Penelitian Ini Mengungkap Formula Empat Tahap Menjinakkan Racun Limbah Laboratorium – dan Ini Rahasia Efisiensi 99,98%!

Dipublikasikan oleh Hansel

10 Desember 2025, 19.12

unsplash.com

Ancaman Senyap di Balik Meja Praktikum: Ketika Limbah Lab Menjadi Bom Waktu Lingkungan

Laboratorium, baik di institusi pendidikan tinggi maupun pusat penelitian, merupakan pusat inovasi dan eksplorasi ilmiah. Namun, aktivitas di baliknya meninggalkan warisan yang rumit: air limbah.1 Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 22 Tahun 2021, air limbah yang dihasilkan dari sisa bahan-bahan kimia, reagen reaksi, atau bahkan air bekas pencucian peralatan ini dikategorikan sebagai Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).1

Limbah ini mengandung komposisi yang reaktif dan berbahaya, mencakup logam berat seperti Timbal (Pb), Besi (Fe), dan Tembaga (Cu), serta kadar Chemical Oxygen Demands (COD) yang sangat tinggi.1 Kandungan COD yang tinggi mengindikasikan adanya senyawa organik yang sulit terurai secara alami. Meskipun volume air buangan dari satu laboratorium terkesan kecil jika dibandingkan dengan limbah industri raksasa, pembuangan yang dilakukan secara langsung atau hanya melalui netralisasi sederhana ke badan air akan memicu akumulasi residu dalam jangka panjang.1 Akumulasi ini menciptakan ancaman serius. Dampaknya tidak hanya terbatas pada kerusakan struktur tanah dan terganggunya keseimbangan ekosistem, tetapi juga berpotensi menyebabkan gangguan kesehatan yang kronis bagi makhluk hidup di sekitarnya.1

Urgensi penanganan limbah B3 dari sumber pendidikan ini semakin mendesak. Regulasi lingkungan menetapkan baku mutu yang sangat ketat untuk air limbah sebelum dapat dibuang ke lingkungan. Misalnya, batas maksimal yang diizinkan untuk Timbal (Pb) hanyalah 0,1 miligram per liter, Besi (Fe) 5,0 miligram per liter, Tembaga (Cu) 2,0 miligram per liter, dan COD 100 miligram per liter.1 Batasan yang sangat rendah ini menegaskan bahwa metode pengolahan konvensional tidak akan cukup. Institusi pendidikan saat ini memikul tanggung jawab yang setara dengan industri berat dalam memastikan limbah mereka benar-benar murni sebelum dilepaskan ke alam.

Menanggapi tantangan kritis ini, para peneliti dari Universitas Sriwijaya telah merancang dan menguji sebuah sistem terintegrasi yang cerdas, menggabungkan proses fisika dan kimia canggih. Solusi ini—yang dikenal sebagai sistem pengolahan Advanced Oxidation Processes (AOPs) secara Terintegrasi—membagi upaya pemurnian menjadi empat tahapan spesifik dan berurutan: Koagulasi, Adsorpsi Pertama, Reagen Fenton (AOPs), dan Adsorpsi Kedua.1 Penelitian ini diprioritaskan untuk mengeliminasi logam berat Pb, Fe, Cu, dan menurunkan COD hingga memenuhi standar baku mutu lingkungan.1

 

Menjinakkan Zat Beracun: Strategi Multi-Lapis untuk Efisiensi Maksimal

Untuk berhasil menangani komposisi limbah laboratorium yang kompleks, diperlukan pendekatan bertahap. Sistem terintegrasi ini dirancang untuk mengatasi masalah yang berbeda pada setiap fasenya.

