Itu terjadi Selasa lalu. Saya sedang mendengarkan podcast, melangkah dari trotoar di persimpangan yang saya lewati setiap hari. Saya melirik ke kiri, melihat sedan merah masih "jauh". Saya punya banyak waktu.
Lalu, klakson.
Saya melompat mundur ke trotoar saat sedan merah itu melesat lewat, hanya beberapa inci dari lutut saya. Jantung saya berdebar kencang. Pengemudinya membentak saya. Saya balas membentak.
Dalam pikiran saya, saya aman. Saya telah membuat kalkulasi sepersekian detik dan menyimpulkan "aman untuk menyeberang". Tapi fisika berkata lain. Jarak yang saya rasakan dan jarak sebenarnya adalah dua hal yang sama sekali berbeda.
Pengalaman universal yang menakutkan ini—momen "nyaris celaka"—adalah inti dari masalah yang dibahas dalam "Book of Abstracts" setebal 72 halaman dari lokakarya ICTCT (International Co-operation on Theories and Concepts in Traffic Safety). Seluruh buku ini, yang baru saja saya "lahap" selama akhir pekan, pada dasarnya bertanya: Mengapa perasaan aman kita seringkali salah? Dan yang lebih penting, bagaimana kita bisa mengukur bahaya sebelum seseorang benar-benar tertabrak?
Kesimpulan saya setelah membaca puluhan abstrak penelitian ini? Hampir semua yang kita—sebagai masyarakat—pikirkan tentang keselamatan di jalan raya itu keliru. Kita terobsesi dengan data yang salah, seringkali menyalahkan orang yang salah, dan akibatnya, kita membangun solusi yang salah.
Tapi ada cara yang lebih baik. Dan itu dimulai dengan sebuah filosofi yang radikal.
Kita Tidak Butuh Darah di Jalan untuk Tahu Itu Berbahaya
Inilah filosofi inti dari grup peneliti ICTCT, dicetak dengan huruf kapital semua: "KITA TIDAK MEMBUTUHKAN KECELAKAAN UNTUK MENCEGAH KECELAKAAN!".
Ini adalah sebuah revolusi. Pikirkan sejenak: Bagaimana cara kota Anda memutuskan di mana harus memasang zebra cross baru atau lampu lalu lintas? Jawabannya hampir selalu: setelah ada cukup banyak orang yang terluka atau tewas di lokasi tersebut. Kebijakan keselamatan kita bersifat reaktif. Kita menunggu data kecelakaan (biasanya data polisi) terkumpul selama 3-5 tahun, menemukan "titik hitam" (black spots), lalu mungkin, mungkin, memperbaikinya.
Sebuah paper dari Ralf Risser menjelaskan mengapa pendekatan ini gagal total.
Data kecelakaan standar bisa memberi tahu Anda apa yang terjadi (misalnya, "mobil menabrak sepeda") dan di mana itu terjadi. Tapi itu tidak bisa memberi tahu Anda mengapa.
Data itu tidak bisa memberi tahu Anda apa yang dilihat pengemudi, ke mana mereka berencana pergi, seberapa fokus mereka pada lalu lintas, apa yang mereka persepsikan, atau strategi apa yang mereka gunakan. Untuk memahami mengapa, kita perlu beralih dari "data kecelakaan" ke "indikator bahaya"—sesuatu yang oleh para peneliti ini disebut traffic conflicts (konflik lalu lintas) dan near-accidents (nyaris celaka). Momen klakson sedan merah saya itu.
Sebuah studi kasus sempurna tentang mengapa data kita saat ini buta berasal dari Belanda, meneliti kecelakaan sepeda fatal. Para peneliti melakukan sesuatu yang brilian: mereka membandingkan statistik polisi dengan statistik "penyebab kematian" (yang diisi oleh pemeriksa medis).
Inilah yang mereka temukan:
-
Untuk tabrakan sepeda-kendaraan bermotor, kedua datanya cocok.
-
TAPI... untuk kecelakaan fatal sepeda tanpa kendaraan bermotor (misalnya, pengendara jatuh sendiri dan meninggal), statistik polisi sangat meremehkan jumlahnya.
