Setiap pagi, ribuan warga Kota Malang memulai rutinitas mereka di atas aspal. Perjalanan ke kantor, mengantar anak sekolah, atau sekadar mobilitas barang dan jasa, semuanya bergantung pada jaringan arteri vital yang kita sebut jalan. Namun, bagi mereka yang setiap hari melintasi Kecamatan Lowokwaru, khususnya di ruas Jalan Candi Panggung, Candi Panggung Barat, dan Saxsofone, perjalanan itu sering kali diwarnai oleh guncangan kecil, manuver tiba-tiba untuk menghindari lubang, dan rasa frustrasi yang menumpuk perlahan. Keluhan ini bukan sekadar ketidaknyamanan sesaat; ia adalah gejala dari masalah struktural yang lebih dalam.1
Jalan-jalan ini, yang diklasifikasikan sebagai jalan kelas III C dengan volume kendaraan yang cukup padat, telah lama menderita berbagai jenis kerusakan, dari yang ringan hingga yang mengancam keselamatan.1 Kerusakan ini bukan hanya noda visual pada wajah kota, tetapi juga penghambat efisiensi, pengikis kenyamanan, dan ancaman nyata bagi keamanan pengendara.1 Menyadari bahwa solusi tambal sulam biasa tidak akan cukup, sebuah tim peneliti dari Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang, dipimpin oleh Hanan Maulana Fikri, Ir. Eding Iskak Imananto, MT, dan Annur Ma'ruf, ST.MT, melakukan sebuah investigasi mendalam. Misi mereka jelas: mengganti metode "harga taksiran" yang sering kali tidak akurat dengan pendekatan empiris yang kokoh untuk mendiagnosis kondisi jalan dan merumuskan resep perbaikan yang paling efektif dan efisien.1 Ini adalah kisah tentang bagaimana sains rekayasa sipil membongkar masalah sehari-hari dan menawarkan solusi berbasis data.
Menguak Misteri di Balik Aspal: Sains di Balik Diagnosis Kerusakan Jalan
Bagaimana para insinyur "berbicara" dengan aspal untuk memahami kondisinya? Jawabannya terletak pada sebuah proses metodis yang bisa diibaratkan sebagai medical check-up lengkap untuk infrastruktur. Tim peneliti tidak hanya melihat permukaan jalan; mereka melakukan diagnosis komprehensif menggunakan Metode Bina Marga, sebuah pedoman standar nasional yang mengubah observasi visual menjadi data kuantitatif yang solid.1
Proses ini dimulai dengan survei lapangan yang teliti, di mana setiap jengkal jalan diperiksa untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasikan setiap cacat. Kerusakan perkerasan lentur, menurut manual, secara umum terbagi menjadi empat modus utama: retak (cracking), perubahan bentuk (distorsi atau deformasi), cacat permukaan, dan pengausan.1 Para peneliti bertindak layaknya dokter forensik, membaca "bahasa" kerusakan aspal. Misalnya, "Retak Buaya," yang polanya menyerupai kulit buaya, menandakan kelelahan struktural yang parah hingga ke lapisan fondasi. Sementara "Retak Memanjang" dan "Retak Melintang" menceritakan kisah berbeda tentang jenis tegangan yang dialami jalan dari waktu ke waktu.1
Setiap jenis kerusakan ini kemudian diberi skor. Lebar retakan, kedalaman alur, dan luas area yang terdampak semuanya diukur dan diberi nilai angka kerusakan. Sebagai contoh, retak buaya dengan lebar lebih dari 2 mm akan mendapat skor 5, sementara retak yang lebih halus di bawah 1 mm hanya mendapat skor 3.1 Akumulasi dari semua skor ini akan menghasilkan sebuah "Nilai Kondisi Jalan" akhir, sebuah rapor objektif yang menunjukkan seberapa sehat atau sakitnya sebuah ruas jalan.1
Namun, diagnosis tidak berhenti di situ. Untuk memahami kekuatan struktural yang tak terlihat, para peneliti menggunakan alat bernama Benkelman Beam. Alat ini bisa dianggap sebagai "stetoskop" untuk jalan. Cara kerjanya adalah dengan mengukur seberapa besar jalan melendut atau "membal" di bawah tekanan beban gandar standar.1 Lendutan balik ini, yang diukur dalam milimeter, merupakan indikator langsung dari kekuatan perkerasan. Jalan yang sehat dan kokoh akan memiliki lendutan yang sangat kecil, sementara jalan yang lemah dan rapuh akan melendut lebih banyak. Pengukuran ini sangat krusial karena menjadi dasar perhitungan ketebalan lapisan perbaikan yang dibutuhkan nanti.
