ada Sejarah Ratusan Tahun yang Menakjubkan

Pandemi global COVID-19 memaksa miliaran orang di seluruh dunia untuk beradaptasi dengan cara hidup yang serba digital, dan tidak ada sektor yang merasakan dampaknya sebesar pendidikan. Secara tiba-tiba, sekolah, perguruan tinggi, dan universitas di seluruh dunia beralih ke mode daring, mengubah ruang kelas fisik menjadi ruang virtual yang diakses dari rumah masing-masing. Terasa seperti sebuah revolusi pendidikan yang terjadi dalam semalam. Namun, sebuah studi mendalam yang dipublikasikan di International Research Journal of Arts and Humanities mengungkap cerita yang jauh lebih panjang, dan jauh lebih menarik.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Saira Niaz, Shumaila Memon, dan Samina Khokhar, e-learning modern bukanlah fenomena instan. Sebaliknya, ia adalah hasil dari sebuah perjalanan panjang yang penuh inovasi, yang bermula jauh sebelum komputer, bahkan sebelum radio. Dengan menganalisis studi-studi terdahulu, para peneliti dengan cermat menyusun kembali sejarah perkembangan e-learning, membongkar mitos bahwa pembelajaran jarak jauh adalah konsep baru. Temuan mereka menunjukkan bahwa setiap terobosan teknologi, dari mesin tik hingga internet, secara bertahap menenun permadani kompleks yang kini kita kenal sebagai ekosistem pembelajaran digital. Perjalanan ini bukanlah garis lurus, tetapi sebuah eksplorasi tanpa henti tentang bagaimana pengetahuan dapat disebarkan melampaui batas-batas ruang dan waktu.1

 

Dari Kotak Pos ke Gelombang Radio: Awal Mula Pembelajaran Jarak Jauh (1840-an hingga 1950-an)

Fondasi e-learning, secara mengejutkan, diletakkan oleh seorang pionir yang jauh dari dunia digital. Pada tahun 1840, seorang guru bernama Sir Isaac Pitman memperkenalkan kursus korespondensi untuk mengajar teknik steno. Metode yang ia kembangkan adalah bentuk pembelajaran jarak jauh pertama yang tercatat, di mana ia akan mengirimkan tugas kepada siswanya melalui pos, dan siswa mengembalikannya setelah selesai.1 Proses ini, meskipun primitif dan sangat lambat, sudah menerapkan konsep inti dari pembelajaran asinkron—yaitu, peserta didik dapat belajar di waktu dan tempat yang nyaman bagi mereka, tanpa harus berinteraksi secara bersamaan dengan pengajar.

Perkembangan serupa kemudian dilanjutkan oleh Anna Eliot Ticknor pada tahun 1873, yang mendirikan sebuah perkumpulan untuk mendorong studi di rumah di Boston. Model ini, yang juga berbasis korespondensi, memperkuat gagasan bahwa pendidikan tidak harus terikat pada gedung fisik. Namun, para peneliti mencatat bahwa metode ini memiliki kelemahan signifikan: kurangnya komunikasi dua arah yang efektif, sebuah masalah yang terus menghantui pembelajaran jarak jauh di era berikutnya.1

Meskipun pembelajaran jarak jauh sudah dimulai sejak abad ke-19, skala yang dapat dicapai masih sangat terbatas. Lompatan besar pertama datang dengan "revolusi komunikasi." Pada tahun 1925, Universitas Iowa di Amerika Serikat memperkenalkan "kursus radio" lima kredit pertama. Keberhasilan inovasi ini memicu gelombang besar, yang kemudian mengarahkan sebanyak 176 stasiun radio di seluruh AS untuk ditujukan memenuhi tujuan pendidikan.1 Transisi dari korespondensi satu-per-satu ke siaran satu-ke-banyak melalui radio adalah upaya nyata pertama untuk menskalakan pendidikan secara masif. Ini membuktikan bahwa masyarakat bersedia menerima pengetahuan dari sumber yang tidak berwujud—sebuah prasyarat psikologis untuk penerimaan kelas virtual di masa depan. Meskipun metode ini sangat efektif dalam menjangkau audiens yang luas, ia juga mengorbankan interaktivitas.