Masalah ini tersembunyi dan terus bertambah.
Mari kita pikirkan implikasinya. Jika data polisi salah, maka seluruh kebijakan keselamatan sepeda kita mungkin salah. Kita mungkin menghabiskan miliaran rupiah untuk membangun jalur sepeda yang "melindungi" pesepeda dari mobil, tetapi kita sama sekali mengabaikan alasan sebenarnya mengapa pesepeda meninggal—yang bisa jadi karena infrastruktur yang buruk.
Ini terhubung sempurna dengan paper lain dalam buku yang sama , yang menemukan bahwa di Belanda, pedoman nasional untuk infrastruktur sepeda (seperti lebar jalur yang memadai dan zona bebas rintangan) sering tidak dipatuhi. Mengapa? Alasan yang paling sering disebutkan adalah "kurangnya ruang" atau "anggaran".
Jadi, kita secara aktif membangun infrastruktur yang mungkin berkontribusi pada epidemi "kecelakaan tunggal" yang tersembunyi ini, semua karena data reaktif kita gagal menunjukkannya. Kita butuh cara yang proaktif.
Tetapi masalahnya lebih dalam dari sekadar data yang buruk. Masalahnya ada di dalam kepala kita.
Otak Kita Pembohong Ulung: Mengapa Kita Semua Bodoh dalam Menilai Risiko
Ini adalah paper favorit saya di seluruh buku ini. Paper dari Rune Elvik pada dasarnya berargumen bahwa otak manusia, melalui evolusi, tidak mampu secara akurat menilai risiko di lalu lintas modern. Ada "hukum psikofisik universal" yang mengacaukan kita semua, setiap hari.
Hukumnya sederhana: Kita cenderung melebih-lebihkan (overestimate) probabilitas rendah atau kuantitas kecil, dan meremehkan (underestimate) probabilitas tinggi atau kuantitas besar.
Kedengarannya abstrak? Mari kita buat ini nyata.
Ilusi Kontrol Saat Menyeberang Jalan
Bayangkan ini, kembali ke skenario sedan merah saya.
-
Kamu berdiri di pinggir jalan. Sebuah mobil mendekat dengan kecepatan rendah, katakanlah 15 km/jam. Otakmu melihatnya dan berkata, "Wah, dia mungkin butuh jarak 20 meter untuk berhenti." Kamu melebih-lebihkannya. Jarak berhentinya sebenarnya jauh lebih pendek.
-
Situasi berikutnya. Mobil lain mendekat dengan kecepatan tinggi, 80 km/jam. Otakmu berkata, "Ah, dia mungkin butuh 50 meter untuk berhenti." Padahal, jarak pengereman sebenarnya (termasuk waktu reaksi pengemudi) adalah jauh lebih dari itu. Kamu meremehkannya secara besar-besaran.
Ini bukan hanya firasat saya. Paper Elvik mengonfirmasi hal ini dengan data: Pejalan kaki overestimate jarak berhenti mobil pelan dan underestimate jarak berhenti mobil kencang. Otak kita memberi kita ilusi keamanan palsu tepat pada saat kita paling membutuhkannya.
Mengapa "Hanya Nambah 10 km/jam" Adalah Kebohongan yang Kita Katakan pada Diri Sendiri
Hukum yang sama berlaku saat kita berada di belakang kemudi.
-
Kita melebih-lebihkan risiko dari kenaikan kecepatan kecil. (Misalnya, "Wah, ngebut dari 20 ke 30 km/jam di jalan perumahan terasa sangat berbahaya!").
-
Kita meremehkan risiko dari kenaikan kecepatan besar. (Misalnya, "Ah, bedanya mengemudi 100 km/jam dengan 110 km/jam di jalan tol apa sih?"). Padahal, secara fisika, peningkatan energi kinetik (dan risiko cedera) bersifat eksponensial.
Ini juga berlaku untuk risiko tertilang polisi.
