Sebuah Bom Waktu di Balik Pembangunan Infrastruktur Nigeria
Industri konstruksi adalah urat nadi perekonomian Nigeria, sebuah sektor vital yang menyumbang secara signifikan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan menyediakan fondasi bagi infrastruktur dan perumahan yang esensial.1 Namun, sektor ini menghadapi tantangan yang mengancam efisiensi dan kualitasnya, yaitu kekurangan tenaga kerja terampil. Dikutip dari berbagai penelitian sebelumnya, kondisi ini telah lama menyebabkan keterlambatan proyek, pembengkakan biaya, dan standar keselamatan yang terkompromi.1 Penelitian yang dipublikasikan dalam International Journal of Civil Engineering, Construction and Estate Management oleh Abubakar Sadiq Idris dan timnya ini bertujuan untuk mengukur tingkat keparahan kekurangan tersebut di kalangan artisan konstruksi bangunan di Nigeria.
Dengan menggunakan pendekatan kuantitatif dan survei deskriptif, para peneliti mengumpulkan data dari 229 pemangku kepentingan, termasuk para artisan, pelatih, verifikator, dan pengawas di tujuh negara bagian di Nigeria Utara-Barat.1 Tujuan awalnya adalah untuk mengidentifikasi "kekurangan" keterampilan yang selama ini dipersepsikan sebagai masalah utama. Namun, alih-alih menemukan kelangkaan tenaga kerja teknis, penelitian ini justru mengungkap sebuah paradoks yang lebih dalam. Masalah terparah di lapangan ternyata bukanlah kurangnya keterampilan teknis seperti tukang pipa atau tukang las, melainkan krisis dalam keterampilan "lunak" atau non-teknis, seperti manajemen amarah dan komunikasi.1 Ini menunjukkan bahwa industri ini tidak hanya menghadapi masalah kuantitas pekerja, tetapi juga krisis profesionalisme yang jauh lebih fundamental, yang berpotensi menjadi bom waktu bagi pembangunan di Nigeria.
Mengapa Kekurangan Tenaga Terampil Adalah Bom Waktu Ekonomi Nigeria?
Sebelum mengulas temuan mengejutkan dari penelitian ini, penting untuk memahami lanskap industri konstruksi Nigeria. Sektor ini dianggap sebagai pendorong utama pertumbuhan ekonomi, tetapi kinerjanya kerap terhambat oleh tantangan yang berakar dari berbagai faktor. Berbagai studi telah menunjukkan bahwa kekurangan tenaga terampil di Nigeria disebabkan oleh serangkaian isu, termasuk kurangnya pelatihan kejuruan yang memadai, kondisi kerja yang buruk, upah yang rendah, dan stigma sosial yang melekat pada pekerjaan tangan.1 Faktor-faktor ini menciptakan lingkaran setan: industri yang dianggap kurang bergengsi atau berpenghasilan rendah cenderung menarik individu dengan tingkat motivasi dan profesionalisme yang lebih rendah, yang pada gilirannya memperburuk reputasi industri.
Dalam konteks ini, penelitian Idris dan timnya mencoba mengukur secara empiris masalah-masalah yang selama ini hanya diasumsikan. Mereka menggunakan metodologi yang kuat, termasuk pengambilan sampel acak dan analisis statistik menggunakan perangkat lunak SPSS, untuk mengumpulkan data dari populasi sampel yang representatif. Populasi penelitian mencapai 750 pemangku kepentingan, di mana 229 di antaranya memberikan tanggapan yang valid. Para responden mencakup beragam peran, dari artisan terlatih, pelatih di pusat-pusat pelatihan, hingga para master pengrajin, dan verifikator.1 Jangkauan responden yang luas ini memastikan bahwa temuan yang dihasilkan tidak hanya berasal dari satu sudut pandang, tetapi mencerminkan realitas yang kompleks dari seluruh ekosistem industri konstruksi di Nigeria Utara-Barat.
