Penelitian Ini Mengungkap Cara Bangunan “Aktif” Bisa Mempercepat Target Net-Zero Inggris — Inilah yang Perlu Diketahui Desainer & Pembuat Kebijakan!

Dipublikasikan oleh Hansel

12 September 2025, 15.33

unsplash.con

Bayangkan sebuah kota di mana setiap bangunan tidak lagi sekadar menjadi konsumen listrik, tetapi juga ikut menyetir arah aliran energi: mengisi daya baterai saat matahari bersinar terik, menyuplai kembali energi ke jaringan ketika permintaan memuncak, bahkan mengatur pemakaian sesuai kebutuhan rumah tangga atau kantor secara otomatis. Konsep ini bukan lagi mimpi futuristik dalam film sains, melainkan sebuah gagasan nyata yang kini sedang dikejar di Inggris melalui riset bertajuk Active Building.

Di tengah krisis iklim dan lonjakan harga energi global, gedung menjadi aktor penting yang sering diabaikan. Padahal, data menunjukkan sektor bangunan menyumbang sekitar 40% dari total konsumsi energi dunia. Itu artinya, hampir separuh “tagihan energi global” ada di dinding, atap, dan jendela tempat kita bekerja dan tinggal sehari-hari. Tidak heran, jika strategi menuju net-zero carbon tidak bisa hanya bertumpu pada pembangkit listrik skala besar atau mobil listrik; cara kita membangun rumah, kantor, sekolah, dan rumah sakit akan menentukan arah masa depan energi.

Penelitian ini mencoba menjawab pertanyaan besar: bagaimana caranya membuat bangunan tidak hanya hemat energi, tetapi juga “aktif” — ikut mengendalikan pasokan, penyimpanan, dan distribusi listrik? Di sinilah lahir gagasan Active Building Protocol dan Active Building Toolkit, yang dirancang sebagai panduan praktis untuk arsitek dan desainer. Bukan hanya kumpulan teori teknis, toolkit ini hadir sebagai jembatan antara ilmu laboratorium dengan kebutuhan dunia nyata: dokumen yang bisa dibuka arsitek saat mendesain, atau dipakai kontraktor saat menyusun spesifikasi teknis.

Lebih jauh, penelitian ini bukan sekadar eksperimen akademis. Ia membawa pesan praktis: jika arsitek dan insinyur bisa dilibatkan sejak dini dengan bahasa yang mereka pahami — bukan jargon teknis berlapis — maka konsep Active Building bisa menembus batas universitas dan masuk ke proyek komersial. Inilah alasan kenapa tim peneliti memilih uji coba yang tidak biasa: mereka mengadakan focus groups yang diformat seperti sesi pelatihan Continuous Professional Development (CPD). Jadi, selain mendapatkan data, peneliti juga memberikan manfaat langsung: peserta pulang tidak hanya mengisi kuesioner, tapi juga membawa ilmu baru yang bisa mereka gunakan besok di meja kerja.

Pendekatan ini menjawab tantangan klasik dunia konstruksi: inovasi sering berhenti di laboratorium karena bahasa teknis terlalu rumit, biaya dianggap mahal, atau bukti nyata belum cukup. Dengan menempatkan toolkit sebagai titik awal, penelitian ini menyodorkan jalan tengah: “Mari kita mulai dari panduan praktis, tambahkan studi kasus, lalu kembangkan model bisnis, standar, dan sertifikasi.” Perlahan, sebuah roadmap dibentuk — dari 2021 hingga 2050 — dengan ambisi menjadikan Active Building bukan sekadar prototipe, tapi standar baru dalam industri konstruksi Inggris.

Penelitian ini menyajikan sebuah proyek riset untuk membantu industri konstruksi Inggris mengadopsi konsep Active Building (AB). AB bukan sekadar bangunan hemat energi, tetapi bangunan yang aktif dalam menstabilkan jaringan energi dengan cara mengintegrasikan pembangkit terbarukan, penyimpanan energi, sistem kontrol pintar, hingga kendaraan listrik.

