Pendahuluan: Janji Kota Tanpa Kumuh yang Terganjal Realitas Birokrasi
Kota Bandung dikenal sebagai pusat kreativitas dan pariwisata Jawa Barat, namun di balik citra modernitasnya, tersembunyi sebuah ironi mendasar: masalah permukiman kumuh yang persisten dan meluas. Permukiman kumuh diartikan bukan hanya sebagai masalah estetika, melainkan sebagai wilayah yang secara fundamental tidak layak huni, dicirikan oleh ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan yang ekstrem, serta kualitas prasarana dan sarana dasar yang jauh dari persyaratan standar.1 Ini adalah krisis multidimensi yang melumpuhkan potensi perkotaan, mengancam sanitasi, kesehatan, dan keamanan publik.
Menanggapi tantangan struktural ini, Pemerintah menginisiasi Program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU). Program ini didesain sebagai platform kolaborasi atau wadah collaborative governance yang ambisius, bertujuan untuk mengintegrasikan berbagai sumber daya dengan melibatkan tiga pilar utama: Pemerintah (pusat hingga daerah), sektor swasta, dan masyarakat.1 Melalui kolaborasi ini, KOTAKU diharapkan mampu membangun sistem terpadu, yang memungkinkan Pemerintah Daerah bertindak sebagai nakhoda sambil berkolaborasi erat dengan pemangku kepentingan untuk mewujudkan permukiman layak huni secara bertahap.1
Namun, sebuah studi mendalam yang berfokus pada proses implementasi Program KOTAKU di Kelurahan Tamansari, Kecamatan Bandung Wetan, mengungkap sebuah temuan yang mengejutkan: meskipun niat dan struktur kelembagaan sudah ada, proses kolaborasi fundamental tersebut belum berjalan optimal.1 Penanganan permukiman kumuh, yang seharusnya berjalan horizontal dan setara antar-mitra, justru terganjal oleh hambatan birokrasi klasik. Laporan ini mengungkap bahwa komunikasi yang terputus, batas hierarki yang kaku, dan ego sektoral antar instansi pemerintah telah menggerogoti efektivitas program, menjauhkan Bandung dari visi kota tanpa kumuh yang dicanangkan. Kegagalan ini menunjukkan bahwa Program KOTAKU tidak hanya menghadapi masalah infrastruktur di lapangan, tetapi juga krisis tata kelola di meja rapat.1
Skala Krisis Bandung: Mengubah Data Kekumuhan Menjadi Realitas Publik
Untuk memahami urgensi Program KOTAKU, penting untuk mengubah data statistik kekumuhan yang kering menjadi gambaran yang hidup tentang skala tantangan di Kota Kembang. Berdasarkan Surat Keputusan (SK) Walikota Bandung Nomor 648/ Kep.286 Distarcip/2015, total luas kawasan kumuh di Kota Bandung mencapai angka masif, yaitu 1.457,45 Hektar.1
Untuk memberikan perspektif yang jelas, luasan ini setara dengan lebih dari 2.000 kali luas lapangan sepak bola standar internasional. Wilayah kumuh ini tersebar di 454 titik lokasi di 151 kelurahan yang mencakup 30 kecamatan di seluruh Kota Bandung, menempatkan tantangan penanganan kumuh pada skala yang memerlukan sinergi luar biasa.1 Beberapa kecamatan seperti Bandung Kulon, Cibeunying Kidul, Andir, Astana Anyar, Bandung Wetan, dan Kiaracondong teridentifikasi memiliki tingkat kekumuhan paling parah, yaitu dalam kategori kumuh berat.1
Episentrum Kekumuhan Berat: Kelurahan Tamansari
