Paradigma Baru Menuju Ekonomi Hijau di Indonesia

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah

20 Juni 2025, 06.07

pixabay.com

Mengapa Paradigma Ekonomi Hijau Kini Jadi Keniscayaan?

Indonesia, negara kepulauan terbesar keempat di dunia, telah mencatat pertumbuhan ekonomi stabil selama dua dekade terakhir. Namun, keberhasilan ekonomi ini dibayangi oleh ketergantungan tinggi pada eksploitasi sumber daya alam dan model pembangunan berkarbon tinggi yang menyebabkan kerusakan lingkungan, emisi gas rumah kaca (GRK) masif, dan ancaman serius terhadap keberlanjutan ekonomi jangka panjang. Paper “Low Carbon Development: A Paradigm Shift Towards a Green Economy in Indonesia” yang dipimpin oleh Bappenas dan didukung berbagai pakar nasional-internasional, menjadi tonggak penting dalam mendorong perubahan paradigma pembangunan nasional menuju ekonomi hijau dan rendah karbon1.

Artikel ini akan membedah isi, angka-angka, serta studi kasus dari laporan tersebut, lalu mengaitkannya dengan tren global, kritik, dan peluang nyata bagi Indonesia.

Konteks Global: Dari “Business as Usual” ke Revolusi Ekonomi Hijau

Tren Dunia

Laporan New Climate Economy (2018) menegaskan, negara-negara yang berani bertransformasi ke ekonomi rendah karbon justru menikmati pertumbuhan lebih inklusif, inovatif, dan tahan krisis. Indonesia, sebagai negara G20 dan pengemisi karbon ke-4 dunia, menjadi laboratorium penting bagi dunia—apakah pertumbuhan ekonomi dan aksi iklim bisa berjalan beriringan?

Tantangan Indonesia

  • Emisi GRK naik 54% sejak 2000
  • 95% energi masih dari fosil (2015)
  • Deforestasi masif: 8 juta ha hutan primer hilang 2000–2017
  • Kerugian ekonomi akibat degradasi alam setara 7,2% GNI/tahun

Low Carbon Development Initiative (LCDI): Visi, Target, dan Skema Skenario

Visi LCDI

LCDI diluncurkan Bappenas pada 2017, bertujuan mengintegrasikan aksi iklim ke dalam agenda pembangunan nasional. Target utamanya:

  • Memastikan pertumbuhan ekonomi tetap tinggi,
  • Mengurangi kemiskinan,
  • Menjaga daya dukung lingkungan,
  • Mencapai target NDC (Nationally Determined Contribution) Paris Agreement.

Catatan: LCDI High mampu menurunkan emisi hampir 43% pada 2030, melampaui target NDC 41%1.

Studi Kasus & Angka Kunci: Manfaat Nyata Jalur Rendah Karbon

Dampak Ekonomi & Sosial

  • Pertumbuhan ekonomi rata-rata 6% per tahun hingga 2045
  • Penambahan lebih dari US$5,4 triliun ke PDB pada 2045
  • 15,3 juta lapangan kerja baru yang lebih hijau dan layak
  • Penurunan kemiskinan ekstrem jadi 4,2% pada 2045
  • 40.000 kematian per tahun dapat dicegah (perbaikan kualitas udara)
  • Hilangnya 16 juta ha hutan dapat dicegah

Dampak Lingkungan

  • Emisi GRK turun 43% pada 2030 (LCDI High)
  • Pada 2045, emisi turun 75% dibanding Base Case (LCDI Plus)
  • Perlindungan 41,1 juta ha hutan primer dan 15 juta ha gambut

Studi Kasus: Moratorium Hutan & Energi Terbarukan

  • Moratorium izin hutan dan sawit: 42,5 juta ha hutan dan gambut dilindungi, namun deforestasi masih terjadi, terutama di Papua dan Kalimantan.
  • Transisi energi: Target bauran energi terbarukan naik dari 8% (2015) ke 23% (2030), dan 30% (2045). Namun, subsidi energi fosil masih tinggi (US$30 miliar/tahun).

Analisis Skenario: Apa yang Terjadi Jika Tidak Berubah?