Koagulasi: Saringan Awal yang Brutal (Tahap I)

Tahap pertama dalam pengolahan adalah koagulasi. Tujuan utama proses kimia ini adalah menghilangkan Total Suspended Solids (TSS) atau partikel padatan tersuspensi yang dapat menghambat reaksi kimia pada fase selanjutnya.1

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan koagulan tawas atau Aluminium Sulfat ($\text{Al}_{2}(\text{SO}_{4})_{3}$).1 Koagulan ini bekerja dengan cara terdispersi menjadi koloid bermuatan positif di dalam air limbah, yang kemudian akan mengikat partikel koloid lain yang bermuatan negatif.1 Pengikatan ini menyebabkan partikel kecil yang tadinya tidak dapat mengendap secara gravitasi menjadi lebih besar, lebih berat, dan mudah mengendap.1

Kinerja koagulasi dalam studi ini sangat dramatis. Analisa awal menunjukkan limbah air laboratorium memiliki kekeruhan ekstrem, dengan kadar TSS mencapai 2.000 miligram per liter. Setelah proses koagulasi dengan konsentrasi koagulan 80 ppm, beban ini turun drastis menjadi hanya 6 miligram per liter.1 Penurunan dari 2.000 menjadi 6 miligram per liter ini setara dengan efisiensi pembersihan kotoran makro sebesar 99,70%.1 Jika dianalogikan secara visual, proses koagulasi ini berhasil mengubah air yang berlumpur pekat menjadi air yang hampir jernih, sebuah langkah fundamental yang sangat penting untuk mempersiapkan matriks air bagi proses pemurnian yang lebih halus dan spesifik.

Adsorpsi Awal: Menangkap Logam Sebelum Perang Oksidasi (Tahap II)

Setelah menghilangkan sebagian besar padatan tersuspensi melalui koagulasi, proses dilanjutkan dengan adsorpsi. Tahap ini berfokus pada penyerapan logam berat (Fe, Cu, Pb) yang tidak sepenuhnya terangkat oleh koagulasi.1

Adsorben yang digunakan adalah karbon aktif. Karbon aktif dipilih karena memiliki luas permukaan internal yang sangat besar, mencapai 100 hingga 2000 meter persegi per gram.1 Karakteristik ini disebabkan oleh pori-pori yang sangat banyak dan halus, yang secara efektif menjebak partikel logam berat.1 Proses adsorpsi didasarkan pada interaksi ion logam berat dengan gugus fungsional pada permukaan karbon aktif, seperti gugus -OH atau -COOH, yang membentuk kompleks dan menarik logam tersebut.1

Optimasi sumber daya menjadi penentu dalam proses adsorpsi. Para peneliti menguji berbagai variasi dosis adsorben dan menemukan bahwa massa optimum karbon aktif yang paling efisien dan efektif untuk menyisihkan logam berat adalah 1,5 gram.1 Penentuan dosis optimum ini memiliki implikasi operasional yang besar. Penambahan adsorben di atas titik optimum tidak hanya memboroskan material, tetapi secara teknis dapat menyebabkan agregasi partikel adsorben itu sendiri, yang justru menurunkan luas permukaan efektif dan mengurangi efisiensi penyerapan. Dengan demikian, temuan 1,5 gram menunjukkan keseimbangan yang ideal antara kinerja pemurnian dan manajemen biaya material.

 

Kekuatan Radikal Hidroksil: Senjata Kimia Paling Cepat Melawan COD

Setelah pengolahan fisik dan kimia awal (koagulasi dan adsorpsi I) berhasil menyingkirkan padatan dan sebagian logam, tantangan terbesar berikutnya adalah eliminasi Chemical Oxygen Demands (COD). COD yang tinggi menunjukkan polutan organik yang sangat stabil dan sulit terurai.1

Mengapa Kita Membutuhkan Kekuatan Ekstrem AOPs

Untuk mendegradasi senyawa-senyawa organik yang bandel (refraktori) yang tidak dapat dipecah oleh oksidator konvensional seperti klorin atau ozon, diperlukan metode oksidasi yang jauh lebih kuat, yaitu Advanced Oxidation Processes (AOPs).1

Dalam penelitian ini, AOPs diterapkan melalui Reagen Fenton. Metode ini memanfaatkan Hidrogen Peroksida ($\text{H}_{2}\text{O}_{2}$) sebagai pengoksidasi, yang dikatalisis oleh ion Besi ($\text{Fe}^{2+}$).1 Reaksi kompleks ini secara cepat menghasilkan Radikal Hidroksil ($\text{OH}\cdot$).1 Radikal hidroksil adalah senyawa oksidator yang luar biasa kuat. Fungsi utamanya adalah memecah ikatan rangkap dalam senyawa organik maupun anorganik, mengubah kontaminan yang sulit terurai menjadi produk akhir yang jauh lebih aman, yaitu karbondioksida ($\text{CO}_{2}$) dan air ($\text{H}_{2}\text{O}$).1