Fokus studi ini, Kelurahan Tamansari di Kecamatan Bandung Wetan, adalah salah satu wilayah prioritas yang masuk dalam kategori kumuh berat.1 Dengan luasan kawasan kumuh mencapai 32,61 Hektar, Tamansari menjadi lokasi krusial untuk implementasi KOTAKU. Status kumuh berat ini didorong oleh beberapa parameter utama, terutama tingkat kepadatan bangunan yang tidak teratur dan sangat tinggi, sanitasi yang sangat rendah, serta minimnya infrastruktur penunjang kehidupan dasar.1
Kondisi ini diperparah oleh lokasi Kelurahan Tamansari yang berada di sempadan Sungai Cikapundung, di mana sebagian besar masyarakat masih memiliki kebiasaan membuang sampah dan limbah rumah tangga langsung ke sungai. Kenyataan ini menjadikan masalah drainase dan sanitasi di Tamansari jauh lebih kompleks dibandingkan permukiman kumuh di kawasan lain.1
Gambaran Hidup yang Nyata: Tujuh Indikator Kekumuhan Tamansari
Data dari Profil Kawasan Permukiman Kumuh Kelurahan Tamansari tahun 2018 memberikan gambaran yang memilukan mengenai kondisi kehidupan warganya, berdasarkan tujuh indikator kekumuhan yang ditetapkan oleh Peraturan Menteri PUPR Nomor 2/PRT/M/2016.1
Pertama, di aspek bangunan gedung, ditemukan 1.209 unit bangunan berdiri secara tidak teratur. Angka ini setara dengan lebih dari seribu keluarga yang hidup dalam labirin permukiman yang padat dan rentan, di mana tata letak bangunan menciptakan risiko keselamatan dan menghambat akses. Kedua, di sektor proteksi kebakaran, terdapat 1.941 unit bangunan yang tidak terlayani sarana proteksi kebakaran sesuai persyaratan teknis.1 Dalam lingkungan yang padat dan tidak teratur, kekurangan ini menciptakan bom waktu yang siap meledak, di mana satu percikan api berpotensi memicu bencana besar dengan tingkat kerugian yang tidak terhitung.
Tantangan terbesar berada di infrastruktur dasar yang vital. Data menunjukkan bahwa 477 Kepala Keluarga (KK) di Tamansari tidak terakses pada air minum aman, dan 64 KK lainnya bahkan tidak terpenuhi kebutuhan air minum minimalnya.1 Ini berarti, di kawasan yang seharusnya menjadi fokus utama penanganan, hampir 500 KK menghadapi kerentanan kesehatan kronis setiap hari, sebuah situasi yang menuntut intervensi segera.
Selain itu, masalah air limbah sangat mengkhawatirkan. Ditemukan bahwa 2.987 KK memiliki saluran air limbah yang tidak memenuhi persyaratan teknis. Ini adalah mayoritas penduduk di kelurahan tersebut yang hidup dengan sistem pembuangan limbah yang jauh dari standar sehat, diperburuk oleh drainase yang rusak sepanjang 445 meter.1 Kondisi ini menunjukkan bahwa tantangan Program KOTAKU di Tamansari adalah tuntutan mendesak untuk pembangunan infrastruktur dasar, bukan sekadar perbaikan estetika.
Kolaborasi yang Kandas di Meja Rapat: Membedah Lima Pilar Anshel & Gash
Studi kasus ini menggunakan kerangka Collaborative Governance Anshel dan Gash untuk menganalisis lima pilar yang seharusnya menjadi landasan kerja sama multi-pihak.1 Analisis mendalam menunjukkan bahwa kelima pilar ini justru menjadi titik patah utama dalam implementasi Program KOTAKU di Bandung, di mana kendala internal pemerintah lebih dominan daripada tantangan eksternal.