Base Case (Business as Usual)

  • Pertumbuhan ekonomi melambat ke 4,3% pada 2045
  • Emisi naik 23,9% pada 2030
  • Kemiskinan, kematian akibat polusi, dan kerugian ekonomi memburuk
  • Kerugian pendapatan kumulatif US$130 miliar (2019–2024)
  • Lebih dari 1 juta orang jatuh miskin dibanding skenario rendah karbon

LCDI High & Plus

  • Pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dan berkelanjutan
  • Investasi tambahan yang dibutuhkan US$22–70 miliar/tahun (1,7–2,34% PDB)
  • Rasio investasi terhadap PDB justru lebih rendah dibanding skenario BAU, karena investasi lebih efisien dan produktif

Sektor Kunci: Energi, Lahan, dan Infrastruktur

1. Energi: Transisi dari Fosil ke Terbarukan

  • 95% energi dari fosil (2015): 44% minyak, 29% batu bara, 22% gas
  • Emisi energi naik 4,1%/tahun (2000–2017)
  • Biaya eksternalitas batu bara (polusi, kematian dini) sangat besar
  • Studi biaya (Gambar 4): Energi terbarukan (angin, surya, hidro) kini lebih murah dari batu bara jika memperhitungkan eksternalitas

2. Lahan: Deforestasi, Gambut, dan Moratorium

  • Deforestasi 8 juta ha hutan primer (2000–2017)
  • Konversi lahan terbesar: dari hutan sekunder ke pertanian (6,8 juta ha, 2000–2014)
  • Kebakaran hutan dan lahan gambut: 15% emisi lahan, bisa naik 40% di tahun kering
  • Moratorium hutan sawit dan tambang: efektif jika disertai penegakan hukum dan insentif ekonomi

3. Infrastruktur: Dari “Grey” ke “Green”

  • Investasi infrastruktur US$50 miliar/tahun (20% APBN)
  • Infrastruktur berkelanjutan (transportasi massal, energi bersih, perlindungan ekosistem) harus menjadi prioritas
  • Infrastruktur “grey” (jalan, PLTU batu bara, dsb) justru memperparah emisi dan kerusakan lingkungan

Kelebihan, Kritik, dan Perbandingan Global

Kelebihan LCDI

  • Pendekatan sistemik: Integrasi lintas sektor (energi, lahan, air, SDM)
  • Berbasis sains & model dinamis: IV2045, GLOBIOM-Indonesia, SpaDyn
  • Konsultasi multi-stakeholder: Pemerintah, swasta, LSM, donor internasional

Kritik & Tantangan

  • Implementasi kebijakan sering terhambat kepentingan politik dan ekonomi jangka pendek
  • Subsidi energi fosil masih masif
  • Penegakan moratorium hutan belum konsisten
  • Kapasitas kelembagaan dan pembiayaan hijau perlu ditingkatkan
  • Transisi harus adil (just transition): pekerja di sektor fosil dan masyarakat adat perlu perlindungan dan pelatihan ulang

Perbandingan Negara Lain

  • China: Sukses menurunkan kemiskinan, tapi dengan biaya lingkungan tinggi. Kini beralih ke ekonomi hijau, namun dengan tantangan polusi berat.
  • Vietnam & Malaysia: Mulai mengadopsi kebijakan energi terbarukan dan moratorium hutan, meski skalanya belum sebesar Indonesia.

Peluang & Rekomendasi: Menuju Indonesia Emas 2045 yang Hijau

Peluang

  • Indonesia bisa jadi contoh global transisi ekonomi hijau di negara berkembang
  • Potensi investasi hijau sangat besar: blended finance, green bonds, dana internasional
  • Teknologi terbarukan (surya, angin, baterai) semakin murah dan kompetitif
  • Peningkatan produktivitas lahan & efisiensi energi = pertumbuhan ekonomi lebih tinggi

Rekomendasi

  1. Reformasi Subsidi Energi: Alihkan subsidi fosil ke energi bersih dan infrastruktur hijau.
  2. Penegakan Moratorium Hutan: Perkuat monitoring, insentif ekonomi, dan perlindungan masyarakat adat.
  3. Investasi Infrastruktur Hijau: Prioritaskan transportasi massal, energi terbarukan, dan perlindungan ekosistem.
  4. Pendidikan & Pelatihan Ulang: Siapkan tenaga kerja untuk ekonomi hijau.
  5. Kolaborasi Global: Manfaatkan peluang pendanaan internasional dan transfer teknologi.

Tidak Ada Trade-Off, Hanya Kesempatan

Studi LCDI membuktikan, Indonesia tidak perlu memilih antara pertumbuhan ekonomi dan perlindungan lingkungan. Jalur pembangunan rendah karbon justru menawarkan “win-win-win”: ekonomi tumbuh lebih tinggi, kemiskinan berkurang, lingkungan lebih lestari, dan Indonesia siap menjadi negara maju pada 2045. Tantangannya adalah keberanian politik, inovasi kebijakan, dan kolaborasi lintas sektor.

Sumber Artikel 

Low Carbon Development: A Paradigm Shift Towards a Green Economy in Indonesia. Ministry of National Development Planning/BAPPENAS (2019).