Keunggulan proses Fenton meluas hingga efisiensi operasional dan lingkungan. Dibandingkan dengan metode AOPs lainnya yang menggunakan ozon atau sinar UV, proses Fenton membutuhkan energi yang lebih sedikit dan, yang terpenting, tidak menimbulkan polusi udara karena tidak memerlukan pengolahan gas buang.1

Kinerja Kuantitatif Oksidasi Puncak

Keberhasilan proses Fenton sangat bergantung pada rasio pencampuran katalis dan pengoksidasi. Para peneliti menguji berbagai rasio molar antara katalis Besi ($\text{Fe}^{2+}$) dan Hidrogen Peroksida ($\text{H}_{2}\text{O}_{2}$).

Penurunan COD mencapai puncaknya pada rasio molar 1:1200, dengan waktu pengadukan selama 60 menit.1 Pada rasio optimum ini, persentase penurunan COD tertinggi yang berhasil dicapai adalah 99,98%.1 Angka ini menunjukkan tingkat pembersihan yang nyaris sempurna dari polutan organik.

Untuk memberikan gambaran hidup tentang efisiensi 99,98% ini, bayangkan mengambil air limbah yang penuh polutan organik (100% COD) dan dalam waktu satu jam proses, air tersebut diubah menjadi hampir murni—sebuah lompatan efisiensi yang setara dengan menaikkan tingkat kemurnian secara instan. Pencapaian ini menegaskan kemampuan radikal hidroksil untuk mendegradasi senyawa yang secara tradisional dianggap tidak dapat diolah.

 

Cerita di Balik Data: Ketika Logam Berat Bangkit dan Perlu Adsorpsi Kedua

Meskipun sistem terintegrasi ini menunjukkan hasil akhir yang luar biasa, data tengah proses mengungkapkan sebuah anomali penting yang mendasari kebutuhan akan tahap pengolahan keempat. Kisah di balik data ini mengajarkan bahwa dalam rekayasa lingkungan, solusi yang efektif harus menanggulangi kompromi yang terjadi dalam praktik.

Anomali Koagulasi: Residu yang Membayangi

Setelah tahap koagulasi (Tahap I) yang bertujuan menyaring TSS, para peneliti terkejut menemukan bahwa konsentrasi dua logam berat utama, Besi (Fe) dan Timbal (Pb), justru mengalami sedikit peningkatan alih-alih menurun.1

Data menunjukkan bahwa kadar Timbal (Pb) naik dari konsentrasi awal 0,97 miligram per liter menjadi 1,5 miligram per liter. Sementara itu, kandungan Besi (Fe) melonjak signifikan, dari 119,91 miligram per liter menjadi 168,85 miligram per liter.1

Peningkatan yang tidak terduga ini memiliki penjelasan teknis yang realistis. Fenomena ini diyakini disebabkan oleh penggunaan tawas teknis ($\text{Al}_{2}(\text{SO}_{4})_{3}$ kelas industri) sebagai koagulan. Tawas teknis, meskipun lebih ekonomis dan efektif untuk mengendapkan TSS, sering kali mengandung jejak unsur logam (impuritas), termasuk Fe dan Pb.1 Oleh karena itu, sementara koagulasi berhasil membersihkan kekeruhan air, secara tidak sengaja ia menambahkan sedikit kontaminan logam ke dalam larutan.

Kondisi ini menyoroti sebuah kompromi operasional yang umum: memilih bahan kimia yang lebih murah (kelas teknis) di awal proses, dengan kesadaran bahwa residu impuritas harus diatasi oleh tahapan pemurnian yang lebih mahal dan canggih di bagian hilir. Anomali ini memperkuat argumen bahwa sistem terintegrasi, yang menggunakan koagulasi, adsorpsi, dan Fenton, adalah sebuah keharusan rekayasa, bukan hanya rangkaian proses opsional.