-
Ketika risiko tertilang rendah (jalan sepi di malam hari), kita melebih-lebihkannya. ("Awas, polisi bisa ada di mana-mana!").
-
Ketika risiko tertilang tinggi (di area yang terkenal diawasi ketat), kita meremehkannya. ("Ah, aku bisa lolos, yang lain juga ngebut.").
Sekarang, mari kita tarik implikasi radikal dari temuan Elvik. Jika dia benar—jika kita semua secara biologis hardwired untuk salah menilai risiko—maka sebagian besar kampanye "kesadaran keselamatan" dan "pendidikan" lalu lintas yang kita lakukan pada dasarnya tidak ada gunanya.
Kita tidak bisa "mendidik" orang untuk melawan bias kognitif yang sudah tertanam selama ribuan tahun.
Kesimpulannya? Kita harus berhenti mencoba mengubah pikiran orang dan mulai mengubah lingkungan fisik tempat pikiran itu beroperasi. Kita harus merancang jalan yang mustahil untuk digunakan secara salah. Jika otak manusia tidak bisa diandalkan untuk menilai kecepatan 80 km/jam, maka jalan itu sendiri yang harus memaksa kecepatan turun—bukan dengan tanda "Pelan-pelan", tetapi dengan desain fisik yang membuatnya tidak nyaman untuk mengebut.
Roda Baru di Aspal: Dilema E-Bike yang Mengubah Segalanya
Jika ada satu hal yang membuat perencana kota pusing saat ini, itu adalah e-bike (dan saudaranya yang lebih sopan, pedelec atau sepeda dengan bantuan pedal). Mereka cepat, mereka senyap, dan mereka ada di mana-mana. Buku abstrak ini memiliki klaster khusus tentang mereka, dan temuannya... mengejutkan.
Lebih Cepat, Tentu Saja. Lebih Berbahaya? Ternyata Tidak.
Ketakutan terbesar kita adalah e-bike terlalu cepat untuk dikendalikan, terutama oleh pengguna jalan yang rentan seperti lansia.
Jadi, para peneliti di Belgia mengamatinya. Mereka mengambil sekelompok lansia (usia 65-75 tahun) dan menyuruh mereka bersepeda di rute 4,8 km menggunakan sepeda biasa dan pedelec.
-
🚀 Hasilnya luar biasa: Ya, mereka memang lebih cepat. Rata-rata 3 km/jam lebih cepat di jalan datar dan 5 km/jam lebih cepat di tanjakan.
-
🧠Tapi... beban kerja mental mereka (diukur dengan tugas deteksi perifer) tidak ada bedanya antara sepeda biasa dan pedelec.
-
💡 Dan... detak jantung mereka secara signifikan lebih rendah saat di tanjakan.
Ini berarti mereka mendapatkan manfaat mobilitas (lebih cepat, lebih mudah menanjak) tanpa kelelahan fisik atau stres mental tambahan.
"Oke," katamu, "itu lansia. Bagaimana dengan populasi umum yang ngebut?"
Studi naturalistic cycling yang brilian dari Jerman menjawab ini. Mereka memasang kamera dan sensor GPS pada sepeda milik 90 orang dan membiarkan mereka berkendara secara alami selama empat minggu (total 17.000 km data!).
-
🚀 Kecepatannya luar biasa: S-pedelecs (yang bisa melaju hingga 45 km/jam) rata-rata 9 km/jam lebih cepat dari sepeda biasa. Pedelecs (hingga 25 km/jam) rata-rata 2 km/jam lebih cepat.
-
🧠INI TEMUAN KUNCINYA: Para peneliti dengan susah payah mengidentifikasi 202 "Safety Critical Events" (SCEs) atau "peristiwa kritis keselamatan" (momen nyaris celaka). Namun, setelah menganalisis semua data... mereka tidak menemukan perbedaan signifikan dalam frekuensi SCEs di antara ketiga jenis sepeda (biasa, pedelec, s-pedelec).
Ini adalah sebuah paradoks. Kecepatan ekstra tidak secara otomatis berarti bahaya ekstra. Mengapa? Paper itu tidak menyimpulkan, tetapi datanya jelas: fokus publik dan kepanikan media pada kecepatan e-bike mungkin salah arah.