Seiring waktu, teknologi lain mulai diintegrasikan. Pada pertengahan tahun 1930-an, Universitas Iowa kembali menjadi pionir dengan menggunakan telepon dan televisi sebagai alat untuk kursus jarak jauh.1 Ini menunjukkan sebuah ketegangan yang konsisten dalam evolusi pembelajaran: pilihan antara jangkauan yang luas (seperti radio) dan komunikasi yang lebih kaya dan interaktif (seperti telepon). Pertanyaan ini, tentang bagaimana menyeimbangkan jangkauan dan interaktivitas, terus menjadi tantangan utama yang akan dijawab oleh inovasi-inovasi digital di masa depan.

 

Lahirnya "Guru" Digital: Revolusi Komputer Mainframe dan Jaringan Awal (1960-an hingga 1970-an)

Era 1960-an menandai titik balik yang monumental, di mana "e" dalam e-learning mulai mengacu pada interaktivitas dan komputasi. Pada awal dekade ini, Programmed Logic for Automated Teaching Operation (PLATO) diperkenalkan. Sistem ini dianggap sebagai program pelatihan berbasis komputer pertama.1 Berbeda dari "mesin pengajaran" sederhana yang hanya menguji siswa, PLATO, yang diciptakan oleh Profesor Don Bitzer, bertujuan untuk memberikan pengajaran yang terstruktur dan mengembangkan literasi digital.

Namun, hal yang membuat PLATO benar-benar revolusioner bukanlah kemampuannya dalam mengajar, melainkan perannya dalam menciptakan komunitas digital pertama. Dalam sistem ini, para peneliti menemukan jejak awal dari fitur-fitur yang kini kita anggap lumrah di internet. PLATO memelopori forum daring, papan pesan, surel, ruang obrolan, pesan instan, dan bahkan permainan multipemain.1 Ini adalah bukti nyata bahwa sejak awal, e-learning bukan hanya tentang menyampaikan konten secara otomatis, tetapi juga tentang menghubungkan orang-orang. Para peneliti bahkan menyebut PLATO sebagai "leluhur" dari sistem e-learning modern seperti Blackboard dan WebCT, karena arsitekturnya mengandung tata letak dasar dari pembelajaran daring masa kini.

Perkembangan ini menunjukkan bahwa ada sebuah urutan kausal yang jelas: dari kemampuan dasar PLATO untuk memfasilitasi komunikasi, muncul inovasi-inovasi yang lebih spesifik. Ini terlihat dari kemunculan sistem seperti Computer Managed Instruction (CMI) yang dikembangkan oleh Patrick Suppes pada tahun 1967 dan sistem konferensi komputer pertama, Delphi System, yang dikembangkan oleh Murray Turoff pada tahun 1971.1 Upaya ini memuncak pada tahun 1974, ketika New Jersey Institute of Technology mengembangkan teknologi komunikasi yang dimediasi komputer, yang kelak dikenal sebagai "Kelas Virtual".1 Ini adalah langkah yang disengaja untuk mereplikasi dinamika interaktif dari diskusi kelas fisik ke dalam ruang digital, membangun di atas fondasi yang diletakkan oleh PLATO. Evolusi ini membuktikan bahwa e-learning adalah proses yang terus-menerus mengupayakan kolaborasi dan interaksi, bukan sekadar transfer informasi satu arah.

