Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Krisis Tenaga Kerja Konstruksi Hijau Eropa – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel

15 September 2025, 15.30

freepik.com

\Krisis Ganda di Balik Megahnya Konstruksi Eropa

Di seluruh penjuru Eropa, megahnya gedung-gedung pencakar langit dan infrastruktur modern sering kali dianggap sebagai simbol kemajuan dan stabilitas ekonomi. Namun, di balik fasad yang mengilap itu, sektor konstruksi menghadapi realitas yang jauh lebih rumit, tertekan oleh dua krisis besar yang saling terkait: krisis iklim dan krisis tenaga kerja. Sebagai pilar ekonomi Uni Eropa (UE) yang mempekerjakan 12,7 juta orang—setara dengan 6,1% dari total angkatan kerja—industri ini memainkan peran vital dalam kesejahteraan benua. Akan tetapi, data dari Komisi Eropa menunjukkan bahwa industri ini juga bertanggung jawab atas sekitar 40% dari total konsumsi energi dan 36% dari emisi gas rumah kaca UE yang berasal dari energi.1

Realitas ini mendorong sektor konstruksi ke garis depan dalam upaya mencapai target "Green Deal" UE—sebuah ambisi untuk mengubah ekonomi UE menjadi masyarakat yang adil, makmur, dan modern dengan ekonomi yang kompetitif, efisien sumber daya, dan netral karbon pada tahun 2050.1 Untuk memenuhi mandat ini, industri harus mengadopsi teknologi dan proses ramah lingkungan, yang secara langsung menciptakan kebutuhan mendesak akan keterampilan baru. Keterampilan ini, yang kini dikenal sebagai "keterampilan hijau," mencakup segala hal mulai dari perancangan bangunan hemat energi hingga penggunaan material terbarukan dan teknik konstruksi sirkular.1 Penelitian menunjukkan bahwa dalam lima tahun ke depan, 25% angkatan kerja saat ini membutuhkan peningkatan atau pelatihan ulang keterampilan untuk menghadapi perubahan fundamental ini.1

Namun, transisi ini diperumit oleh masalah demografi yang parah. Industri konstruksi Eropa menghadapi kekurangan keterampilan yang akut (severe skills shortages).1 Diperkirakan 4,1 juta pekerja akan pensiun pada tahun 2035, dan industri ini berjuang keras untuk menarik talenta baru, terutama kaum muda dan wanita.1 Citra industri yang buruk (poor reputation)—sering dianggap kotor, berbahaya, dan tidak inovatif—menjadi hambatan besar dalam menarik generasi baru ke dalam profesi ini.1 Masalah tenaga kerja di industri konstruksi bukanlah sekadar kekurangan kuantitas, melainkan juga kekurangan kualitas dan relevansi, sebuah tantangan yang jauh lebih mendalam.

Kurangnya pendidikan formal yang fleksibel dan cepat semakin memperburuk kesenjangan keterampilan. Di sisi lain, stigma yang melekat membuat industri ini kurang menarik bagi anak muda dan wanita, memperparah krisis tenaga kerja jangka panjang. Tanpa solusi yang efektif, ambisi UE untuk mencapai netralitas karbon akan terhambat, bahkan terancam gagal, karena tidak ada tenaga kerja terampil yang siap untuk mengimplementasikan perubahan yang diperlukan. Proyek Green Circle, sebuah inisiatif dari program ERASMUS-EDU, muncul sebagai respons langsung terhadap kebutuhan ini. Proyek ini mengidentifikasi micro-credentials sebagai alat kunci untuk menjembatani kesenjangan tersebut, menawarkan jalur pelatihan yang terfokus, fleksibel, dan terukur.

 

"Micro-credentials": Revolusi Pelatihan yang Fleksibel dan Terarah

Pada intinya, micro-credentials (MCs) adalah bukti atau catatan hasil belajar yang telah diperoleh seseorang dari pengalaman belajar yang singkat dan terfokus.1 Menurut definisi yang ditetapkan oleh Dewan Uni Eropa, MCs adalah "catatan hasil belajar yang telah diperoleh pelajar setelah volume pembelajaran yang kecil. Hasil belajar ini akan dinilai berdasarkan kriteria yang transparan dan terdefinisi dengan jelas".1 MCs tidak bertujuan untuk menggantikan gelar tradisional seperti Sarjana, Magister, atau Doktor, melainkan memiliki peran komplementer—menyediakan pengetahuan dan keterampilan khusus dalam jangka waktu yang jauh lebih singkat.1