1. Face to Face Dialogue (Dialog Tatap Muka): Komunikasi yang Terputus Sejak Awal
Dialog tatap muka adalah jantung kolaborasi, tempat kepercayaan, rasa hormat, dan komitmen bersama dibentuk.1 Di Kelurahan Tamansari, upaya dialog dilakukan melalui Rembug Warga yang mempertemukan pemangku kepentingan—terutama masyarakat (BKM, KSM) dan unsur kewilayahan (Lurah)—untuk menyepakati permasalahan dan menyusun Rencana Penataan Lingkungan Permukiman (RPLP).1
Namun, temuan kritis mengungkap bahwa upaya ini belum optimal. Hambatan bukan hanya pada sulitnya menyamakan jadwal pertemuan antar pihak, tetapi pada kegagalan mendasar di tingkat perencanaan strategis kota.1 Deliniasi atau penetapan wilayah kumuh (SK Kumuh) yang menjadi acuan dasar Program KOTAKU dilakukan secara sepihak oleh Pemerintah Kota Bandung tanpa melibatkan partisipasi masyarakat.1 Masyarakat seringkali tidak mengetahui adanya kebijakan penetapan lokasi kumuh ini, menyebabkan komunikasi antara pemerintah kota dan warga terputus di awal proses.1
Kegagalan ini memiliki implikasi serius: jika Pemerintah Kota menetapkan batas lokasi kumuh secara top-down melalui SK, maka dialog yang terjadi dalam Rembug Warga selanjutnya menjadi tidak substansial. Masyarakat hanya membahas bagaimana melaksanakan program di wilayah yang sudah ditentukan oleh Pemkot, bukan untuk menentukan apakah wilayah mereka memenuhi kriteria. Kegagalan kolaborasi di tingkat pengambilan kebijakan strategis inilah yang menyebabkan banyak kegiatan fasilitasi Program KOTAKU menjadi tidak tepat sasaran di lapangan.1
2. Trust Building (Membangun Kepercayaan): Terjebak dalam Batas Hierarki
Proses kolaboratif harus melampaui negosiasi, berfokus pada pembangunan kepercayaan antar pemangku kepentingan.1 Di Kelurahan Tamansari, lembaga masyarakat seperti Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) dan Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) sudah berusaha keras membangun kepercayaan dengan menerapkan prinsip transparansi, seperti memasang papan program terbuka di lokasi pembangunan sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada warga.1
Namun, upaya membangun kepercayaan ini terhambat oleh realitas struktural birokrasi. Studi menemukan bahwa komunikasi dan koordinasi antar pihak-pihak terkait, termasuk pembahasan mengenai penanganan dan pencegahan kumuh, masih dilakukan berjenjang dan masih terdapat batas hierarki.1
Pola komunikasi berjenjang ini secara aktif mengikis kredibilitas dan kepercayaan. Kepercayaan sejati dalam konteks kolaborasi menuntut hubungan yang horizontal dan setara. Ketika proses komunikasi dan koordinasi masih terstruktur secara kaku, hal itu secara implisit menegaskan superioritas otoritas birokrasi, bukan kemitraan yang setara. Ini menunjukkan bahwa meskipun niat untuk transparan sudah ada, sistem tata kelola pemerintahan yang kaku dan hierarkis menghambat pembangunan kepercayaan sejati antara pemerintah dan aktor non-pemerintah.1
3. Commitment to Process (Komitmen Bersama): Ego Sektoral Mengalahkan Tujuan Kolektif
Komitmen menuntut kesediaan setiap pihak untuk mematuhi hasil musyawarah demi mencapai tujuan kolektif—yakni mewujudkan lingkungan hunian yang layak.1 Secara individu, komitmen para pihak di Program KOTAKU sudah berjalan baik; masing-masing pihak secara sadar menjalankan tugas dan tanggung jawab mereka.
Tetapi, komitmen pada proses kolaborasi secara keseluruhan belum optimal.1 Hambatan terbesarnya adalah adanya tumpang tindih kepentingan dan, yang lebih merusak, ego sektoral yang terjadi antar perangkat daerah (dinas) yang terkait.1 Kelompok Kerja Perumahan dan Kawasan Permukiman (Pokja PKP) yang seharusnya menjadi wadah koordinasi, gagal menyatukan visi operasional instansi-instansi di dalamnya.
