Penelitian di Jalur Rawan Sulsel Mengungkap Fakta Mengejutkan: Hampir Separuh Pengemudi Truk Tak Paham Rambu Kunci – Ini Risikonya Bagi Kita Semua!

Dipublikasikan oleh Hansel

24 Oktober 2025, 23.33

lensamerdeka.com

Alarm Sunyi di Jalan Poros Sidrap-Parepare

Di antara hamparan perbukitan Sulawesi Selatan, terbentang sebuah urat nadi ekonomi yang tak pernah tidur: jalan poros Sidrap-Parepare. Setiap hari, ratusan truk besar bermuatan barang melintas di ruas jalan wilayah Data'e dan Lainungan, Kabupaten Sidenreng Rappang. Mereka adalah tulang punggung logistik, mengangkut kebutuhan pokok dan material pembangunan yang menjaga denyut kehidupan masyarakat. Namun, di balik deru mesin diesel dan roda-roda raksasa itu, tersimpan sebuah bahaya laten yang tak kasat mata, sebuah alarm sunyi yang berbunyi di setiap tikungan dan tanjakan.1

Ruas jalan ini, dengan aksesibilitasnya yang tinggi, telah lama dikenal sebagai zona rawan. Tingginya volume angkutan barang tidak hanya memicu kemacetan dan kerusakan jalan, tetapi juga menjadi panggung bagi serangkaian kecelakaan lalu lintas yang meresahkan.1 Selama ini, banyak yang menuding kondisi jalan atau faktor kendaraan sebagai biang keladi. Namun, sebuah penelitian mendalam yang dilakukan oleh tim peneliti dari Universitas Muhammadiyah Parepare—Jumadil, Hakzah, dan Mustakim—memutuskan untuk melihat lebih jauh, mengintip ke dalam kokpit para pengemudi untuk menemukan jawaban atas pertanyaan paling fundamental: sejauh mana faktor manusia menjadi penentu utama keselamatan di jalur maut ini?.1

Melalui survei yang melibatkan 200 pengemudi truk antara September hingga November 2020, para peneliti tidak sekadar mengumpulkan angka. Mereka mencoba membongkar sebuah kotak hitam yang berisi pemahaman, perilaku, dan kedisiplinan para "raja jalanan" ini. Hasilnya bukan hanya mengejutkan, tetapi juga menjadi sebuah cerminan suram yang berpotensi merefleksikan kondisi di banyak jalur vital lain di seluruh Indonesia. Penelitian ini mengungkap sebuah paradoks yang mengkhawatirkan: di balik kemudi kendaraan-kendaraan berat itu, duduk para pengemudi yang secara legal memenuhi syarat, namun secara fundamental buta terhadap bahasa universal jalan raya—rambu lalu lintas.1

 

Di Balik Kemudi: Paradoks Pengemudi Muda dan Berpengalaman

Sebelum menyelami temuan inti yang paling mengkhawatirkan, penting untuk memahami siapa sebenarnya 200 pengemudi yang menjadi subjek penelitian ini. Data demografis mereka, alih-alih menjadi statistik kering, justru melukiskan potret yang penuh paradoks dan menunjuk pada sebuah kegagalan sistemik yang lebih besar.

Pertama, mayoritas dari mereka adalah individu di puncak usia produktif. Sebanyak 60%, atau 119 orang, berada dalam rentang usia 21-35 tahun.1 Ini bukanlah generasi pengemudi tua yang mungkin pengetahuannya telah memudar seiring waktu. Sebaliknya, mereka adalah generasi yang seharusnya lebih melek informasi, yang baru beberapa tahun lalu melewati proses ujian untuk mendapatkan surat izin mengemudi.

Kedua, mereka adalah pengemudi profesional yang sah. Data menunjukkan bahwa 98% dari responden, atau 196 orang, mengantongi Surat Izin Mengemudi (SIM) B1, lisensi yang secara spesifik diperuntukkan bagi pengemudi mobil penumpang dan barang perseorangan dengan berat lebih dari 3.500 kg.1 Di mata hukum, mereka sepenuhnya terkualifikasi untuk melakukan pekerjaan berisiko tinggi ini. Mereka telah melewati saringan formal yang ditetapkan oleh negara.

Ketiga, mereka bukanlah pemula. Kelompok terbesar dalam sampel penelitian ini, yaitu 48% atau 97 orang, memiliki pengalaman berkendara antara 4 hingga 7 tahun.1 Mereka telah cukup lama berada di jalanan untuk tidak lagi merasakan kegugupan seorang pengemudi baru. Rutinitas dan kebiasaan—baik atau buruk—telah terbentuk.

