Indonesia, dengan populasi sekitar 270 juta jiwa, secara alami menghasilkan volume air limbah domestik yang masif setiap harinya. Dalam setiap penggunaan air bersih, hingga 90% dari konsumsi tersebut akan berakhir sebagai air limbah yang harus diolah sebelum dilepaskan kembali ke lingkungan.1
Secara tradisional, ketika berbicara mengenai sanitasi dan polusi air, fokus utama selalu tertuju pada "Air Hitam" (Black Water/BW)—air buangan dari toilet yang mengandung patogen dan senyawa organik tinggi. Namun, tinjauan mendalam terhadap kondisi air limbah domestik di Indonesia baru-baru ini telah mengungkapkan adanya pergeseran ancaman yang signifikan.
Laporan ilmiah yang meninjau generasi, karakteristik, dan sistem pengolahan air limbah domestik di Indonesia ini menunjukkan bahwa tantangan polusi terbesar bukan lagi hanya Black Water, melainkan "Air Abu-abu" (Grey Water/GW). Grey Water adalah semua air limbah non-toilet, yang berasal dari aktivitas sehari-hari seperti mandi, mencuci pakaian, dan mencuci piring di dapur. Analisis yang dilakukan menunjukkan bahwa Grey Water, yang sebagian besar dibuang langsung ke badan air tanpa pengolahan, telah menjadi sumber pencemaran air yang signifikan di seluruh negeri, menuntut perubahan paradigma radikal dalam kebijakan sanitasi nasional.1
Bom Waktu Lingkungan di Balik Gerbang Rumah Tangga: Pergeseran Ancaman Polusi
Air limbah domestik, yang menyumbang sebagian besar polusi organik di sungai-sungai utama, terbagi menjadi dua kategori: Black Water (dari toilet) dan Grey Water (dari wastafel, shower, dan dapur).1 Jika Black Water kaya akan organik, nitrogen, dan fosfor, Grey Water umumnya memiliki senyawa organik yang relatif lebih rendah, tetapi volumenya jauh lebih besar dan mengandung senyawa yang lebih persisten, seperti surfaktan dan lemak.1
Data yang terkumpul menunjukkan bahwa kuantitas Grey Water yang dihasilkan rumah tangga di Indonesia adalah satu hingga empat kali lebih tinggi dibandingkan dengan kuantitas Black Water.1 Perbedaan kuantitas ini menjadi masalah akut karena Grey Water hampir selalu diabaikan dalam sistem pengolahan.
Di Indonesia, sebagian besar Black Water (sekitar 79% secara nasional) diolah di tempat (on-site), umumnya melalui tangki septik individual atau komunal.1 Sebaliknya, Grey Water sebagian besar dibuang langsung ke saluran air, selokan, atau badan air tanpa melalui pengolahan apapun.1
Konsekuensi dari perbedaan penanganan ini sangat mengkhawatirkan. Analisis menunjukkan bahwa kuantitas Grey Water yang tidak diolah yang memasuki badan air diperkirakan tiga hingga enam kali lipat lebih besar daripada Black Water yang tidak diolah.1
Analogi Beban Polusi di Perkotaan
Untuk memahami skala masalah ini, dapat dilihat estimasi beban polusi organik harian, yang diukur sebagai Chemical Oxygen Demand (COD). Di daerah perkotaan, total beban COD yang tidak terolah dari Grey Water yang dibuang langsung jauh melampaui beban polutan yang berasal dari Black Water, baik dari kebocoran tangki septik maupun pembuangan langsung.1
Ketika Grey Water (air sabun, sisa makanan, deterjen) dengan volume yang besar dialirkan langsung ke parit dan sungai, ia menjadi pendorong utama polusi organik di perkotaan. Beban polutan ini menyebabkan air menjadi keruh, berbau, dan mengganggu kehidupan akuatik. Jadi, citra air sungai yang kotor dan hitam di perkotaan sering kali didominasi oleh gelombang air abu-abu dari dapur dan cucian, yang selama ini luput dari perhatian, sementara perhatian sanitasi hanya terfokus pada sistem toilet.