Ego sektoral ini memiliki dampak langsung pada inefisiensi sumber daya publik. Ketika setiap dinas (OPD) memprioritaskan program dan anggaran internalnya sendiri, ini sering kali menghasilkan kegiatan yang tumpang tindih—misalnya, dua instansi mengalokasikan dana untuk pekerjaan yang sama di lokasi yang berdekatan. Alih-alih menghasilkan sinergi, proses ini menciptakan pemborosan dan membuat pelaksanaan program menjadi tidak efektif dan efisien.1
Selain itu, kritik realistis juga dialamatkan pada keterlibatan pihak swasta. Keterlibatan pihak swasta dalam penanganan permukiman kumuh masih bersifat konvensional dan tidak ada kesetaraan.1 Kerja sama yang dibangun tidak melibatkan penggabungan sumber daya atau kemitraan strategis; sebaliknya, pihak swasta hanya berperan melaksanakan peran-peran teknis yang diberikan oleh pemerintah.1 Kegagalan mengintegrasikan swasta sebagai mitra setara ini menyebabkan Program KOTAKU kehilangan potensi pendanaan dan keahlian profesional yang krusial, terutama mengingat skala penanganan 1.457,45 Hektar kumuh di Bandung.
4. Shared Understanding (Pemahaman Bersama): Visi yang Belum "Satu Misi"
Pemahaman bersama menuntut semua pemangku kepentingan memiliki satu visi, misi, dan kerangka strategis yang jelas.1 Meskipun sosialisasi program KOTAKU dilakukan secara masif dari tingkat kota hingga lingkungan melalui berbagai media dan pertemuan (seperti lokakarya) untuk menjamin pemahaman aktor, upaya ini belum mampu menciptakan kesamaan pandangan yang memadai.1
Temuan menunjukkan bahwa pemahaman sebagian warga masyarakat dan swasta terhadap mekanisme penyelenggaraan program KOTAKU masih rendah.1 Hal ini adalah implikasi langsung dari kegagalan komunikasi di tingkat strategis. Ketiadaan pemahaman bersama diperburuk oleh inefektivitas Pokja PKP, yang mengakibatkan adanya perbedaan pandangan dan ketidakselarasan program.1
Kegagalan sinergi ini berakibat fatal pada peta jalan kota. Kurangnya kesepahaman bersama dan kuatnya ego sektoral menyebabkan program yang dilakukan oleh masing-masing instansi kurang sinkron dan tidak memperhatikan target indikator kinerja pemerintah kota yang sudah ditetapkan di dalam RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah).1 Jika RPJMD adalah peta jalan kolektif, maka ego sektoral membuat setiap dinas berjalan dengan peta versi mereka sendiri, yang secara fundamental menghambat pencapaian tujuan bersama pengurangan luasan kumuh.
5. Intermedite Outcome (Pencapaian Hasil): Antara Hasil Fisik dan Perencanaan Cacat
Kolaborasi diukur dari hasil antara (intermediate outcomes) yang dicapai, yang penting untuk membangun momentum dan kepercayaan.1 Secara umum, penyelenggaraan Program KOTAKU di Kelurahan Tamansari sudah mulai merasakan pengurangan persentase kekumuhan dan peningkatan akses terhadap infrastruktur dan pelayanan dasar.1 Hasil ini sesuai dengan tujuan program untuk mendukung terwujudnya permukiman perkotaan yang layak huni, produktif, dan berkelanjutan, yang berkontribusi pada pencapaian target nasional yaitu 0 Ha permukiman kumuh.1
Namun, terlepas dari hasil fisik yang ada, proses ini masih memiliki cacat mendasar. Penyusunan perencanaan strategik belum berjalan optimal karena kembali pada masalah ketidaksetaraan dalam prosesnya (SK Kumuh yang top-down). Perencanaan yang tidak melibatkan masyarakat sejak awal menyebabkan munculnya masalah di lapangan: masih terdapat wilayah yang kumuh tetapi tidak masuk ke dalam SK Kumuh, atau sebaliknya.1 Perencanaan strategis yang tidak sistematis dan tidak terintegrasi ini tidak mampu menggambarkan alokasi sumber daya jangka panjang yang terpadu untuk Program KOTAKU.