Meskipun konsep pelatihan singkat bukanlah hal baru, lonjakan permintaan akan MCs dalam beberapa tahun terakhir telah mengejutkan para peneliti. Pandemi COVID-19, yang memaksa banyak orang untuk mencari opsi pendidikan jarak jauh dan upskilling, berkontribusi besar terhadap pertumbuhan ini.1 Tahun 2020 bahkan dijuluki sebagai "tahun kedua MOOCs," mengikuti tahun 2012 yang dianggap sebagai awal mula konsep ini. Pada tahun 2021 saja, diperkirakan 40 juta pelajar baru mendaftar di kursus-kursus yang mengarah pada MCs.1 Popularitas platform seperti Coursera dan edX menjadi bukti nyata tren ini, dengan total 139 juta pengguna terdaftar di kedua platform tersebut pada tahun 2021.1 Lonjakan adopsi ini, yang oleh peneliti digambarkan sebagai "lompatan efisiensi 43%," seperti melihat baterai smartphone yang hanya 20% terisi penuh hingga 70% hanya dengan satu kali colok ulang—sebuah lonjakan efisiensi yang masif dan signifikan bagi sektor pendidikan dan tenaga kerja.1

Kebangkitan MCs menunjukkan adanya pergeseran paradigma dari "pendidikan seumur hidup" (lifelong learning), di mana pendidikan formal dianggap selesai setelah beberapa tahun di universitas, menjadi "pembelajaran berkelanjutan" (continuous learning).1 Pekerja tidak lagi menunggu gelar penuh untuk memperbarui diri, melainkan mencari cara yang cepat dan fleksibel untuk memperoleh keterampilan yang relevan dengan tuntutan pasar kerja yang terus berubah.1 Perubahan teknologi dan permintaan pasar yang cepat membuat pendidikan formal tradisional tidak lagi relevan atau cukup. MCs hadir sebagai respons pasar yang memungkinkan

upskilling secara on-demand, disesuaikan dengan kebutuhan individu dan industri.1 Jika MCs berhasil, mereka akan menjadi "mata uang" baru dalam pasar kerja, di mana kredensial spesifik dan terverifikasi lebih dihargai daripada sekadar gelar umum.1 Ini akan mengubah cara perusahaan merekrut dan cara individu merencanakan karier mereka, menawarkan jalur yang lebih adaptif dan tahan banting.

 

Kilas Balik Empat Negara: Potret Kesenjangan dan Peluang

Untuk memahami lanskap MC yang ada, proyek Green Circle melakukan penelitian mendalam di empat negara—Spanyol, Portugal, Jerman, dan Yunani. Analisis terhadap 158 kursus yang ditemukan dalam penelitian tersebut menunjukkan gambaran yang terfragmentasi namun penuh peluang.1 Mayoritas kursus (42%) ditawarkan secara daring, sementara 18% luring dan 14% gabungan (

blended).1 Sebagian besar penyedia pelatihan (61%) adalah universitas, sementara 16% adalah organisasi swasta.1 Namun, ada kekurangan informasi yang signifikan; 66% kursus tidak mencantumkan beban kerja yang jelas dan 28% tidak memberikan informasi biaya.1 Ini menunjukkan bahwa MCs belum terintegrasi menjadi sebuah "sistem" yang terpadu, melainkan masih berupa koleksi kursus yang terpisah-pisah.

Berikut gambaran yang lebih rinci dari masing-masing negara:

  • Spanyol: Mengharmonisasi Tiga Jalan yang Berbeda

Sistem MC di Spanyol sangat terfragmentasi, diatur melalui tiga proses paralel yang dipimpin oleh Pendidikan Vokasi (VET), Pendidikan Tinggi (Universitas), dan Otoritas Ketenagakerjaan.1 Hal ini mencerminkan kurangnya visi nasional yang terpadu. Meskipun ada potensi besar bagi MCs untuk mengatasi kesenjangan keterampilan pada 45,84% angkatan kerja Spanyol yang tidak memiliki pendidikan vokasi terakreditasi 1, tiga jalur regulasi yang berbeda ini menciptakan kebingungan dan mengurangi kepercayaan terhadap MCs. Kurangnya regulasi tunggal mengakibatkan MCs sulit diakui secara universal, menghambat mobilitas dan utilitasnya. Upaya EU untuk pendekatan yang terpadu adalah solusi langsung untuk masalah ini.1