Tujuan praktis penelitian adalah menyusun dan menguji AB Protocol serta AB Toolkit (termasuk Active Building Design Guide atau ABDG). Keduanya dirancang sebagai basis pengetahuan dan panduan praktis agar arsitek bisa merancang bangunan beroperasi net-zero. Untuk menguji efektivitasnya, peneliti menggunakan serangkaian focus groups (FG) yang diformat sebagai sesi Continuous Professional Development (CPD), sehingga peserta mendapatkan ilmu sekaligus menjadi sumber data penelitian.

Singkatnya, pendahuluan ini mengajak kita melihat bangunan bukan lagi sebagai beban energi, melainkan sebagai pemain aktif. Dan jika ide ini bisa berjalan, maka kota-kota Inggris — bahkan dunia — mungkin akan menyaksikan revolusi senyap: bangunan yang tidak hanya berdiri, tapi juga bekerja untuk kita dan untuk planet ini.

Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Praktik Desain Bangunan?

Kontribusi utama penelitian ini bukan hanya soal teknologi panel surya, baterai, atau sistem pintar, melainkan cara menyampaikan pengetahuan kepada para pelaku proyek. Dengan toolkit yang mudah dipahami, konsep AB dapat diterapkan langsung di proyek nyata.

Dalam konteks global, gedung menyumbang hampir 40% konsumsi energi dunia. Artinya, mengubah cara arsitek merancang bisa memicu efek berantai terhadap keputusan klien, kontraktor, dan bahkan regulator.

Paper ini menyoroti bahwa:

  • AB kini bergerak dari sekadar konsep energy-positive menuju energy-flexibility, yaitu kemampuan bangunan membantu menstabilkan jaringan listrik dan merespons permintaan (demand-response).
  • Tanpa paket pengetahuan yang jelas berupa toolkit, studi kasus, dan panduan, penyebaran AB akan terhambat. Klien akan ragu, kontraktor enggan mengambil risiko, dan pembuat kebijakan tidak memiliki bukti kuat untuk menetapkan standar.

Metode: Bagaimana Data Dikumpulkan, dan Mengapa Relevan

Peneliti menguji draf ABDG melalui pendekatan campuran: focus groups yang dipadukan dengan kuesioner semi-struktur dan skala Likert.

Keunggulan metode ini ada dua:

  1. Memberikan data kualitatif tentang cara arsitek memahami dan menggunakan panduan.
  2. Menyampaikan pengetahuan AB sebagai materi CPD, sehingga peserta mendapat manfaat praktis langsung.

Format FG dirancang sistematis: dimulai dengan presentasi 30 menit, dilanjutkan satu jam untuk meninjau ABDG, lalu diskusi kelompok. Kuesioner terdiri dari 30 pertanyaan (17 skala Likert dan 13 kualitatif).

Pendekatan ini bersifat abduktif — peneliti membangun solusi berupa toolkit dan roadmap, lalu mengujinya secara iteratif berdasarkan masukan pengguna akhir.

Temuan Utama: Apa yang Berhasil dan Apa yang Masih Kurang

Analisis tematik dari FG menghasilkan beberapa temuan kunci:

  • AB Toolkit sudah memenuhi kebutuhan awal. Berisi panduan desain, studi kasus (dua bangunan demonstrator AB), serta format yang akrab bagi arsitek karena menyerupai Approved Documents. Toolkit ini dipandang sebagai pondasi untuk mengembangkan enabler lain seperti pelatihan, model bisnis, standar, dan sertifikasi.
  • Saturasi data tercapai cepat. Dari empat FG yang dilakukan, tema baru hampir tidak muncul lagi setelah pertemuan keempat. Bahkan FG pertama dengan empat peserta sudah menghasilkan 62% tema yang teridentifikasi. Hal ini menunjukkan konsistensi opini di antara arsitek meskipun jumlah sampel relatif kecil.
  • Kendala utama masih berpusat pada isu non-teknis: sistem pengadaan (procurement) yang menekankan biaya awal dibanding nilai jangka panjang; kurangnya modal dan insentif untuk menguji teknologi baru; keterbatasan kapasitas rantai pasok; serta kesenjangan keterampilan, khususnya di bidang konstruksi dan mekanikal-elektrikal. Selain itu, muncul pula isu budaya, persepsi risiko, dan kekhawatiran soal kepemilikan serta privasi data performa bangunan.