Mengapa Saya (dan Mereka) Mengendarai E-Bike di Trotoar
Jika bukan kecepatan, masalahnya apa? Perilaku. Secara spesifik, mengapa begitu banyak pengendara e-bike (di Israel, dalam studi ini ) secara ilegal menggunakan trotoar, yang membahayakan pejalan kaki?
Apakah mereka hanya orang-orang nakal? Tidak.
Studi ini menggunakan "Reasoned Action Approach" untuk mewawancarai pengendara dan menemukan tiga alasan psikologis utama mengapa mereka melakukannya:
-
Alasan Normatif: Persepsi bahwa "orang lain" (teman, orang tua) juga melakukannya dan menyetujuinya. Ini adalah tekanan sosial klasik.
-
Alasan Konsep Diri (Self-Concept): Ini adalah alasan terkuat. Ini adalah tentang perceived control (persepsi kontrol). Pengendara merasa lebih aman, lebih terkendali, dan lebih nyaman di trotoar, meskipun itu ilegal. Mereka merasa trotoar yang lebar dan aman memfasilitasi perilaku ini, sementara jalan raya terasa kacau dan berbahaya.
-
Alasan Moral: Ini yang paling menarik. Pengendara memiliki "norma moral" internal (rasa bersalah) untuk tidak melakukannya, tetapi norma ini "jauh dari level maksimal". Artinya, mereka tahu itu salah, tapi tidak terlalu salah.
Ini menghubungkan semuanya. Orang tidak naik e-bike di trotoar karena mereka "jahat". Mereka melakukannya karena infrastruktur jalan raya terasa sangat berbahaya sehingga melanggar hukum terasa lebih aman dan lebih bisa dikendalikan ("Alasan Konsep Diri").
Solusinya bukan hanya penegakan hukum (yang mencoba melawan "Alasan Konsep Diri" yang kuat). Solusinya adalah memperbaiki infrastruktur jalan raya sehingga terasa jauh lebih aman daripada trotoar. Sekali lagi, ini masalah desain, bukan edukasi.
Perjuangan Tak Terlihat dari Si Kaki Telanjang (dan Roda Kecil)
Fokus utama lokakarya ini adalah vulnerable road users (VRUs) atau "pengguna jalan rentan". Dan tidak ada yang lebih rentan daripada pejalan kaki dan pesepeda. Abstrak-abstrak ini melukiskan gambaran suram tentang bagaimana infrastruktur kita saat ini mengecewakan mereka.
Kebutuhan Bersama Anak-Anak dan Lansia yang Kita Abaikan
Sebuah studi di Wina, Austria , melakukan wawancara mendalam dengan anak-anak dan lansia tentang pengalaman mereka berjalan kaki.
-
Temuan Kunci: Kebutuhan mereka ternyata sama: keselamatan, rasa hormat, dan kenyamanan.
-
Kesimpulan Brutal: Para peneliti menyimpulkan bahwa sistem lalu lintas saat ini dirancang hanya untuk "kemampuan fisik orang dewasa yang sehat", sementara kebutuhan anak-anak, lansia, dan penyandang disabilitas "sebagian besar diabaikan". Mereka terpaksa mengembangkan "strategi kompensasi" (seperti berjalan memutar jauh) hanya untuk bertahan hidup di lingkungan yang memusuhi mereka.
Apa yang Saya Sadari Setelah Melihat Studi Jalur Bus Ini (Kritik Halus #1)
Kadang-kadang, bahkan ketika kita mencoba untuk membantu, intuisi kita salah.
-
Masalah: Haruskah sepeda diizinkan berbagi jalur dengan bus? Ini adalah perdebatan besar di banyak kota.
-
Hipotesis "Akal Sehat": Pedoman desain internasional (dari Flanders, Jerman, Australia) menyarankan agar jalur bus dibuat sempit. Logikanya? Ini akan memaksa pengemudi bus untuk pindah ke jalur sebelah saat menyalip sepeda, yang dianggap lebih aman daripada menyalip "tipis" di dalam jalur yang sama.