Diagnosis holistik ini juga mempertimbangkan dua variabel kritis lainnya. Pertama adalah Lalu Lintas Harian Rata-rata (LHR), yang mengukur beban harian yang ditanggung jalan. Data volume kendaraan, dari sepeda motor hingga bus besar, dikonversi menjadi satu unit standar untuk memahami tingkat stres total pada infrastruktur.1 Kedua adalah temperatur, karena suhu udara sangat memengaruhi fleksibilitas aspal. Pengukuran lendutan selalu dikoreksi terhadap temperatur standar () untuk memastikan hasil yang akurat dan konsisten, tidak peduli kapan pengujian dilakukan.1 Kombinasi dari analisis kerusakan visual, pengukuran kekuatan struktural, dan data lalu lintas inilah yang membentuk dasar dari sebuah rekomendasi perbaikan yang benar-benar berbasis sains.
Hasil Investigasi: Rapor Kesehatan Tiga Jalan Utama di Malang
Setelah proses diagnosis yang cermat, tim peneliti merilis "rapor kesehatan" untuk ketiga ruas jalan tersebut. Hasilnya memberikan gambaran yang jelas tentang kondisi infrastruktur vital di Kecamatan Lowokwaru. Jalan Candi Panggung Barat memperoleh nilai kondisi jalan tertinggi sebesar 6,6, diikuti oleh Jalan Saxsofone dengan nilai 5,9, dan Jalan Candi Panggung dengan nilai terendah 5,4.1 Jika diibaratkan nilai sekolah, tidak ada yang benar-benar "gagal", namun ketiganya mendapatkan nilai yang cukup mengkhawatirkan dan menandakan perlunya intervensi serius.
Beban yang mereka tanggung pun tidak main-main. Analisis Lalu Lintas Harian Rata-rata (LHR) menunjukkan bahwa ketiga ruas jalan tersebut masuk dalam kategori "Kelas Lalu Lintas 6".1 Ini adalah klasifikasi untuk lalu lintas padat, mengonfirmasi bahwa jalan-jalan ini adalah arteri sibuk yang setiap hari menopang pergerakan puluhan ribu kendaraan, mulai dari sepeda motor yang berjumlah lebih dari 23.000 per hari hingga kendaraan berat.1 Beban konstan inilah yang menjadi salah satu faktor utama percepatan kerusakan.
Melihat lebih dalam pada profil kerusakan setiap jalan, kita menemukan cerita yang unik:
- Jalan Saxsofone: Masalah terbesar di sini adalah "Kekasaran Permukaan," yang mendominasi hingga 45% dari total kerusakan. Ini berarti hampir separuh permukaan jalan sudah aus dan tidak lagi mulus, menciptakan perjalanan yang tidak nyaman dan berpotensi berbahaya. Diikuti oleh retak memanjang (19%) dan retak buaya (16%), jalan ini seolah berteriak meminta lapisan permukaan baru.1
- Jalan Candi Panggung Barat: Jalan ini menunjukkan tanda-tanda kelelahan struktural yang signifikan. Jenis kerusakan paling dominan adalah retak memanjang (35%) dan retak buaya (26%). Kombinasi kedua jenis retak ini, yang mencakup lebih dari 60% kerusakan, adalah sinyal bahaya bahwa fondasi jalan sedang berjuang keras menahan beban lalu lintas.1
- Jalan Candi Panggung: Profil kerusakannya lebih beragam. Kekasaran permukaan (33%) dan retak memanjang (25%) menjadi dua masalah utama, diikuti oleh tambalan (17%) dan retak buaya (14%). Kehadiran tambalan yang signifikan menunjukkan bahwa perbaikan-perbaikan kecil di masa lalu sudah tidak lagi efektif.1
Dengan data ini, para peneliti menghitung "Urutan Prioritas" (UP) menggunakan rumus: .1 Hasilnya, Jalan Candi Panggung mendapat skor UP 5,75, Jalan Saxsofone 5,07, dan Jalan Candi Panggung Barat 4,71.1 Menurut pedoman Bina Marga, semua nilai yang berada di rentang 4-6 masuk dalam kategori program "Pemeliharaan Berkala".1 Artinya, kondisi mereka sudah melewati tahap di mana penambalan rutin cukup, tetapi belum separah itu hingga memerlukan pembangunan ulang total. Diagnosisnya jelas: ketiganya memerlukan intervensi struktural yang signifikan.