Kombinasi ketiga faktor ini menciptakan sebuah profil yang di atas kertas tampak ideal: muda, berlisensi, dan berpengalaman. Namun, temuan penelitian justru mengubah potret ini menjadi resep bencana. Dominasi pengemudi muda yang ternyata memiliki kesenjangan pengetahuan fundamental mengindikasikan bahwa masalahnya bukan terletak pada individu, melainkan pada sistem. Ini adalah sinyal kuat bahwa proses pendidikan, pelatihan, dan ujian untuk mendapatkan SIM kemungkinan besar gagal menanamkan pemahaman yang mendalam dan bertahan lama.

Lebih jauh lagi, kombinasi antara kualifikasi legal (98% punya SIM) dan pengalaman yang cukup (4-7 tahun) melahirkan apa yang bisa disebut "ilusi kompetensi". Para pengemudi ini berada dalam zona paling berbahaya dalam karir mereka: cukup berpengalaman untuk merasa percaya diri dan mungkin mengambil risiko, namun tidak memiliki basis pengetahuan keselamatan yang kokoh. Mereka mengarungi jalanan dengan rasa aman yang palsu, sebuah keyakinan yang ditopang oleh selembar kartu SIM, bukan oleh pemahaman nyata akan aturan main di jalan raya.

 

Kesenjangan Pemahaman 43 Persen: Angka di Balik Potensi Bencana

Inilah temuan utama yang menjadi jantung dari penelitian ini, sebuah angka yang seharusnya menggema di ruang-ruang rapat para pembuat kebijakan transportasi dan keselamatan jalan. Ketika diuji pemahamannya terhadap simbol-simbol rambu lalu lintas, hanya 56% dari 200 pengemudi truk yang mampu memberikan jawaban benar. Sementara itu, 43% sisanya—hampir separuh dari total responden—menunjukkan ketidakpahaman.1

Angka 43% ini bukanlah sekadar statistik. Ini adalah sebuah kesenjangan pengetahuan yang masif dengan implikasi yang mengerikan. Bayangkan seorang ahli bedah yang tidak mengenali hampir separuh dari alat di meja operasinya, atau seorang pilot yang hanya memahami setengah dari panel instrumen di kokpitnya. Skenario seperti itu tidak dapat diterima dalam profesi apa pun yang mempertaruhkan nyawa manusia, dan seharusnya juga tidak dapat diterima bagi profesi pengemudi truk yang memegang kendali atas kendaraan seberat puluhan ton.

Kesenjangan pemahaman ini secara efektif menciptakan dua jenis pengemudi yang berbagi aspal yang sama. Di satu sisi, ada kelompok yang beroperasi dengan seperangkat aturan yang lengkap, memahami setiap peringatan, larangan, dan perintah yang disampaikan melalui rambu. Di sisi lain, ada kelompok yang hampir sama besarnya, yang mengemudi dengan "peta buta". Mereka mungkin melihat sebuah simbol, tetapi tidak memahami pesan kritis yang terkandung di dalamnya.

Dalam ekosistem lalu lintas yang kompleks, keselamatan sangat bergantung pada prediktabilitas. Setiap pengguna jalan harus bisa mengantisipasi tindakan pengguna jalan lain berdasarkan aturan main yang sama. Namun, ketika hampir separuh pengemudi kendaraan berat tidak memahami aturan dasar tersebut, pilar prediktabilitas ini runtuh. Pengemudi mobil kecil yang patuh tidak akan pernah bisa menduga bahwa truk di belakangnya tidak mengerti arti rambu larangan menyalip di tikungan, atau bahwa bus di depannya tidak paham makna rambu batas kecepatan.

Dampaknya tidak hanya terbatas pada pengemudi truk itu sendiri. Ketidakpahaman mereka menyebar seperti riak di air, menciptakan lingkungan yang tidak stabil dan berbahaya bagi setiap mobil, sepeda motor, dan pejalan kaki di sekitar mereka. Angka 43% ini adalah representasi kuantitatif dari potensi bencana yang menunggu untuk terjadi di setiap kilometer jalan raya di Indonesia.

 

Titik Buta di Jalan Raya: Rambu Kritis yang Paling Sering Terabaikan

Jika angka 43% adalah gambaran umum yang mengkhawatirkan, maka rincian di baliknya melukiskan potret yang lebih spesifik dan menakutkan. Penelitian ini tidak berhenti pada kesimpulan umum; ia membedah rambu mana saja yang menjadi "titik buta" terbesar bagi para pengemudi truk. Hasilnya menunjukkan sebuah pola yang sangat jelas: para pengemudi cenderung memahami rambu-rambu yang bersifat informatif umum, tetapi gagal total dalam mengenali rambu-rambu yang menuntut tindakan teknis spesifik dan krusial untuk keselamatan.1

