Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Kontrak Proyek Infrastruktur Indonesia – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel

17 September 2025, 11.44

unsplash.com

Mengurai Benang Kusut: Mengapa Manajemen Kontrak Tak Selalu Cukup Dikuasai

Suka atau tidak, dinamika pembangunan di Indonesia akan selalu diwarnai oleh satu isu krusial: permasalahan kontraktual. Sebagai landasan hukum dalam setiap proyek konstruksi, kontrak adalah jantung yang menentukan keberhasilan, dan sayangnya, kerap menjadi sumber kegagalan. Sebuah karya praktis, "100 Tanya-Jawab Permasalahan Kontrak Konstruksi Indonesia" yang ditulis oleh Seng Hansen, akademisi sekaligus praktisi, berupaya membedah isu-isu ini dari akarnya. Temuan yang paling mengejutkan dari buku ini adalah pemahaman yang belum matang tentang Manajemen Kontrak Konstruksi (MKK) sebagai sebuah disiplin ilmu di Indonesia.1

MKK sendiri bukanlah Manajemen Konstruksi (MK) yang lebih umum dikenal. Jika MK adalah pengelolaan proyek secara menyeluruh yang mencakup perencanaan, koordinasi, dan pengendalian aspek kualitas, biaya, dan waktu, MKK adalah sub-bidang spesifik yang berfokus pada pengelolaan kontrak.1 MKK adalah pedoman dan alat pengendali yang memastikan hubungan hukum, distribusi risiko, serta hak dan kewajiban setiap pihak berjalan sebagaimana mestinya. Ketiadaan pemahaman yang mendalam terhadap disiplin ilmu ini terbukti menjadi benang kusut di balik banyaknya sengketa yang terjadi.1

Buku ini mengungkap tiga faktor utama yang menyebabkan MKK belum berkembang pesat di Indonesia. Pertama, praktik MKK di lapangan seringkali mengadopsi standar internasional namun dimodifikasi terlalu bebas tanpa fondasi keilmuan yang kuat. Kedua, tidak adanya pendidikan formal atau sertifikasi profesi yang berfokus pada MKK. Berbeda dengan negara tetangga seperti Malaysia, di mana MKK sudah menjadi program Magister, di Indonesia MKK seringkali hanya menjadi topik selayang pandang dalam mata kuliah Manajemen Konstruksi di tingkat Sarjana.1 Ketiga, belum adanya pedoman atau peraturan baku yang menjadi rujukan standar praktik MKK nasional.1

Kondisi ini menciptakan sebuah siklus yang problematis. Kurangnya pendidikan formal menyebabkan para praktisi belajar secara otodidak atau menerapkan praktik seadanya, yang pada akhirnya memicu lebih banyak masalah kontraktual. Pada gilirannya, banyaknya permasalahan ini menuntut adanya jawaban praktis, yang justru menjadi motivasi penulisan buku ini. Lahirnya Komunitas Manajemen Kontrak Konstruksi Indonesia (KMKKI) yang beranggotakan para akademisi dan praktisi merupakan sebuah langkah proaktif untuk mengisi kekosongan tersebut, mendorong kemajuan dan diseminasi ilmu MKK yang berlandaskan standar internasional namun tetap menjunjung kebijaksanaan lokal.1

 

Di Balik Tanda Tangan: Mengapa Perjanjian Tak Selalu Selesai di Meja Negosiasi

Proses penyusunan kontrak kerap dianggap sebagai formalitas, padahal di sinilah risiko terbesar bersembunyi. Buku ini menekankan bahwa kontrak yang baik haruslah hitam di atas putih dan mudah dipahami, disusun dengan prinsip-prinsip yang logis, terorganisir, dan menghindari ambiguitas.1 Namun, di balik serangkaian klausul, terdapat dinamika kekuasaan yang seringkali mengikis prinsip kesetaraan.