Temuan yang Mengejutkan: Keterampilan 'Non-Teknis' yang Paling Parah Dikeluhkan
Hasil penelitian menunjukkan sebuah pergeseran paradigma yang signifikan dalam pemahaman kita tentang kekurangan keterampilan di industri konstruksi. Para peneliti menggunakan teknik peringkat rata-rata (mean ranking) untuk menilai keparahan berbagai masalah yang diidentifikasi. Alih-alih kekurangan tukang pasang bata atau tukang kayu, temuan paling signifikan justru mengarah pada masalah yang bersifat personal dan manajerial.
Peringkat teratas dalam daftar masalah ini adalah kurangnya keterampilan manajemen amarah di tempat kerja. Isu ini menduduki peringkat pertama dengan skor rata-rata 4.8 dari skala 5, menunjukkan bahwa para responden menganggapnya sebagai hambatan paling serius di lapangan.1 Temuan ini mengejutkan karena secara intuitif, kita sering mengasosiasikan masalah konstruksi dengan kegagalan teknis—seperti fondasi yang retak atau atap yang bocor. Namun, penelitian ini secara tegas menunjukkan bahwa konflik interpersonal dan ketidakmampuan mengelola emosi adalah faktor utama yang mengganggu kelancaran proyek. Secara naratif, ini berarti bahwa perselisihan antarpekerja atau antara atasan dan bawahan dapat menghentikan pekerjaan secara total, menyebabkan stagnasi yang lebih parah daripada kurangnya alat atau bahan.
Keterkaitan masalah ini semakin jelas ketika melihat temuan di peringkat kedua: keterlambatan pengiriman proyek bangunan. Masalah ini memperoleh skor rata-rata 4.4, langsung mengikuti masalah manajemen amarah.1 Hal ini mengindikasikan bahwa ada hubungan kausal yang kuat antara krisis emosi di tempat kerja dan ketidakmampuan untuk menyelesaikan proyek tepat waktu. Konflik yang tidak terselesaikan bisa merusak kolaborasi, menurunkan semangat kerja, dan pada akhirnya, menunda penyelesaian proyek.
Temuan penting lainnya yang berada di peringkat atas adalah kurangnya keterampilan Kesehatan, Keselamatan & Kerapian (peringkat 3, skor rata-rata 4.2) dan kurangnya keterampilan komunikasi (peringkat 4, skor rata-rata 4.1).1 Bersama-sama, masalah-masalah ini membentuk sebuah narasi yang konsisten: industri konstruksi di wilayah ini menghadapi krisis profesionalisme yang mendalam. Keterampilan-keterampilan ini, meskipun sering dianggap "lunak," adalah fondasi yang mutlak diperlukan untuk memastikan lingkungan kerja yang aman, teratur, dan efisien.
Yang paling kontradiktif dari semua temuan ini adalah bahwa masalah yang secara umum diasumsikan sebagai "kekurangan keterampilan," yaitu "kurangnya artisan yang memadai untuk memenuhi permintaan", justru berada di peringkat paling bawah, yaitu peringkat ke-25 dengan skor rata-rata hanya 2.3.1 Paradoks ini adalah inti dari temuan penelitian. Ini menunjukkan bahwa masalahnya bukanlah tidak adanya jumlah pekerja, melainkan kualitas profesionalisme dari tenaga kerja yang sudah ada. Krisis ini adalah krisis kualitatif, bukan kuantitatif. Para artisan yang ada mungkin memiliki pengetahuan dasar untuk melakukan pekerjaan mereka, tetapi mereka kekurangan etos kerja, disiplin, dan kemampuan interpersonal yang krusial untuk beroperasi secara efektif dalam lingkungan tim yang kompleks dan seringkali penuh tekanan.