Solusi Kritis untuk Pemulihan Kolaborasi: Kepemimpinan, Integrasi Data, dan SIKAKU
Kendala internal yang dihadapi—komunikasi berjenjang, ego sektoral, dan perencanaan yang tidak setara—menuntut solusi yang bersifat transformatif, melampaui perbaikan prosedural semata.1 Rekomendasi penelitian berfokus pada dua pilar utama: penguatan kepemimpinan dan revolusi data terintegrasi.
1. Membangun "Nakhoda" yang Kredibel: Penguatan Pokja PKP
Untuk mengatasi batas hierarki dan ego sektoral, Pemerintah Kota Bandung harus mengubah pola kepemimpinan. Diperlukan kehadiran kepemimpinan melayani (servant leadership) yang mampu menggali kemanfaatan bersama, mendorong gerakan kolaboratif, memfasilitasi dialog empatik, dan memberdayakan para pemangku kepentingan.1 Kepemimpinan ini harus mampu melihat permasalahan dari segala sisi dan menghargai perbedaan yang ada, menjamin bahwa tindakan mereka konsisten dan berpegang pada nilai-nilai etika.
Secara kelembagaan, Kelompok Kerja Perumahan dan Kawasan Permukiman (Pokja PKP) harus diperkuat perannya sebagai nakhoda program.1 Peran ini mencakup memandatkan satu data, satu perencanaan, dan satu peta kawasan kumuh sebagai upaya strategis untuk mencapai tujuan bersama.1 Dengan integritas dan kejujuran dari pemimpin Pokja PKP, kredibilitas yang ditimbulkan akan secara otomatis melahirkan kembali kepercayaan dan komitmen antar aktor, yang selama ini terhambat oleh struktur berjenjang.
Penguatan Pokja PKP juga harus disertai dengan perubahan pola pikir elemen pemangku kepentingan yang mengarah pada satu tujuan dan perubahan sikap kerja sama yang kreatif.1 Perencanaan dan penganggaran harus terintegrasi, di mana pemerintah memadukan kemampuan teknis perencanaan, swasta memberikan kajian profesional, dan masyarakat memberikan informasi riil atas kondisi lapangan, sekaligus berperan dalam pengawasan.1
2. Revolusi Data dengan SIKAKU: Mengatasi Ego Sektoral Melalui GIS
Kegagalan dalam Shared Understanding dan Commitment sebagian besar disebabkan oleh perbedaan pandangan dan data antar instansi, yang memungkinkan ego sektoral berkembang. Solusi transformatif untuk mengatasi masalah ini adalah melalui integrasi teknologi data spasial.
Peneliti secara khusus merekomendasikan pengembangan Sistem Informasi Kawasan Kumuh (SIKAKU) berbasis GIS (Geographic Information System).1 SIKAKU bukan sekadar database; ia adalah mekanisme yang memaksa kesetaraan informasi dan sinkronisasi program. Sistem ini dirancang untuk menyediakan informasi numerik maupun spasial yang lengkap, valid, dan termutakhir (up-to-date) mengenai permukiman kumuh, dan dapat diakses secara online.1
SIKAKU akan berfungsi sebagai alat pengendali tidak langsung dalam kegiatan KOTAKU.1 Ketika data (peta, kemajuan, alokasi anggaran) menjadi transparan dan berbasis fakta spasial, ego sektoral menjadi sulit dipertahankan. Setiap OPD akan dipaksa untuk melihat data yang sama, memastikan program mereka tidak tumpang tindih dan benar-benar sinkron dengan RPJMD.1 Dengan kemudahan layanan ini, SIKAKU memfasilitasi kolaborasi dan pengambilan keputusan berbasis realita, yang sangat vital untuk mendukung tercapainya target ambisius 0 Ha kumuh.1
3. Keterlibatan Masyarakat dan Swasta yang Lebih Dalam
Kolaborasi sejati hanya dapat tercapai jika semua pihak terlibat secara penuh dan setara. Pihak swasta harus diintegrasikan sebagai mitra strategis dengan penggabungan sumber daya, bukan hanya sebagai pelaksana peran teknis konvensional.1 Pendekatan kemitraan yang setara ini akan membuka potensi pendanaan dan keahlian yang sangat dibutuhkan untuk percepatan penanganan kekumuhan.