Fakta Menarik

  • AB didasarkan pada 6 prinsip utama: pengurangan (melalui efisiensi fabric & sistem), optimasi (pembangkit on-site & penyimpanan), dan kontrol (integrasi EV & manajemen interaksi dengan grid).
  • Toolkit mencakup dua studi kasus nyata: Active Classroom dan Active Office dari proyek demonstrator SPECIFIC.
  • Model FG bersifat ganda: pengumpulan data sekaligus penyebaran ilmu (CPD), sebuah pendekatan metodologis inovatif.
  • Roadmap enabler telah disusun hingga tahun 2050: dimulai dengan Toolkit (2021–2022), kemudian spesifikasi performa, model bisnis, hingga standar dan sertifikasi (2030–2050).

Interpretasi Data yang Lebih Hidup

Penelitian ini menunjukkan bahwa satu FG awal sudah menghasilkan mayoritas tema utama. Ibarat mengisi baterai penelitian hingga 60% dalam sekali pertemuan, dua hingga tiga pertemuan berikutnya melengkapi sisanya hingga penuh. Dengan kata lain, hanya butuh tiga sampai empat sesi untuk menangkap mayoritas gagasan arsitek secara efisien.

Kritik dan Keterbatasan

Meski kontribusinya signifikan, penelitian ini memiliki keterbatasan:

  • Cakupan geografis terbatas. Peserta FG hanya dari Wales, sehingga generalisasi ke seluruh UK masih terbatas. Pandangan kontraktor, developer, regulator nasional, atau manajer fasilitas juga belum banyak terwakili.
  • Toolkit belum diuji di proyek nyata. Uji lapangan langsung masih diperlukan untuk melihat tantangan instalasi, commissioning, dan integrasi di proyek sungguhan.
  • Aspek ekonomi belum mendalam. Peserta menekankan perlunya perbandingan capex vs opex serta bukti value for money. Toolkit sebaiknya dilengkapi kalkulator biaya siklus hidup agar lebih meyakinkan klien.

Rekomendasi Praktis

  • Menguji Toolkit pada 2–4 proyek komersial yang beragam (perumahan, kantor, sekolah) untuk memperkaya studi kasus.
  • Menambahkan modul bisnis: template business case, perhitungan lifecycle, serta opsi pembiayaan dan insentif pemerintah.
  • Membangun pelatihan lintas-profesi (kontraktor, M&E, facility managers) untuk menutup gap keterampilan.
  • Mengembangkan sistem monitoring anonim untuk menjawab isu privasi data sekaligus menyediakan bukti performa yang kredibel.

Dampak Nyata

Jika AB Toolkit dan roadmap ini diterapkan secara bertahap — mulai dari uji coba proyek nyata, perkuatan argumen bisnis, hingga sertifikasi resmi — maka penyebaran strategi bangunan aktif dapat dipercepat.

Dampak realistis yang bisa dicapai:

  • Penurunan biaya operasional energi,
  • Pengurangan beban puncak pada jaringan listrik,
  • Tersedianya bukti kuat untuk memicu insentif dan standar nasional.

Dengan kolaborasi akademisi, developer, dan regulator, manfaat ekonomi dan energi dapat mulai terasa dalam lima tahun pertama implementasi berkelanjutan.

Sumber Artikel:

Clarke, J., Littlewood, J. R., & Karani, G. (2023). Developing tools to enable the UK construction industry to adopt the active building concept for net zero carbon buildings. Buildings13(2), 304.