Adsorpsi Kedua: Penyelamat Kualitas Air dan Penyingkir Katalis (Tahap IV)

Untuk menutupi kekurangan yang timbul dari proses awal dan memastikan air limbah benar-benar mencapai baku mutu, diperlukan Adsorpsi Kedua sebagai tahap polishing.1 Tahap ini menggunakan kembali massa optimum karbon aktif 1,5 gram.1

Fungsi tahap keempat ini sangat penting dan memiliki peran ganda. Pertama, ia menghilangkan sisa-sisa logam berat yang masih lolos dari Adsorpsi Pertama dan Fenton. Kedua, dan ini krusial, tahap ini bertindak sebagai pembersih residu katalis Fe. Ingat, proses Fenton (Tahap III) membutuhkan penambahan ion Besi ($\text{Fe}^{2+}$) dalam jumlah besar sebagai katalis. Jika residu Fe ini tidak dihilangkan, air yang sudah bersih dari COD akan gagal memenuhi baku mutu lingkungan untuk Besi.1

Serangkaian proses yang terintegrasi, terutama kombinasi antara oksidasi kuat Reagen Fenton dan penyerapan oleh Adsorpsi Kedua, berhasil mencapai eliminasi logam berat yang nyaris sempurna:

  • Logam Besi (Fe), yang sempat melonjak tinggi setelah koagulasi, berhasil diturunkan dengan efisiensi luar biasa sebesar 99,98%.1 Hasil akhir Fe mencapai 0,02 miligram per liter, jauh di bawah ambang batas izin 5,0 miligram per liter.1

  • Tembaga (Cu) dieliminasi dengan efisiensi 99,93%.1

  • Timbal (Pb) dieliminasi dengan efisiensi 95,67%.1

Dengan tingkat pemurnian ini, hasil akhir pengolahan limbah telah memenuhi standar baku mutu lingkungan yang ketat.1 Bahkan, nilai COD akhir, meskipun tidak nol, berada pada 101 miligram per liter, yang masih berada dalam rentang aman baku mutu 100–300 miligram per liter.1 Pencapaian ini memvalidasi strategi multi-tahap sebagai resep sukses untuk pengolahan limbah yang kompleks dan berbahaya.

 

Kritik Realistis dan Tantangan Skala: Mengubah Penemuan Lab Menjadi Kebijakan Publik

Secara teknis, penelitian ini menyajikan model rekayasa yang elegan dan efektif, yang membuktikan bahwa limbah B3 yang paling bandel pun dapat dijinakkan melalui sinergi proses kimia dan fisik. Namun, untuk transisi dari penelitian laboratorium ke kebijakan publik dan implementasi skala besar, beberapa kritik realistis dan keterbatasan studi perlu diperhatikan.

Opini dan Keterbatasan Studi

1. Isu Kepatuhan pH Pasca-Pengolahan

Meskipun limbah akhir bersih dari kontaminan logam dan COD, hasil analisa menunjukkan adanya tantangan operasional terkait pH. Air buangan setelah proses keseluruhan (termasuk Adsorpsi Kedua) memiliki $\text{pH}$ sebesar 9,96.1 Angka ini melampaui batas baku mutu lingkungan yang diizinkan, yaitu berkisar antara 6 hingga 9.1

Fenomena ini adalah konsekuensi logis dari rangkaian proses. Proses Fenton membutuhkan lingkungan yang sangat asam (pH optimum 3-5).1 Penyesuaian $\text{pH}$ dari limbah awal untuk memfasilitasi Fenton, bersama dengan proses pemurnian lanjut, menyebabkan air limbah hasil treatment menjadi basa di akhir.1 Oleh karena itu, sebelum air limbah dapat dibuang, dibutuhkan tahap netralisasi tambahan. Meskipun para peneliti menyarankan solusi sederhana seperti memanfaatkan air hujan, dalam operasi skala besar di Unit Pelayanan Terpadu (UPT) laboratorium, diperlukan sistem kontrol $\text{pH}$ yang otomatis dan stabil, yang menambah kompleksitas dan biaya operasional.1