Menurut studi yang dikutip dalam buku, permasalahan kesetaraan kontrak di Indonesia masih jauh dari predikat adil. Hal ini terlihat dari sanksi yang timpang: kelalaian penyedia jasa (kontraktor) dapat dikenai sanksi berat, sementara kelalaian pengguna jasa (pemilik proyek) seringkali hanya berujung pada sanksi ringan atau bahkan tanpa sanksi sama sekali. Ketidaksetaraan ini menciptakan lingkungan di mana satu pihak dapat memaksakan pemahaman kontrak di luar koridor yang seharusnya, menjadikan hubungan kontraktual tidak seimbang.1

Ketimpangan ini juga tecermin dalam hierarki dokumen kontrak yang seringkali tidak jelas. Proyek konstruksi melibatkan banyak dokumen teknis seperti Rencana Anggaran Biaya (RAB), gambar rencana (DED), dan spesifikasi teknis. Tanpa hierarki yang jelas, perbedaan data di antara dokumen-dokumen ini dapat memicu konflik. Buku ini dengan lugas memaparkan contoh hierarki yang umum, di mana adendum, surat perjanjian, dan syarat-syarat khusus kontrak memiliki prioritas lebih tinggi dibanding dokumen lain.1 Penjelasan ini sangat penting, karena tanpa hierarki yang jelas, klaim sebesar apa pun bisa kandas di tengah jalan hanya karena perbedaan interpretasi dokumen.

Fenomena ini adalah cerminan dari kurangnya pemahaman MKK yang meluas, di mana kontrak dibuat dengan modifikasi seadanya tanpa mempertimbangkan dampaknya. Solusi yang dianjurkan adalah penggunaan Format Standar Kontrak Konstruksi (FSKK) yang dibuat oleh pihak netral, seperti FIDIC (Fédération Internationale Des Ingénieurs-Conseils). FSKK yang baik, seperti FIDIC Red Book, memiliki Golden Principles yang menjamin alokasi risiko yang adil dan seimbang, serta penyelesaian sengketa yang lebih teratur.1 Keberadaan buku ini dan FSKK menjadi sebuah kritik realistis: bahwa permasalahan yang sering kita lihat bukan hanya tentang niat buruk, melainkan juga tentang ketidakmampuan profesional untuk membuat kontrak yang adil.

 

Kisah Lumpsum dan Desain-Bangun: Mitos dan Fakta di Mata Auditor dan Pelaksana Proyek

Dalam dunia kontrak, jenis lumpsum dan Design and Build (DB) seringkali menjadi sumber kebingungan. Kontrak lumpsum adalah perjanjian dengan harga pasti yang tidak akan berubah, di mana semua risiko ditanggung sepenuhnya oleh kontraktor.1 Sementara itu, kontrak DB adalah jenis di mana kontraktor bertanggung jawab penuh atas desain dan pelaksanaan pekerjaan di lapangan, memberikan kesempatan untuk inovasi dan efisiensi.1

Namun, di sini terletak paradoks terbesar yang diungkap buku ini: banyak auditor, terutama dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), kerap mengevaluasi proyek lumpsum dengan kacamata kontrak unit-price (harga satuan). Mereka berpendapat bahwa jika volume pekerjaan yang terealisasi lebih sedikit dari yang tercantum di RAB, maka hal itu adalah kerugian negara dan kontraktor wajib mengembalikan kelebihan pembayaran.1 Padahal, esensi kontrak lumpsum adalah kepastian biaya bagi pemilik proyek dan transfer risiko yang lebih besar kepada kontraktor. Jika seorang kontraktor berhasil menciptakan efisiensi yang signifikan, misalnya mengurangi volume material melalui rekayasa nilai, seharusnya hal itu menjadi keuntungan mereka.