Di Balik Angka: Kisah Para Veteran dan Kredibilitas Pengalaman
Kredibilitas temuan ini semakin diperkuat oleh profil demografi responden. Penelitian ini menemukan bahwa mayoritas peserta survei (85.6%) adalah laki-laki, dan yang paling menarik, sebagian besar dari mereka (59%) memiliki pengalaman kerja yang sangat panjang, yaitu 16-20 tahun di industri konstruksi.1 Proporsi terbesar dari responden (62.9%) juga berusia 40 tahun ke atas.1
Profil ini sangat signifikan. Ini menunjukkan bahwa temuan mengenai kurangnya keterampilan "lunak" ini bukan berasal dari pengamatan sekilas oleh pendatang baru, melainkan merupakan pengakuan dari para veteran paling berpengalaman di industri. Pandangan mereka mencerminkan realitas yang telah mereka saksikan selama bertahun-tahun di lapangan. Pandangan para praktisi yang paling matang dan berpengetahuan luas inilah yang memberikan otoritas tak terbantahkan pada temuan penelitian.
Namun, data demografi ini juga mengungkapkan sebuah krisis yang lebih dalam dan potensial untuk memburuk. Meskipun penelitian ini menunjukkan bahwa masalah terbesar bukanlah "kekurangan" tenaga kerja, salah satu faktor yang berada di peringkat bawah (peringkat ke-22, skor rata-rata 3.0) adalah "non-replacement of aged trained artisans of the industry".1 Ini menciptakan sebuah lingkaran setan yang berbahaya. Jika tenaga kerja yang ada—yang sebagian besar berusia di atas 40 tahun—tidak digantikan oleh generasi baru, masalah keterampilan, baik teknis maupun non-teknis, akan semakin akut. Hal ini diperparah oleh rendahnya daya tarik industri bagi kaum muda, yang enggan masuk ke sektor yang dipersepsikan memiliki kondisi kerja buruk dan upah rendah. Tanpa regenerasi, industri konstruksi Nigeria berisiko mengalami kemunduran yang signifikan dalam dekade-dekade mendatang.
Jalan Keluar dari Krisis: Solusi Menuju Sektor Konstruksi yang Berkelanjutan
Studi ini tidak hanya mengidentifikasi masalah, tetapi juga menawarkan rekomendasi strategis untuk mengatasi krisis. Berdasarkan analisis, solusi yang dianggap paling penting oleh para responden adalah penyediaan pelatih berbasis kompetensi yang memadai.1 Hal ini menyoroti bahwa investasi pada kualitas pengajaran adalah kunci untuk menanamkan keterampilan yang benar, bukan hanya secara teknis, tetapi juga secara profesional.
Sejalan dengan temuan utama, para peneliti merekomendasikan pelatihan wajib dalam manajemen amarah, kesehatan, keselamatan, dan kerapian.1 Program-program ini harus terstruktur dan ditujukan untuk semua artisan, tidak hanya untuk mengatasi masalah di tempat kerja saat ini, tetapi juga untuk membangun budaya kerja yang lebih positif dan profesional di masa depan.
Lebih jauh lagi, laporan ini menekankan perlunya pelembagaan Kerangka Kualifikasi Keterampilan Nasional (NSQ) sebagai kerangka kerja regulasi yang kuat.1 Saat ini, kurangnya sistem evaluasi yang terstandarisasi, efisien, dan objektif—yang seringkali mengandalkan metode berbasis kertas yang memakan waktu dan subjektif—memperburuk masalah.1 Pelembagaan NSQ akan menciptakan sebuah sistem di mana kompetensi dapat dievaluasi, disertifikasi, dan diakui secara nasional. Ini bukan hanya tentang melatih individu, tetapi tentang membangun ekosistem yang berkelanjutan di mana keterampilan dihargai dan dipertahankan.