  • Portugal: Kesenjangan di Sektor Vokasional

Di Portugal, ada ketidakselarasan antara kebijakan pemerintah di sektor pendidikan tinggi dan implementasi praktis di sektor VET. Meskipun ada dukungan dari pemerintah melalui Recovery and Resilience Plan (PRR) yang mendorong MCs di perguruan tinggi, penelitian Green Circle menemukan bahwa sektor pelatihan vokasional hampir tidak menawarkan MCs formal.1 Meskipun ada unit pelatihan jangka pendek (UFCDs dengan 25-50 jam) yang dapat digunakan, mereka tidak diakui sebagai MCs independen.1 Inovasi MCs terpusat di universitas dan perusahaan besar, tetapi belum merata di tingkat pelatihan vokasi yang dibutuhkan oleh sebagian besar pekerja konstruksi. Tanpa integrasi MCs di sektor VET, upaya upskilling di tingkat akar rumput akan terhambat, memperlebar jurang antara keterampilan yang dibutuhkan dan yang tersedia.

  • Jerman: Antara Tradisi Dual dan Kebutuhan Masa Depan

Sistem pelatihan vokasional "Dual System" Jerman sangat terstruktur dan ketat, menawarkan jalur karier yang jelas namun sering kali kaku.1 Permintaan dari pengusaha untuk kredensial MCs yang terakreditasi Eropa masih rendah karena mereka lebih fokus mempertahankan staf internal yang terlatih daripada mendorong mobilitas eksternal.1 Ada banyak kursus pelatihan yang ada, misalnya yang terkait dengan keamanan atau pengoperasian mesin, yang dapat diubah menjadi MCs resmi, namun mereka saat ini tidak diakui secara formal.1 Sistem yang sudah mapan dan berhasil di masa lalu kini menjadi hambatan bagi adopsi inovasi yang lebih fleksibel. Jerman perlu menemukan cara untuk mengintegrasikan fleksibilitas MCs tanpa merusak kekuatan dan kredibilitas sistem Dual-nya.

  • Yunani: Membutuhkan Keterampilan Hijau yang Sangat Spesifik dan Inklusif

Sektor konstruksi di Yunani sangat membutuhkan MCs yang berfokus pada teknik rehabilitasi dan penguatan bangunan yang ada, bukan hanya konstruksi baru.1 Fokus pada rehabilitasi sangat penting untuk keberlanjutan lingkungan (mengurangi limbah dan energi terwujud), keamanan struktural (terutama di wilayah seismik), dan pelestarian warisan budaya.1 Namun, masalah di Yunani tidak hanya tentang pelatihan, tetapi juga tentang relevansi dan inklusivitas. MCs perlu dirancang untuk kebutuhan spesifik pasar lokal dan juga sebagai alat untuk mengatasi bias gender. Studi menunjukkan bahwa wanita hanya membentuk kurang dari 10% angkatan kerja konstruksi di Yunani dan kurang dari 15% peserta dalam pelatihan keterampilan hijau.1 Hal ini menunjukkan bahwa stigma gender menghalangi talenta wanita untuk memasuki industri, mempersempit kolam tenaga kerja yang tersedia.

Hasil penelitian Green Circle menunjukkan adanya fragmentasi dan kurangnya transparansi dalam topik-topik kursus yang tersedia di sektor konstruksi. Dari keseluruhan kursus yang dianalisis, teknologi digital menempati porsi paling besar dengan prevalensi sekitar 25%. Hal ini menggambarkan fokus yang cukup besar pada transformasi digital, sejalan dengan tren industri konstruksi menuju otomatisasi dan penggunaan teknologi baru.

Topik lain yang juga mendapat perhatian cukup signifikan adalah sustainability dan green building, masing-masing menyumbang 12%. Keduanya menekankan pentingnya keberlanjutan dan pembangunan ramah lingkungan dalam industri konstruksi modern. Sementara itu, kursus tentang efisiensi tercatat sebesar 9%, menandakan adanya dorongan untuk meningkatkan produktivitas dan penghematan sumber daya.

Beberapa topik lain memiliki proporsi yang lebih kecil. Kursus mengenai dekarbonisasi dan ekonomi sirkular masing-masing hanya mencapai 4%, padahal keduanya berperan penting dalam agenda global mengurangi emisi karbon dan mendukung daur ulang material. Kursus terkait resilient structures tercatat 3%, sedangkan sistem seismik dan smart city masing-masing hanya 2%, menunjukkan bahwa isu ketahanan terhadap bencana dan konsep kota pintar belum menjadi arus utama dalam pelatihan sektor ini.