Mari kita bedah data yang paling mencemaskan. Rambu "Penyebrangan pejalan kaki", sebuah simbol vital untuk melindungi pengguna jalan paling rentan, ternyata hanya dipahami oleh 44% responden. Ini berarti mayoritas pengemudi, sebanyak 56%, tidak mengerti bahwa mereka harus waspada dan siap untuk berhenti demi memberi jalan kepada orang yang menyeberang.1

Kondisi serupa terjadi pada rambu-rambu yang menuntut keahlian teknis dalam mengendalikan kendaraan besar. Rambu "Tikungan tajam kiri" hanya dipahami oleh 43.5% pengemudi, sementara 56.5% sisanya tidak menyadari peringatan akan adanya belokan berbahaya di depan. Rambu "Jalan menanjak lundai", yang krusial untuk persiapan momentum dan penggunaan gigi yang tepat, hanya dimengerti oleh 44.5% responden. Bahkan rambu fundamental seperti "Dilarang melintasi garis untuk melewati kendaraan lain" hanya dipahami oleh 45.5% pengemudi.1

Sebagai kontras yang tajam, para pengemudi menunjukkan pemahaman yang jauh lebih baik terhadap rambu-rambu yang lebih sederhana atau bersifat navigasi. Rambu "Banyak tikungan" dipahami oleh 79% responden, rambu "Masjid" dikenali oleh 78%, dan rambu peringatan umum "Hati-hati" dipahami oleh 74%.1

Pola ini mengungkap sebuah "kebutaan selektif" yang berbahaya. Para pengemudi tampaknya terlatih untuk mengenali penanda lokasi atau peringatan umum, tetapi buta terhadap instruksi yang mengatur perilaku mengemudi mereka secara presisi. Ini mengindikasikan bahwa fokus mereka lebih kepada "bagaimana saya sampai ke tujuan" daripada "bagaimana kita semua bisa sampai dengan selamat". Ketidakmampuan massal untuk mengenali rambu penyeberangan pejalan kaki adalah bukti paling nyata dari adanya titik buta empati dalam budaya berkendara mereka, sebuah kegagalan untuk memprioritaskan keselamatan pihak lain yang lebih rentan.

 

Dari Ketidaktahuan Menuju Pelanggaran: Menghubungkan Data dengan Aspal Jalan

Ketidaktahuan terhadap rambu lalu lintas bukanlah sekadar masalah akademis. Ia memiliki konsekuensi langsung dan nyata di atas aspal. Penelitian ini dengan cermat menghubungkan titik antara apa yang ada di kepala pengemudi dengan apa yang mereka lakukan di jalanan, dan hasilnya mengonfirmasi bahwa pengetahuan yang buruk berbanding lurus dengan perilaku yang berbahaya.

Data pengakuan diri dari para responden menunjukkan bahwa pelanggaran adalah sebuah norma, bukan pengecualian. Mayoritas pengemudi, sebesar 51% atau 102 orang, mengaku pernah melanggar rambu lalu lintas sebanyak 6 hingga 10 kali.1 Ini adalah pengakuan yang signifikan, yang mengindikasikan bahwa ketidakpahaman sering kali bermuara pada ketidakpatuhan, baik disengaja maupun tidak.

Konsekuensi paling fatal dari perilaku ini adalah kecelakaan. Meskipun 95% responden mengaku tidak pernah mengalaminya, 5% sisanya—atau 9 orang dalam sampel ini—pernah terlibat dalam 1 hingga 3 kali kecelakaan.1 Angka ini mungkin terlihat kecil, tetapi dalam skala nasional, 5% dari populasi pengemudi truk adalah angka yang sangat besar, merepresentasikan ribuan insiden yang mungkin dapat dicegah.

Namun, bukti paling kuat yang disajikan oleh penelitian ini datang dari analisis statistik canggih menggunakan model regresi logistik. Para peneliti menemukan bahwa tiga variabel manusia—perilaku berkendara, kedisiplinan, dan pengetahuan tentang rambu lalu lintas—secara kolektif mampu menjelaskan atau mempengaruhi keselamatan berkendara sebesar 51.1%.1 Angka ini, yang berasal dari nilai statistik Nagelkerke R Square sebesar 0,511, adalah sebuah "bukti matematis" yang tak terbantahkan.

Artinya, lebih dari separuh nasib keselamatan di jalan raya tidak ditentukan oleh kondisi jalan yang berlubang, cuaca buruk, atau takdir, melainkan oleh faktor-faktor yang sepenuhnya berada dalam kendali manusia. Ini adalah sebuah perubahan paradigma. Temuan ini memindahkan fokus dari solusi reaktif seperti memperbaiki jalan setelah kecelakaan, ke solusi proaktif: memperbaiki kompetensi pengemudi sebelum mereka menyebabkan kecelakaan. Angka 51.1% ini adalah amunisi berbasis data yang paling kuat bagi para pembuat kebijakan untuk memprioritaskan investasi besar-besaran pada pelatihan, sertifikasi ulang, dan penegakan hukum yang tegas bagi para pengemudi.