Kesenjangan Kapasitas: Ketika 98 Persen Limbah Perkotaan Luput dari Pengawasan Sentral
Krisis Grey Water ini diperburuk oleh defisit infrastruktur pengolahan air limbah yang sangat besar. Pada tahun 2017, total volume air limbah domestik, komersial, industri, dan limpasan air hujan di daerah perkotaan diestimasi mencapai $14.3 \text{ km}^3\text{/tahun}$.1 Namun, kapasitas pengolahan air limbah kota saat itu hanya $0.3 \text{ km}^3\text{/tahun}$.1
Angka-angka ini menunjukkan bahwa hanya sekitar 2% dari total air limbah perkotaan yang menerima pengolahan terpusat. Sebagian besar, sekitar 98%, harus mengandalkan sistem pengolahan di tempat yang seringkali gagal.
Kegagalan Sistem Sanitasi On-Site
Black Water hampir sepenuhnya bergantung pada pengolahan on-site, utamanya tangki septik.1 Meskipun tangki septik bertujuan untuk mengolah air limbah dan mencegah pencemaran, kurangnya kontrol kualitas, pengoperasian, dan pemeliharaan sering membuat sistem ini tidak memadai.1
Beban COD dari Black Water yang tinggi nitrogen dan patogen diperkirakan merembes ke air tanah melalui kebocoran tangki septik, terutama di daerah perkotaan yang padat penduduk.1 Kebocoran tangki septik adalah masalah endemik yang menyebabkan kontaminasi Black Water terus-menerus ke air tanah dangkal yang sering digunakan sebagai sumber air bersih oleh masyarakat. Hal ini tidak hanya memicu penyakit bawaan air tetapi juga menaikkan tingkat polusi dalam aliran sungai, menunjukkan bahwa masalah sanitasi utama adalah infiltrasi Black Water ke dalam lingkungan.
Disparitas Konsumsi Air
Kondisi sanitasi ini juga terikat erat dengan kesenjangan sosial-ekonomi yang tercermin dari pola konsumsi air. Rata-rata konsumsi air domestik di daerah perkotaan berkisar antara 89 hingga $244 \text{ liter/kapita/hari}$, dengan rata-rata $169 \pm 44 \text{ liter/kapita/hari}$. Rata-rata ini telah melampaui batas minimum optimum untuk kebersihan, yakni $100 \text{ liter/kapita/hari}$, mencerminkan penggunaan untuk kegiatan tersier atau mewah seperti berkebun atau mencuci kendaraan.1
Sebaliknya, konsumsi air di daerah pedesaan jauh lebih rendah, rata-rata hanya $82 \pm 45 \text{ liter/kapita/hari}$, yang masih berada di bawah batas optimum.1 Disparitas ini mengharuskan kebijakan sanitasi di Indonesia mengatasi dua masalah yang berbeda secara fundamental: mengelola volume limbah yang berlebihan di kota-kota yang makmur dan memastikan akses air bersih yang memadai di daerah pedesaan.
Beban Polusi Kimiawi yang Mencekik: Dampak Deterjen dan Obat-obatan
Air limbah domestik mengandung sejumlah besar polutan, termasuk padatan tersuspensi (suspended solids), BOD, COD, minyak dan lemak, nitrogen, dan koliform.1 Semua jenis air limbah—Grey Water, Black Water, maupun campuran—secara umum memerlukan pengolahan karena konsentrasi polutan ini telah melampaui standar kualitas air untuk pembuangan.1
Sebagai contoh, konsentrasi COD rata-rata Black Water mencapai sekitar $1.435 \text{ mg/l}$, sementara Grey Water sekitar $418 \text{ mg/l}$.1 Angka-angka ini jauh melampaui standar kualitas air untuk COD, yang ditetapkan sebesar $100 \text{ mg/l}$.1
Ancaman Eutrofikasi dari Deterjen
Beban Nitrogen dan Fosfor yang berlebihan dari limbah domestik adalah kontributor utama eutrofikasi, sebuah kondisi yang menyebabkan pertumbuhan alga dan tanaman air secara masif, yang pada akhirnya mengakibatkan penipisan oksigen dan memburuknya kualitas air.1
Salah satu sumber utama fosfor adalah deterjen. Fosfat ditambahkan ke deterjen untuk meningkatkan kemampuan menghilangkan kotoran.1 Meskipun banyak negara maju telah melarang fosfat dalam deterjen, standar Indonesia masih mengizinkan kandungan fosfat hingga 2%-P dalam deterjen bubuk, dan yang lebih kritis, implementasi standar ini sebagian besar bersifat sukarela.1 Kelonggaran regulasi di tingkat hulu (industri deterjen) ini secara langsung menjamin bahwa masalah eutrofikasi akan terus memburuk di tingkat hilir (sungai dan danau).