Resep Insinyur: Mengapa Lapisan Aspal 5 Sentimeter Adalah Kuncinya?
Berdasarkan diagnosis "Pemeliharaan Berkala", resep yang direkomendasikan oleh para insinyur adalah penerapan lapisan aspal baru, atau yang secara teknis disebut overlay. Ini bukan sekadar lapisan kosmetik untuk membuat jalan terlihat baru; ini adalah penambahan struktural yang dirancang untuk mengembalikan kekuatan jalan dan memperpanjang umurnya secara signifikan.1
Pertanyaan krusialnya adalah, mengapa tebalnya harus tepat 5 sentimeter? Angka ini bukanlah hasil tebakan atau perkiraan, melainkan hasil dari perhitungan rekayasa yang presisi menggunakan metode Pd-T-05-2005-B.1 Prosesnya dapat dianalogikan seperti dokter yang menghitung dosis obat yang tepat untuk pasien.
Pertama, para insinyur mengukur "kekuatan aktual" jalan saat ini, yang diwakili oleh nilai lendutan dari tes Benkelman Beam (). Ini adalah titik awal kondisi pasien. Kedua, mereka menghitung "kekuatan ideal" yang seharusnya dimiliki jalan () agar mampu menahan akumulasi beban lalu lintas di masa depan selama umur rencana yang ditetapkan. Perhitungan ini mempertimbangkan proyeksi jumlah kendaraan di tahun-tahun mendatang. Ketebalan overlay sebesar 5 cm adalah hasil perhitungan eksak yang dibutuhkan untuk menjembatani kesenjangan antara kondisi lemah saat ini dan kondisi kuat yang ditargetkan.1
Namun, sebuah temuan menarik sekaligus memicu diskusi adalah bahwa ketiga jalan tersebut, meskipun memiliki nilai kondisi dan profil kerusakan yang berbeda, semuanya mendapatkan resep yang sama: overlay setebal 5 cm.1 Di sinilah kita bisa melihat sisi positif sekaligus potensi kritik dari pendekatan ini.
- Efisiensi Standardisasi: Dari sudut pandang manajemen proyek, memberikan solusi standar 5 cm untuk semua ruas jalan yang masuk kategori pemeliharaan berkala sangatlah efisien. Ini menyederhanakan pengadaan material, kalibrasi alat berat, dan pelaksanaan di lapangan. Bagi pemerintah kota yang mengelola ratusan kilometer jalan, standardisasi semacam ini dapat menghemat waktu dan biaya secara signifikan.
- Potensi Kurangnya Nuansa: Di sisi lain, pendekatan "satu ukuran untuk semua" ini bisa dipertanyakan dari segi optimalisasi sumber daya. Muncul pertanyaan kritis: apakah Jalan Candi Panggung Barat, yang kondisi awalnya sedikit lebih baik (nilai 6,6), benar-benar membutuhkan lapisan setebal 5 cm? Mungkin lapisan 4 cm sudah cukup, yang bisa menghemat anggaran. Sebaliknya, apakah jalan dengan kondisi lebih buruk tidak memerlukan lapisan yang sedikit lebih tebal untuk daya tahan ekstra? Metodologi yang digunakan, meskipun sangat kuat, tampaknya mengelompokkan jalan ke dalam kategori penanganan yang luas, yang berpotensi kehilangan peluang untuk optimasi yang lebih halus di setiap segmen jalan.