Secara spesifik, studi ini juga menyinggung potensi penggunaan platform e-assessment untuk meningkatkan proses penilaian keterampilan.1 Meskipun adopsi teknologi ini berada di peringkat yang lebih rendah dalam survei, temuan ini menunjukkan bahwa solusi digital adalah bagian integral dari modernisasi industri. Platform e-assessment dapat menawarkan sistem yang lebih transparan, efisien, dan objektif untuk mengukur kompetensi, mengatasi keterbatasan metode penilaian tradisional.
Kritik Realistis dan Opini Ringan: Menakar Batasan Studi dan Tantangan Implementasi
Meskipun temuan dari penelitian ini sangat kuat, penting untuk menyoroti keterbatasannya. Studi ini secara eksplisit terbatas pada tujuh negara bagian di Nigeria Utara-Barat.1 Meskipun hasilnya memberikan wawasan yang sangat berharga, realitas di wilayah lain di Nigeria mungkin berbeda, dipengaruhi oleh dinamika sosial, ekonomi, dan budaya yang unik. Oleh karena itu, temuan ini tidak dapat sepenuhnya digeneralisasi untuk seluruh industri konstruksi di Nigeria tanpa penelitian lebih lanjut.
Selain itu, penting untuk menambahkan kritik realistis terhadap tantangan implementasi rekomendasi yang ada. Penelitian ini menyoroti masalah pembangunan sosial dan ekonomi yang buruk di Nigeria, yang, meskipun berada di peringkat terendah dalam survei (peringkat ke-24, skor rata-rata 2.6), merupakan fondasi yang memengaruhi segalanya.1 Masalah makro seperti korupsi, infrastruktur yang tidak memadai, dan ketidakstabilan politik yang dilaporkan oleh berbagai studi lain 1 menciptakan lingkungan yang sangat menantang untuk menerapkan reformasi mikro. Tanpa reformasi yang lebih luas, seperti tata kelola yang baik dan investasi dalam infrastruktur sosial, upaya untuk meningkatkan profesionalisme di industri konstruksi bisa jadi terhambat. Artinya, perbaikan industri ini tidak bisa lepas dari perbaikan di tingkat nasional.
Implikasi Jangka Panjang: Mengubah Perekonomian dan Kualitas Hidup
Temuan ini membawa implikasi jangka panjang yang mendalam. Jika krisis profesionalisme—terutama dalam manajemen amarah, komunikasi, dan keselamatan kerja—dapat diatasi melalui program pelatihan yang ditargetkan dan pelembagaan NSQ, industri konstruksi Nigeria berpotensi mengalami lonjakan efisiensi dan kualitas yang dramatis.
Bayangkan proyek-proyek yang tidak lagi molor karena konflik di tempat kerja, atau kecelakaan yang berkurang drastis karena standar keselamatan yang ditegakkan. Dampak nyata dari perbaikan ini akan terasa di seluruh rantai nilai. Proyek dapat diselesaikan lebih cepat dan dengan biaya yang lebih rendah, meningkatkan daya saing ekonomi nasional. Selain itu, kondisi kerja yang lebih aman dan profesional akan membuat industri ini lebih menarik bagi generasi muda, menciptakan pasokan tenaga kerja yang berkelanjutan di masa depan. Ini adalah langkah krusial untuk membangun masa depan yang lebih kokoh dan stabil. Dengan mengatasi masalah yang tersembunyi di balik data, Nigeria dapat mengubah tantangan ini menjadi peluang emas untuk membangun perekonomian yang lebih kuat, satu bata pada satu waktu.
Saran Gambar:
Pekerja konstruksi sedang berdiskusi atau bekerja sama di lokasi proyek, atau gambar crane di lokasi konstruksi dengan latar belakang kota.
Sumber Artikel:
SADIQ, I. A., MOHAMMED, I., NURUDDEN, U., & KUNYA, U. (2025). ASSESSMENT OF THE SEVERITY OF THE SKILL SHORTAGES AMONG ARTISANS IN THE NIGERIAN BUILDING SECTOR. Journal of Biodiversity and Environmental Research.