 

Aksesibilitas dan Demokrasi Pengetahuan: Era PC dan Lahirnya World Wide Web (1980-an hingga 1990-an)

Era 1980-an membawa perubahan besar lainnya dengan hadirnya komputer pribadi (PC). Ketersediaan PC memecah monopoli sistem sentralistik yang mahal seperti PLATO, menempatkan kekuatan pembelajaran digital langsung ke tangan individu. Perusahaan seperti Apple dan IBM mulai membuat komputer yang lebih mudah diakses, memberikan bentuk nyata pada konsep e-learning yang dapat dilakukan dari rumah.1

Pada awal 1990-an, pelatihan berbasis CD-ROM menjadi metode yang populer, terutama karena perangkat penyimpanan berbiaya rendah ini mampu menampung dan mentransfer teks, video, audio, dan grafis.1 Namun, dominasi media fisik ini tidak bertahan lama. Pergeseran paradigma yang paling signifikan terjadi pada tahun 1998 dengan penemuan World Wide Web (WWW). Web dengan cepat mengambil alih peran CD-ROM dengan menyediakan materi pembelajaran, termasuk instruksi dan multimedia yang kaya, melalui jaringan global. Kemudahan akses ini, ditambah dengan menurunnya harga internet, membuat Web Based Training (WBT) semakin populer.1 Transisi dari CD-ROM ke Web adalah contoh sempurna dari pergeseran yang lebih luas di masyarakat—dari kepemilikan konten fisik menjadi akses konten global. Ini secara fundamental mengubah model bisnis pendidikan, membuka jalan bagi platform yang menawarkan konten berlangganan atau akses gratis, yang pada akhirnya memungkinkan skala masif dari kursus daring terbuka. Web tidak hanya mengubah teknologi, tetapi juga mengubah filosofi distribusi pengetahuan itu sendiri.

 

Ekosistem Pembelajaran Abad ke-21: Transformasi Skala Raksasa dan Mobileisasi Ilmu

Memasuki abad ke-21, kemajuan internet mendorong penciptaan Learning Management Systems (LMS). LMS pertama yang berbasis web, Cecil, diciptakan pada tahun 1996, diikuti oleh Moodle pada tahun 2001, yang merupakan perangkat lunak gratis dan sumber terbuka.1 Sistem ini menjadi pusat saraf pendidikan digital, mengelola segala sesuatu mulai dari konten kursus, konferensi web, forum, hingga penilaian. Permintaan pasar terhadap LMS pun melonjak drastis. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa pasar LMS, yang pada tahun 2013 bernilai $2.65 miliar, diperkirakan akan melesat hingga mencapai $31 miliar pada akhir tahun 2021.1 Peningkatan lebih dari sepuluh kali lipat dalam kurun waktu kurang dari satu dekade ini menggarisbawahi betapa digitalisasi pendidikan telah menjadi arus utama bahkan sebelum pandemi datang.

Perkembangan berikutnya yang memecah batas adalah munculnya Massive Open Online Courses (MOOCs). Istilah ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 2008 untuk menggambarkan kursus daring terbuka yang menarik 2.300 peserta dari seluruh dunia.1 Model ini, yang dikenal sebagai 'connectivist,' menginspirasi banyak instruktur dan perusahaan, seperti Udacity dan Coursera, untuk menawarkan kursus daring kepada jutaan siswa di seluruh dunia. MOOCs adalah hasil alami dari tren demokratisasi yang telah dimulai sejak era PC, yang bertujuan untuk menghapuskan hambatan geografis dan ekonomi untuk mendapatkan ilmu.

Seiring dengan MOOCs, pembelajaran seluler (m-learning) juga muncul sebagai evolusi alami dari e-learning. Berkat ketersediaan ponsel pintar dan perangkat seluler lainnya, pembelajaran menjadi "omnipresent" atau ada di mana-mana, tanpa terikat oleh lokasi. Dibandingkan dengan e-learning tradisional, m-learning menawarkan portabilitas, kolaborasi, dan konteks yang lebih besar, memungkinkan pembelajaran yang lebih spontan dan fleksibel.1 Perjalanan dari PC ke internet, lalu ke MOOCs dan mobile learning, adalah sebuah rantai sebab-akibat yang membawa kita pada realitas saat ini: pendidikan secara teori dapat diakses oleh siapa saja, di mana saja, kapan saja. Ini adalah puncak dari pembongkaran batasan yang telah berlangsung selama hampir dua abad.