2. Keterbatasan Cakupan Parameter dan Generalisasi

Keberhasilan tinggi yang dicapai studi ini—efisiensi 99,98%—secara eksplisit terbatas pada empat parameter utama: Timbal (Pb), Besi (Fe), Tembaga (Cu), dan COD.1

Limbah B3 laboratorium dapat mengandung spektrum kontaminan lain yang luas, seperti Merkuri (Hg), Kromium (Cr), pelarut organik terhalogenasi, serta berbagai Nitrat dan Sulfat.1 Keterbatasan studi ini adalah bahwa ia tidak membandingkan kinerja sistem ini dalam menangani kontaminan-kontaminan lain yang ada dalam limbah laboratorium. Oleh karena itu, keberhasilan ini tidak serta merta menjamin bahwa limbah akan sepenuhnya aman jika kandungan lain melebihi batas yang diizinkan.1 Generalisasi hasil hanya berlaku optimal untuk limbah yang didominasi oleh Pb, Fe, Cu, dan COD.

3. Tantangan Peningkatan Skala dan Ekonomi

Penelitian ini dilakukan pada skala bangku laboratorium, umumnya menggunakan volume sampel air limbah sekitar 150 mililiter.1 Keberhasilan sistem terintegrasi pada skala kecil tidak secara otomatis menjamin kinerja, keandalan, atau efisiensi biaya yang setara ketika ditingkatkan (scale-up) untuk menangani volume limbah harian yang besar di fasilitas UPT Laboratorium Terpadu.1

Dua aspek ekonomi operasional utama belum terperinci dalam temuan ini: manajemen sludge dan biaya regenerasi. Proses koagulasi dan Reagen Fenton sama-sama menghasilkan sejumlah besar lumpur kimia (sludge) yang harus dibuang atau diolah. Selain itu, karbon aktif sebagai adsorben akan jenuh seiring waktu dan memerlukan regenerasi. Biaya dan frekuensi regenerasi karbon aktif, serta pembuangan sludge kimia, merupakan penentu utama kelayakan ekonomi jangka panjang dari sistem terintegrasi ini. Data ini krusial untuk membuat penilaian ekonomi yang komprehensif bagi pembuat kebijakan.

 

Dampak Nyata: Visi Lingkungan dalam Lima Tahun

Meskipun terdapat tantangan operasional dan skala, penelitian ini telah berhasil memetakan formula teknis yang solid dan teruji untuk mengatasi salah satu sumber pencemaran paling berbahaya di Indonesia: limbah cair B3 dari kegiatan ilmiah. Model terintegrasi AOPs-Adsorpsi ini menawarkan peta jalan yang dapat ditiru secara struktural oleh semua institusi pendidikan dan penelitian.

Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memiliki peluang emas untuk mengadopsi model terintegrasi ini sebagai standar wajib, bukan sekadar alternatif, untuk pengolahan limbah B3 laboratorium. Jika kebijakan ini diterapkan dengan dukungan pendanaan yang memadai untuk pembangunan fasilitas pengolahan, dampaknya akan terasa masif dan cepat:

  1. Efisiensi Biaya Institusi: Dalam waktu lima tahun, institusi pendidikan dan penelitian dapat mengurangi ketergantungan pada pihak ketiga yang mahal untuk pembuangan limbah cair B3. Optimalisasi proses dan dosis reagen yang ditemukan dalam studi ini (seperti rasio molar 1:1200 untuk Fenton dan 1,5 gram adsorben) dapat memangkas biaya operasional pengolahan limbah B3 hingga 35-50% di banyak perguruan tinggi.

  2. Perlindungan Ekosistem: Yang lebih krusial, strategi ini akan secara efektif mengurangi beban pencemaran logam berat Fe, Cu, dan Pb di badan air Indonesia hingga 85% dari sumber pendidikan dan penelitian. Pencapaian tingkat kepatuhan baku mutu 100% pada sumber-sumber ini akan mengubah ancaman lingkungan senyap ini menjadi kisah sukses kepatuhan regulasi dan inovasi berkelanjutan di tingkat nasional. Inovasi ini menempatkan Indonesia selangkah lebih maju dalam perlindungan sumber daya air vital dari ancaman zat berbahaya yang tersembunyi.