Namun, cara pandang auditor ini menciptakan model risiko yang tidak adil: kontraktor menanggung risiko kerugian jika ada pekerjaan tambahan, tetapi tidak diizinkan menikmati keuntungan dari efisiensi yang diciptakan. Ini dapat mengecilkan dampak inovasi dan mengurangi semangat kompetitif dalam industri. Dalam beberapa kasus, perbedaan interpretasi ini bahkan berujung ke pengadilan, mencerminkan adanya ketidaktepatan pengambilan keputusan di tingkat auditor.1

Perlu diketahui bahwa Peraturan Presiden (Perpres) No. 16/2018 telah menghilangkan ketentuan sebelumnya yang melarang pekerjaan tambah/kurang pada kontrak lumpsum, menegaskan bahwa perubahan nilai kontrak dimungkinkan jika terjadi perubahan lingkup pekerjaan atau spesifikasi.1 Dengan demikian, permasalahan ini bukanlah sekadar masalah teknis, melainkan cerminan dari tantangan sistemis dalam pengelolaan keuangan negara dan pemahaman yang masih tumpang tindih mengenai alokasi risiko yang wajar.

 

Saat Bencana dan Konflik Datang: Mengapa Keadaan Kahar Bukan Sekadar Klausa Kertas

Proyek konstruksi tidak pernah berjalan dalam ruang hampa. Ada kalanya, di tengah perjalanan, ia dihadapkan pada situasi yang tidak terduga, seperti bencana alam atau konflik sosial. Dalam dunia hukum, kondisi ini dikenal dengan istilah Keadaan Kahar atau force majeure, yang merupakan doktrin dari sistem Hukum Sipil.1 Buku ini menjelaskan bahwa suatu peristiwa dapat dikategorikan sebagai keadaan kahar jika memenuhi lima karakteristik: tidak terduga, tidak terhindarkan, tidak dapat dikendalikan, menghambat pemenuhan kewajiban, dan di luar tanggung jawab para pihak.1

Pandemi COVID-19 yang terjadi baru-baru ini adalah contoh nyata bagaimana sebuah exceptional event bisa menguji ketahanan sebuah kontrak. Sebuah studi yang dipaparkan dalam buku ini mengungkapkan bahwa dampak pandemi sungguh luar biasa. Lebih dari separuh proyek (56,78%) mengalami perlambatan, dan sebagian besar (84,92%) mengalami perubahan besar, baik dalam target, struktur organisasi, maupun budaya kerja.1 Angka-angka ini menunjukkan bahwa Keadaan Kahar bukan sekadar klausa teoretis, melainkan realitas yang dapat menghantam proyek dengan dampak seperti menaikkan biaya dari Rp 20 juta menjadi Rp 70 juta.1

Lebih lanjut, buku ini menyoroti bahwa di Indonesia, Keadaan Kahar tidak hanya terbatas pada bencana alam. Konteks lokal yang unik, seperti keberadaan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB), juga dapat dikategorikan sebagai peristiwa Keadaan Kahar yang dapat menghambat pelaksanaan proyek.1 Hal ini memberikan sebuah pelajaran penting: klausul-klausul dalam kontrak konstruksi tidak bisa bersifat generik, tetapi harus secara eksplisit memasukkan elemen-elemen risiko yang relevan dengan kondisi geografis dan sosial di Indonesia. Tanpa klausul yang jelas, kontraktor yang proyeknya terhambat karena masalah keamanan tidak memiliki dasar hukum yang kuat untuk mengajukan klaim perpanjangan waktu atau biaya tambahan.1

 

Titik Didih: Meredakan Konflik dan Menyelesaikan Klaim Tanpa Harus ke Meja Hijau

Meski kontrak telah disusun seadil mungkin, konflik tetap akan muncul. Buku ini secara realistis mengakui bahwa setiap kegiatan kontrak konstruksi berpotensi terjadi sengketa.1 Namun, yang menjadi ironi di Indonesia adalah pengajuan klaim konstruksi kerap dianggap tabu, terutama ketika berurusan dengan pihak pemerintah.1 Kontraktor seringkali enggan mengajukan klaim karena takut dicap sebagai rewel atau bahkan khawatir akan masuk daftar hitam.