Investasi Miliaran Rupiah: Harga untuk Jalanan yang Aman dan Lancar
Menerapkan solusi rekayasa canggih tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Total biaya yang dianggarkan untuk perbaikan ketiga ruas jalan ini mencapai lebih dari 3,1 miliar Rupiah. Rinciannya adalah Rp 870.950.000 untuk Jalan Candi Panggung, Rp 765.630.000 untuk Jalan Candi Panggung Barat, dan Rp 1.554.400.000 untuk Jalan Saxsofone.1 Angka-angka fantastis ini bukan muncul begitu saja, melainkan dihitung secara cermat berdasarkan Analisa Harga Satuan Pekerjaan (AHSP) yang ditetapkan oleh Kementerian Pekerjaan Umum.1
Biaya ini mencakup semua komponen, mulai dari biaya langsung seperti material aspal, upah tenaga kerja, dan sewa alat berat, hingga biaya tidak langsung seperti manajemen proyek dan administrasi. Transparansi dalam perhitungan biaya ini menunjukkan pergeseran penting menuju akuntabilitas dalam penggunaan dana publik. Warga dapat melihat bahwa anggaran yang dikeluarkan didasarkan pada kebutuhan teknis yang objektif, bukan sekadar keputusan politis.
Untuk memahami skala investasi ini, mari kita lihat lebih dekat. Biaya perbaikan Jalan Saxsofone yang mencapai lebih dari 1,5 miliar Rupiah memang terdengar besar. Namun, jika kita membaginya dengan panjang total jalan yaitu 1.378 meter, maka investasi per meternya adalah sekitar 1,1 juta Rupiah.1 Inilah harga riil untuk memastikan permukaan jalan yang aman, nyaman, dan tahan lama bagi ribuan pengguna setiap harinya. Perbedaan biaya antar ruas jalan pun sangat logis, di mana Jalan Saxsofone yang terpanjang secara alami membutuhkan anggaran terbesar.
Pada akhirnya, investasi miliaran rupiah ini harus dilihat sebagai langkah preventif untuk menghindari biaya yang jauh lebih besar di masa depan. Membiarkan jalan-jalan ini terus rusak hanya akan berujung pada kegagalan total struktur, yang akan memerlukan rekonstruksi penuh dengan biaya yang bisa berkali-kali lipat lebih mahal dan gangguan lalu lintas yang jauh lebih parah. Ini adalah investasi untuk keselamatan publik, efisiensi ekonomi, dan kualitas hidup warga kota. Jalan yang mulus tidak hanya mengurangi risiko kecelakaan, terutama bagi pengendara sepeda motor, tetapi juga mengurangi biaya perawatan kendaraan bagi warga dan memastikan kelancaran arus barang yang menjadi denyut nadi perekonomian lokal.
Kesimpulan: Dampak Nyata dari Perencanaan Berbasis Data
Perjalanan dari keluhan warga tentang jalan bergelombang hingga preskripsi overlay setebal 5 cm yang didukung data miliaran rupiah ini menggarisbawahi satu hal: kekuatan perencanaan berbasis data. Studi yang dilakukan di Malang ini adalah bukti nyata bagaimana pendekatan ilmiah dapat mengubah cara kita mengelola infrastruktur perkotaan. Ia memindahkan paradigma dari model reaktif yang hanya menambal lubang berdasarkan keluhan, ke model proaktif yang mendiagnosis kesehatan jalan secara sistematis dan melakukan intervensi tepat waktu.
Para peneliti di ITN Malang tidak hanya menyelesaikan masalah di tiga ruas jalan; mereka menyediakan sebuah cetak biru, sebuah model kerja yang dapat direplikasi di seluruh penjuru kota, bahkan di kota-kota lain di Indonesia yang menghadapi tantangan serupa. Ini adalah tentang membuat keputusan yang lebih cerdas, lebih efisien, dan lebih akuntabel dengan menggunakan sains dan data sebagai pemandu.
Jika diterapkan secara konsisten di seluruh jaringan jalan kota, pendekatan berbasis data ini bisa mengurangi biaya pemeliharaan jangka panjang secara signifikan. Dengan mengintervensi pada tahap 'pemeliharaan berkala' yang tepat, temuan ini bisa mencegah kerusakan yang lebih parah dan menghemat hingga miliaran rupiah dalam anggaran perbaikan jalan kota Malang dalam waktu lima hingga sepuluh tahun ke depan, sekaligus meningkatkan kualitas hidup bagi jutaan warganya.
Sumber Artikel:
Fikri, H. M., Imananto, E. I., & Ma'ruf, A. (n.d.). Analisis pemeliharaan jalan dan perhitungan tebal lapis tambah (overlay) pada perkerasan lentur dengan menggunakan metode lendutan Bina Marga (Studi Kasus Jl. Candi Panggung, Jl. Candi Panggung Barat, Jl. Saxsofone). Progam Studi Teknik Sipil FTSP, ITN Malang.