Jakarta - Tiga pakar geofisika Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) membuat inovasi alat pendeteksi dini tsunami yang memanfaatkan prinsip refleksi gelombang. Ketiga pakar dari Departemen Teknik Geofisika ITS tersebut itu yakni Dr Ir Amien Widodo MSi, Juan Pandu Gya Nur Rochman SSi MT, dan Kharis Aulia Alam ST.
Gagasan pembuatan instrumen bernama SENOPATI tersebut bermula sebagai respons kondisi Indonesia sebagai salah satu negara dengan tingkat kerawanan tinggi terhadap bencana tsunami, seperti dikutip dari laman resmi ITS. Adapun SENOPATI merupakan akronim dari Sepuluh Nopember Pendeteksi Awal Tsunami.
Amien menuturkan, penelitian ini berlangsung sejak 2019 lalu dan terus dikembangkan hingga sekarang. Adapun tujuan perancangan instrumen ini, menurut Amien, yakni untuk membuat alat pendeteksi tsunami yang mudah diaplikasikan dan murah.
"Indonesia pada dasarnya memiliki sistem pendeteksi dini tsunami bernama Buoy. Sayangnya, kondisi instrumen tersebut saat ini hilang atau rusak karena ulah orang yang tidak bertanggung jawab," jelas Amien.
Amien menuturkan, SENOPATI bekerja dengan menggunakan prinsip refleksi gelombang. Adapun ketinggian dari muka air bisa diukur oleh sensor untuk mendeteksi datangnya tsunami.
"Karena tsunami itu menyebabkan air laut surut, jadi kita lihat kalau ada air surut di waktu tertentu itu tanda adanya peringatan dini terhadap tsunami," papar Amien, seperti dikutip dari situs resmi ITS, Jumat (11/6/2021).
Peneliti senior dari Pusat Penelitian Mitigasi Kebencanaan dan Perubahan Iklim (Puslit MKPI) ITS ini menambahkan, prinsip yang digunakan pada refleksi gelombang diaplikasikan dalam dua sensor, yaitu sensor ultrasonik dan sensor doppler. Gelombang ultrasonik sendiri mampu mendapatkan jarak pemantul gelombang dengan menggunakan prinsip Time of Light atau ToF (metode yang digunakan untuk mengukur jarak antara sensor dan objek).
Ia menambahkan, sementara itu, sensor doppler memanfaatkan gelombang ultrasonik yang ditembakkan kepada objek dengan kemudian menghitung pergeseran frekuensi yang diterima sebagai nilai kecepatan benda bergerak.
"Jadi apabila ketinggian muka airnya surut dengan cepat, alat ini akan memberi tahu bahwa akan ada tanda-tanda terjadinya tsunami," kata Amien.
Terkait cara kerja SENOPATI, Amien mengatakan, alat akan memunculkan warna merah dan buzzer menyala mengirimkan peringatan evakuasi saat mengidentifikasi adanya penurunan ketinggian air dengan cepat.
Ia menambahkan, pada penelitian tersebut, parameter kecepatan surut masih menggunakan nilai sintetis yang menyesuaikan ukuran dari model uji yang digunakan. Artinya, model uji coba belum menggunakan nilai asli dari kejadian di lapangan.
Dosen Departemen Teknik Geofisika ITS ini menuturkan, rancang bangun alat masih terbatas pada skala laboratorium. Karenanya, kendala atau kekurangan yang ada pada SENOPATI masih belum menampakkan masalah signifikan.
Ia menambahkan, evaluasi terhadap SENOPATI akan terus dilakukan seiring dengan pengembangan dan ketika alat sudah bisa diterapkan secara langsung di lapangan atau di laut lepas. Harapannya, SENOPATI dapat dimasukkan ke dalam lingkup penelitian yang lebih detail oleh ITS dan bisa mendapat pendanaan lebih lanjut.
"Kami juga ingin membuat prototipe yang lebih baik dan diuji coba dengan ukuran yang lebih besar, sehingga kita bisa tahu keandalan dari alat ini," kata Amien.
Sumber: www.detik.com