Padahal, klaim bukanlah sesuatu yang harus dihindari; melainkan sebuah hak kontraktual yang sah. MKK yang baik mengajarkan bahwa manajemen klaim adalah proses yang harus dikuasai, mulai dari identifikasi, notifikasi, dokumentasi, hingga negosiasi.1 Tanpa dokumentasi yang akurat, klaim yang sebetulnya valid dapat dengan mudah ditolak, seperti kasus seorang kontraktor yang ditolak klaimnya karena tidak menyajikan data lengkap saat pemeriksaan prestasi pekerjaan.1

Untuk meredakan titik didih konflik, buku ini menyarankan mekanisme Alternative Dispute Resolution (ADR) sebagai langkah pertama sebelum membawa masalah ke meja hijau. Prosesnya dimulai dari negosiasi langsung, berlanjut ke mediasi, dan kemudian ke ajudikasi. Buku ini memperkenalkan model Dewan Pencegahan dan Ajudikasi Sengketa (DAAB) yang direkomendasikan oleh FIDIC. DAAB adalah dewan yang terdiri dari satu atau tiga ahli yang ditunjuk oleh kedua pihak untuk menengahi dan memutuskan sengketa. Keputusan DAAB bersifat mengikat, cepat, dan tidak menghentikan progres pekerjaan di lapangan.1

Keunggulan ADR dibandingkan litigasi (jalur pengadilan) adalah kecepatannya, biayanya yang lebih efisien, serta kemampuannya untuk menjaga hubungan baik antara para pihak. Ketergantungan pada proses hukum formal seringkali memakan waktu bertahun-tahun dan biaya yang besar, yang pada akhirnya merugikan semua pihak. Dengan mempromosikan ADR dan manajemen klaim yang profesional, buku ini tidak hanya memberikan jawaban, tetapi juga mendorong perubahan budaya dari yang konfrontatif menjadi kolaboratif.

 

Sebuah Peta Jalan Menuju Industri Konstruksi yang Lebih Adil dan Akuntabel

Buku "100 Tanya-Jawab Permasalahan Kontrak Konstruksi Indonesia" bukanlah sekadar kumpulan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan teknis. Karya ini adalah sebuah cermin yang merefleksikan tantangan fundamental yang dihadapi industri konstruksi di Indonesia. Ia menunjukkan bahwa banyak masalah, dari proyek yang mangkrak hingga sengketa di pengadilan, berakar dari satu hal: ketidakmatangan Manajemen Kontrak Konstruksi sebagai sebuah disiplin ilmu dan praktik.

Temuan ini membawa kita pada kesimpulan mendalam. Pertama, ketidakjelasan dalam kontrak dan pemahaman yang tumpang tindih tentang jenis-jenis kontrak bukanlah kebetulan. Ini adalah hasil dari kurangnya edukasi formal dan standar baku. Kedua, pendekatan auditor yang keliru terhadap kontrak lumpsum menciptakan lingkungan di mana efisiensi dan inovasi dihukum, padahal seharusnya diberi insentif. Ketiga, realitas geografis dan sosial Indonesia menuntut kontrak yang lebih spesifik dan detail, terutama dalam mengelola Keadaan Kahar seperti pandemi atau konflik. Terakhir, budaya yang menganggap klaim sebagai tabu menunjukkan ketidakpercayaan yang lebih dalam terhadap sistem penyelesaian sengketa, mendorong perlunya adopsi mekanisme ADR yang lebih cepat dan efisien.

Secara keseluruhan, jika diterapkan, temuan dari buku ini berpotensi untuk membawa transformasi nyata. Pemahaman yang lebih baik tentang MKK akan menciptakan kontrak yang lebih adil dan transparan. Lingkungan yang menghargai efisiensi akan mendorong inovasi. Dan sistem penyelesaian sengketa yang lebih profesional akan mengurangi biaya hukum yang tidak perlu dan mempercepat penyelesaian proyek. Dalam waktu lima tahun, adopsi prinsip-prinsip ini dapat mengurangi biaya proyek hingga 10-15% dan memangkas waktu penyelesaian yang disebabkan oleh sengketa, mewujudkan mimpi infrastruktur Indonesia yang lebih kuat, lebih adil, dan lebih akuntabel.

Sumber Artikel:

Hansen, S. 100 Tanya-Jawab P.