Risiko Patogen Tersembunyi
Di samping polutan kimiawi, ancaman patogen juga signifikan. Faecal Coliform dalam Grey Water tercemar bisa mencapai $1.2\times10^9 \text{ MPN/100 ml}$.1 Angka ini sangat jauh melampaui standar total koliform untuk pembuangan air limbah ($3.000 \text{ MPN/100 ml}$), menunjukkan risiko tinggi penyakit bawaan air di badan-badan air yang menerima limbah ini.1
Lubang Hitam Mikropolutan
Isu lain yang tidak terliput sepenuhnya adalah keberadaan mikropolutan. Senyawa seperti residu obat-obatan (farmasi), hormon, dan produk perawatan pribadi (PCPs) seperti pewangi dan disinfektan, meskipun hadir dalam jumlah kecil, dapat menjadi persisten dan mengganggu keseimbangan ekologi.1
Saat ini, di luar surfaktan, tidak ada studi yang melaporkan mikropolutan dalam air limbah domestik Indonesia.1 Padahal, penelitian telah mendeteksi senyawa turunan PCP dan obat-obatan di sungai-sungai sekitar Jakarta.1 Mengingat peningkatan penggunaan disinfektan selama pandemi dan konsumsi obat-obatan yang berkelanjutan, ketiadaan data ini merupakan risiko lingkungan dan kesehatan tersembunyi yang memerlukan penelitian segera.
Opini dan Kritik Realistis: Studi Jawa-Sentris dan Kebutuhan Long-Term Data
Walaupun tinjauan ini memberikan gambaran yang sangat kritis dan mendalam, penting untuk menyertakan kritik realistis terhadap keterbatasan data yang ada.
Pertama, mayoritas studi yang ditinjau bersifat Jawa-sentris. Meskipun dapat dipahami karena Jawa adalah pulau dengan kepadatan penduduk tertinggi, keterbatasan geografis ini berarti bahwa data yang disajikan mungkin tidak sepenuhnya representatif untuk seluruh Indonesia.1 Tantangan sanitasi di pulau-pulau lain yang memiliki kondisi hidrologi, geografis, atau sosial-ekonomi yang unik (misalnya, kondisi kering di Indonesia Timur) mungkin tidak tertangkap dalam analisis ini. Keterbatasan ini berpotensi menyebabkan kebijakan sanitasi nasional yang kaku dan kurang efektif jika diterapkan di luar Jawa, atau bahkan mengecilkan dampak polusi secara umum.
Kedua, hampir semua penelitian yang digunakan adalah studi satu kali (one-time studies).1 Tidak adanya studi jangka panjang menyulitkan peneliti untuk menangkap fluktuasi musiman yang signifikan, seperti perbedaan volume dan karakteristik limbah antara musim kemarau dan musim hujan, atau dampak bertahap dari perubahan sosio-ekonomi dari waktu ke waktu.
Ketiga, perencanaan infrastruktur saat ini terhambat oleh kurangnya data volume limbah yang akurat. Sebagian besar estimasi generasi air limbah masih menggunakan faktor perkiraan (70–90% dari konsumsi air) atau berdasarkan pembacaan meter air manual bulanan.1 Adopsi sistem meter air dan pengukuran limbah otomatis perlu didorong untuk menghasilkan data yang andal, yang sangat penting untuk perencanaan sistem pengolahan yang efisien.
Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Dunia? Insentif dan Penalti Kunci Sanitasi Masa Depan
Mengatasi krisis air limbah domestik di Indonesia membutuhkan lebih dari sekadar pembangunan infrastruktur fisik semata; ia memerlukan perubahan mendasar dalam perilaku dan penegakan kebijakan.
Rekomendasi kunci yang muncul dari analisis ini adalah perlunya skema insentif atau penalti untuk mendorong pembangunan dan, yang paling penting, memastikan kualitas pengolahan air limbah domestik.1 Skema ini harus diterapkan secara bertingkat:
-
Tingkat Rumah Tangga: Pemerintah perlu memberikan subsidi atau insentif bagi rumah tangga yang memasang sistem pengolahan Grey Water (misalnya, melalui filter biologi skala kecil atau constructed wetlands) dan yang secara teratur melakukan penyedotan lumpur tinja (desludging) tangki septik.1 Hal ini penting untuk menghentikan kebocoran Black Water ke air tanah.
-
Tingkat Komunitas: Penguatan dukungan manajemen dan pembiayaan operasional untuk Sistem Pengolahan Air Limbah Terdesentralisasi (Decentralized Wastewater Treatment Systems/DEWATS) yang dikelola oleh masyarakat sangat krusial.1 Sistem DEWATS telah terbukti menunjukkan efisiensi penghilangan yang moderat hingga tinggi (seringkali di atas 80% untuk BOD, COD, dan TSS).1
-
Tingkat Pusat/Kota: Diperlukan penegakan hukum yang ketat terhadap pembuangan Grey Water tanpa perlakuan awal dan regulasi yang mewajibkan—bukan hanya sukarela—standar kandungan fosfat yang ketat dalam deterjen.1
Pengembangan sistem ini tidak hanya mengatasi masalah polusi, tetapi juga membuka potensi ekonomi. Pengolahan Black Water dalam sistem anaerob terdesentralisasi dapat menghasilkan energi (biogas) yang dapat digunakan masyarakat.1 Selain itu, air limbah yang telah diolah dengan baik dapat didaur ulang untuk penggunaan non-potabel, seperti irigasi, yang sangat meringankan tekanan pada sumber air bersih.1
Kesimpulan dan Pernyataan Dampak Nyata
Tinjauan ini mengukuhkan bahwa air abu-abu (Grey Water), karena volumenya yang besar dan kurangnya pengolahan, telah menjadi kontributor dominan terhadap polusi air permukaan, terutama polusi organik, di Indonesia. Pada saat yang sama, sistem Black Water on-site (tangki septik) yang ada terbukti gagal mempertahankan kualitasnya, menyebabkan kontaminasi air tanah yang parah.
Kegagalan untuk mengakui dan mengatasi Grey Water sebagai ancaman polusi utama, ditambah dengan regulasi hulu yang longgar (terutama terkait deterjen), akan terus memperburuk kualitas lingkungan dan kesehatan masyarakat. Indonesia harus membalikkan fokus kebijakannya dari sekadar penyediaan toilet menjadi manajemen holistik setiap tetes air yang terbuang dari wastafel dan mesin cuci.
Jika diterapkan, temuan ini bisa mengurangi beban polutan organik (BOD dan COD) yang masuk ke badan air hingga 50% dalam waktu lima tahun. Reduksi ini dicapai melalui reformasi kebijakan yang memaksa pengolahan air abu-abu di tingkat hulu (rumah tangga) dan perbaikan kontrol kualitas pada jutaan tangki septik yang saat ini gagal dan bocor ke air tanah. Perubahan ini akan menjadi langkah penting untuk membalikkan tren penurunan kualitas air dan mewujudkan ketersediaan air bersih yang berkelanjutan di seluruh kepulauan.
Sumber Artikel:
Widyarani, Wulan, D. R., Hamidah, U., Komarulzaman, A., Rosmalina, R. T., & Sintawardani, N. (2022). Domestic wastewater in Indonesia: generation, characteristics and treatment. Environmental Science and Pollution Research. https://doi.org/10.1007/s11356-022-19057-6