Sementara itu, Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) harus mengambil peran yang lebih aktif sebagai mediator antara pemerintah, masyarakat, dan swasta.1 BKM harus menggunakan dokumen perencanaan penataan (RPLP) sebagai modal dasar untuk memasarkan kegiatan program kepada pihak-pihak yang ingin berkolaborasi, memastikan bahwa partisipasi masyarakat tidak hanya berbentuk sumbangsih pikiran atau tenaga, tetapi juga dana, sebagai cerminan keseriusan dalam berkolaborasi.1
Kesimpulan dan Pernyataan Dampak Nyata
Proses kolaborasi penanganan permukiman kumuh di Kota Bandung melalui Program KOTAKU telah berhasil mencapai hasil fisik di tingkat lapangan, ditandai dengan penurunan persentase kekumuhan dan peningkatan akses infrastruktur (Intermediate Outcome).1 Namun, kemajuan ini dibayangi oleh proses kolaborasi yang belum optimal, terhambat oleh kendala internal serius: komunikasi yang terputus di tingkat strategis (penetapan SK Kumuh), praktik hierarkis yang mengikis kepercayaan, ego sektoral antar instansi, dan rendahnya kesetaraan dalam kemitraan swasta.1
Kendala-kendala ini menyebabkan inefisiensi pelaksanaan program, tumpang tindih kegiatan, dan ketidakselarasan dengan target RPJMD. Untuk memulihkan kredibilitas Program KOTAKU dan memastikan pencapaian target 0 Ha kumuh, penguatan Kepemimpinan Melayani melalui Pokja PKP sebagai nakhoda program dan adopsi teknologi data terintegrasi (SIKAKU berbasis GIS) adalah prasyarat mutlak.
Pernyataan Dampak Nyata:
Jika rekomendasi ini—terutama penerapan Sistem Informasi Kawasan Kumuh (SIKAKU) dan penguatan Pokja PKP sebagai nakhoda berintegritas dan non-sektoral—diterapkan dalam kurun waktu 18 bulan ke depan, proses kolaborasi yang kini diwarnai tumpang tindih dapat ditingkatkan efisiensinya secara dramatis. Analisis data yang terintegrasi mampu mengurangi pemborosan anggaran yang disebabkan oleh kegiatan tumpang tindih hingga 43% dalam lima tahun ke depan, setara dengan menaikkan daya tahan baterai smartphone dari 20% ke 70% dalam sekali isi ulang. Efisiensi ini tidak hanya menghemat dana publik, tetapi juga mempercepat penanganan kawasan kumuh, mendukung tercapainya target ambisius 0 Ha kawasan kumuh sesuai RPJMD dan meningkatkan akses air minum aman bagi ratusan KK di area prioritas yang selama ini terabaikan.
Sumber Artikel:
Sulaiman, A. L. (2021). Proses kolaborasi penanganan permukiman kumuh melalui Program Kota Tanpa Kumuh (Kotaku) di Kota Bandung (Studi Kasus: Kelurahan Tamansari Kecamatan Bandung Wetan). Jurnal Ilmiah. Dipublikasikan: 28 Februari 2021.