 

Cerminan Lokal dengan Implikasi Nasional: Tinjauan Kritis dan Langkah ke Depan

Tentu saja, penting untuk melihat penelitian ini dengan kacamata yang realistis. Studi ini memiliki keterbatasan: sampelnya terdiri dari 200 pengemudi truk di satu ruas jalan spesifik di Sulawesi Selatan.1 Hasilnya mungkin tidak bisa serta-merta digeneralisasi untuk mewakili seluruh pengemudi di Indonesia tanpa adanya penelitian lanjutan yang lebih luas. Selain itu, data mengenai frekuensi pelanggaran dan pengalaman kecelakaan didasarkan pada pengakuan diri, yang berpotensi lebih rendah dari kenyataan akibat keengganan responden untuk mengakui kesalahan.

Namun, terlepas dari keterbatasan tersebut, penelitian ini berfungsi sebagai sebuah "canary in the coal mine"—sinyal peringatan dini yang sangat kuat. Sangat masuk akal untuk berasumsi bahwa masalah serupa, atau bahkan lebih buruk, terjadi di jalur-jalur logistik padat lainnya di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Studi ini membuka kotak Pandora yang memaksa kita untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan kebijakan yang fundamental dan mendesak.

Apakah sistem ujian SIM yang berlaku saat ini sudah memadai? Apakah tes yang sering kali hanya berfokus pada hafalan dan manuver dasar benar-benar mampu menyaring calon pengemudi yang kompeten dan sadar keselamatan? Temuan ini menunjukkan jawabannya adalah "tidak".

Lebih jauh lagi, penelitian ini secara tidak langsung mengkritik pendekatan "satu kali seumur hidup" dalam sertifikasi pengemudi. Pengetahuan bukanlah aset statis; ia bisa memudar jika tidak diasah, atau bahkan mungkin tidak pernah benar-benar tertanam sejak awal. Untuk profesi berisiko tinggi seperti pengemudi kendaraan komersial, model sertifikasi berkelanjutan—di mana mereka harus secara berkala mengikuti program penyegaran pengetahuan dan tes ulang—menjadi sebuah keharusan logis. Perusahaan transportasi juga tidak bisa lepas tangan; mereka memiliki tanggung jawab untuk memastikan setiap pengemudi yang mereka pekerjakan tidak hanya memiliki SIM, tetapi juga benar-benar kompeten.

 

Kesimpulan: Membangun Aspal yang Lebih Aman, Satu Pengemudi pada Satu Waktu

Penelitian di jalan poros Sidrap-Parepare ini memberikan tiga kesimpulan utama yang tak terbantahkan. Pertama, ada kesenjangan pengetahuan yang kritis dan berbahaya—sebesar 43%—di antara populasi pengemudi truk yang notabene berlisensi resmi dan berpengalaman. Kedua, kesenjangan ini memiliki "titik buta" yang spesifik pada rambu-rambu yang paling vital untuk keselamatan, terutama yang berfungsi melindungi pengguna jalan lain yang rentan dan yang menuntut keahlian teknis. Ketiga, bukti statistik yang kuat menunjukkan bahwa faktor manusia (pengetahuan, disiplin, dan perilaku) adalah penentu lebih dari separuh (51.1%) dari nasib keselamatan di jalan raya.

Temuan ini bukan lagi sekadar data, melainkan sebuah panggilan untuk bertindak. Mengabaikannya berarti membiarkan ribuan "bom waktu" terus beroperasi di jalanan kita setiap hari.

Jika temuan ini ditindaklanjuti dengan serius—melalui reformasi total sistem pendidikan dan ujian SIM, program pelatihan ulang wajib yang terfokus pada rambu-rambu kritis bagi pengemudi komersial, serta penegakan aturan yang konsisten dan tanpa kompromi—maka dampaknya akan sangat signifikan. Kita dapat secara realistis menargetkan penurunan insiden kecelakaan yang melibatkan angkutan barang di jalur-jalur vital ekonomi Indonesia hingga 20-30% dalam waktu lima tahun ke depan. Ini bukan hanya tentang menyelamatkan nyawa dan mencegah luka, tetapi juga tentang mengamankan kelancaran rantai pasok nasional dan membangun fondasi budaya berlalu lintas yang lebih aman dan beradab untuk generasi mendatang.

 

Sumber Artikel:

https://jurnal.umpar.ac.id/index.php/karajata/article/view/1595