Menariknya, kategori lainnya justru menempati porsi terbesar kedua dengan 27%, yang terdiri dari kursus dengan topik beragam dan tidak langsung terkait dengan kategori utama. Tingginya angka ini menunjukkan masih adanya keragaman tema kursus yang terfragmentasi, sehingga arah kompetensi di sektor konstruksi belum sepenuhnya jelas atau terstandarisasi.

Secara keseluruhan, distribusi ini mencerminkan bahwa meskipun ada fokus yang cukup kuat pada digitalisasi dan keberlanjutan, masih terdapat celah besar dalam integrasi tema-tema penting lain yang sebenarnya relevan dengan transformasi sektor konstruksi di masa depan.

*Kursus yang tidak terkait dengan keterampilan hijau

Penjelasan: Prevalensi topik yang paling sering muncul menunjukkan bahwa sektor ini secara alami bergeser ke arah digitalisasi dan keberlanjutan, sejalan dengan tujuan Green Deal UE. Namun, data tentang ketersediaan dan sifat MCs masih sangat buram.

 

Menjembatani Kesenjangan: Kritik Realistis dan Opini Ringan

Meskipun MCs menjanjikan, ada tantangan serius yang harus diatasi. Kekuatan terbesar MC—fleksibilitasnya—juga menjadi kelemahan utamanya. Tanpa kerangka kerja yang jelas, bagaimana seseorang bisa memastikan kualitas dan kepercayaan terhadap ribuan kursus yang ditawarkan oleh beragam penyedia, mulai dari universitas terkemuka hingga startup kecil? Seperti yang ditekankan oleh perwakilan asosiasi pengusaha di Jerman, "Penting untuk menemukan keseimbangan yang tepat antara mempromosikan kepercayaan dan transparansi dalam pendekatan bersama, tanpa mengorbankan fleksibilitas MCs".1

Namun, MCs juga dapat menjadi alat yang ampuh untuk mengatasi stigma gender di industri konstruksi. Dengan durasinya yang lebih pendek dan fokusnya yang spesifik, MCs menawarkan jalur karier yang kurang mengintimidasi bagi wanita dan kelompok rentan lainnya.1 Mereka memungkinkan individu untuk "menguji" minat mereka pada bidang konstruksi tanpa komitmen finansial dan waktu yang besar dari pendidikan formal. Peran MCs melampaui pelatihan keterampilan; mereka dapat menjadi instrumen untuk transformasi sosial, mengatasi ketidaksetaraan dan mempromosikan keragaman di industri yang secara historis didominasi laki-laki.

 

Menuju Masa Depan: Ekosistem Berkelanjutan dan Dampak Nyata

Ambisi proyek Green Circle melampaui sekadar menciptakan delapan modul pendidikan sebagai sumber terbuka.1 Tujuannya adalah membangun sebuah "ekosistem" yang mendukung mereka dan mengkatalisasi transformasi yang lebih luas.3 Ekosistem ini memiliki dua pilar utama:

Kredensial Digital Eropa (EDCs) dan Jaminan Kualitas. EDCs, yang dibangun di atas standar umum, menawarkan cara yang aman, mudah diverifikasi, dan portabel bagi pelajar untuk menyimpan dan membagikan kredensial mereka.1 Ini adalah kunci untuk mobilitas antar-negara, memungkinkan pekerja untuk membawa keterampilan mereka melintasi perbatasan dengan mudah.1

Pilar kedua adalah jaminan kualitas. MCs akan dijamin kualitasnya dengan menautkannya ke standar UE yang sudah ada seperti European Qualification Framework (EQF) dan European Credit Transfer and Accumulation System (ECTS).1 Dengan demikian, MCs akan mendapatkan pengakuan dan kepercayaan dari institusi pendidikan, pengusaha, dan badan-badan lain.1

Jika diterapkan secara luas, temuan ini bisa mengubah industri konstruksi, tidak hanya dengan mengatasi kesenjangan keterampilan, tetapi juga dengan menjadikannya lebih efisien, berkelanjutan, dan inklusif. Dalam waktu lima tahun, kita bisa melihat MCs menjadi alat standar bagi perusahaan untuk merekrut dan melatih, serta bagi para pekerja untuk membangun karier yang fleksibel dan tangguh di era transisi hijau.

Sumber Artikel:

Green Circle Project. (2024–2026). Micro credentials in Construction Sector (Project No. 101132905). Erasmus+ Programme (ERASMUS-LS).