 

Ujian Terberat: COVID-19 dan Tantangan Kesenjangan Digital

Meskipun e-learning telah berkembang pesat, pandemi COVID-19 pada tahun 2020 menjadi "uji tekanan" terberatnya. Ketika WHO menyatakan pandemi pada Maret 2020, hampir semua institusi pendidikan di dunia terpaksa tutup. Laporan UNESCO mengungkapkan bahwa 1.5 miliar pelajar dan 63 juta pendidik terpaksa beralih dari metode tradisional ke daring.1 Transisi mendadak ini, yang tidak didahului dengan persiapan yang memadai, memunculkan tantangan besar, terutama di negara-negara berkembang.

Salah satu kritik paling realistis terhadap revolusi e-learning mendadak ini adalah kesenjangan yang diciptakannya. Para peneliti mencatat bahwa pandemi telah memperburuk berbagai bentuk ketidaksetaraan dalam sistem pendidikan. Beberapa siswa memiliki keunggulan karena dapat membeli perangkat, paket internet, dan lingkungan yang kondusif untuk belajar daring, sementara yang lain terpinggirkan secara sosial karena tidak memiliki akses ke hal-hal tersebut.1

Dengan kata lain, pandemi tidak menciptakan kesenjangan digital, tetapi bertindak sebagai katalis yang menyoroti kerentanan yang sudah ada. Meskipun e-learning telah berhasil mendemokratisasi akses ke pengetahuan dalam banyak hal, ia juga menciptakan bentuk-bentuk ketidaksetaraan baru yang berbasis teknologi dan sosioekonomi. Permasalahan ini memperkuat temuan studi bahwa pembelajaran daring tidak hanya membutuhkan alat, tetapi juga infrastruktur sosial-ekonomi yang memadai. Wawasan ini menambahkan nuansa penting pada narasi e-learning yang selama ini terlihat seperti sebuah kemenangan tanpa cela.

 

Kesimpulan: Dari Sejarah ke Masa Depan, Pembelajaran Adalah Kontinuitas Tanpa Henti

Studi yang komprehensif ini dengan meyakinkan mendemonstrasikan bahwa e-learning, jauh dari sebuah inovasi baru, adalah sebuah konsep yang telah berkembang selama hampir dua abad. Evolusinya adalah cerminan langsung dari kemajuan teknologi manusia, mulai dari kursus surat-menyurat Sir Isaac Pitman hingga platform pembelajaran virtual modern yang omnipresent.

Dengan setiap terobosan—dari radio, TV, komputer, World Wide Web, hingga teknologi seluler—e-learning telah matang dari sebuah alat pelengkap menjadi aspek yang integral dan tak ternilai dari pendidikan global. Seiring dengan kematangan ini, ia terus beradaptasi, menghadapi tantangan baru seperti yang disorot oleh pandemi. Tantangan ini, terutama mengenai kesetaraan dan akses, menunjukkan bahwa pekerjaan belum selesai. Jika pelajaran berharga dari periode yang penuh gejolak ini benar-benar dipahami dan ditangani, temuan dari penelitian ini menunjukkan bahwa e-learning memiliki potensi nyata untuk secara signifikan mengurangi biaya pendidikan dan memperluas akses pengetahuan bagi jutaan orang. Hal ini akan membentuk kembali lanskap pembelajaran global secara fundamental dalam beberapa tahun ke depan.

Sumber Artikel:

Niaz, S., Memon, S., & Khokhar, S. (2021). Development of e-learning: A historical review with global perspective. International Research Journal of Arts & Humanities (IRJAH)49(49).