-
Apa yang Ditemukan Studi Ini: Sebuah studi di Belgia menggunakan analisis video untuk membandingkan satu jalur sempit (yang "direkomendasikan") dengan satu jalur lebar (yang dianggap "terlalu lebar").
-
🚀 Hasilnya luar biasa: Hipotesis itu salah.
-
🧠Tidak ada perbedaan signifikan secara statistik dalam jumlah salipan berbahaya (kurang dari 1 meter) antara kedua desain tersebut.
-
💡 Bahkan, ada kecenderungan (meskipun tidak signifikan) ke arah lebih banyak salipan berbahaya di jalur sempit yang direkomendasikan.
-
Ini adalah contoh kedua di mana "akal sehat" desain infrastruktur kita terbukti salah oleh data. Intuisi kita tentang bagaimana manusia (dalam hal ini, pengemudi bus) akan berperilaku ternyata keliru.
Tombol Lampu Merah Itu Ternyata Palsu (Secara Psikologis)
Ini satu lagi. Bagaimana kepatuhan pejalan kaki terhadap lampu lalu lintas?
-
Data Keras: Sebuah studi besar di Belgia mengamati 69.211 pejalan kaki.
-
🚀 Hasilnya: Rata-rata 21% melanggar lampu merah.
-
-
Temuan Paling Mengejutkan (Perangkap Intuisi #2):
-
Apa yang menurunkan pelanggaran? Kepadatan lalu lintas. Jika jalanan ramai, orang lebih patuh. Ini masuk akal.
-
Apa yang meningkatkan pelanggaran? Keberadaan tombol tekan (push buttons).
-
Tunggu, apa?
Bukankah tombol itu seharusnya membuat pejalan kaki lebih aman? Mengapa itu malah meningkatkan pelanggaran? Abstrak tidak menjelaskan "mengapa", tapi saya bisa berspekulasi: mungkin tombol itu memberikan ilusi kontrol, tetapi waktu tunggunya terlalu lama. Seorang pejalan kaki menekan tombol, tidak terjadi apa-apa, mereka merasa diabaikan, frustrasi, dan kemudian menyeberang saat merah.
Ini adalah cermin sempurna dari studi "Hukum Statistik" dan studi "E-bike di Trotoar". Ini semua tentang persepsi kontrol vs. realitas fisik. Infrastruktur kita menjanjikan sesuatu ("tekan ini dan kamu akan aman") tetapi gagal memenuhinya dengan cukup cepat, mendorong perilaku tidak aman.
Kritik Halus Saya: Apakah Kita Hanya Menghitung Mobil?
Meskipun temuan ini hebat, ada bias yang mengakar dalam banyak penelitian ini. Sebuah paper di halaman 14 meninjau "traffic conflict indicators" (TCI)—alat yang digunakan para peneliti untuk mengukur "nyaris celaka" secara objektif.
Masalahnya: Ulasan tersebut menemukan bahwa banyak indikator yang umum digunakan ini "agak 'berorientasi mobil'" (car-oriented). Mereka pandai mengukur waktu-ke-tabrakan antara dua mobil, tetapi memiliki "kelemahan signifikan" saat menilai konflik dengan pengguna jalan non-motor (pejalan kaki dan pesepeda).
Ini adalah opini pribadi saya: Ini adalah masalah besar. Jika alat ukur kita sendiri bias terhadap mobil, maka solusi yang kita usulkan juga akan bias terhadap mobil. Kita bisa secara tidak sengaja merancang infrastruktur yang terlihat "aman" dalam metrik TCI kita, tetapi sebenarnya mengabaikan bahaya nyata bagi pejalan kaki dan pesepeda. Kita perlu mengembangkan alat baru.
Masa Depan Keselamatan: Dari Debat Kusir Menjadi Analisis Data
Jadi, mari kita rangkum:
-
Data kecelakaan kita yang ada saat ini bias dan tidak lengkap.
-
Otak kita tidak bisa diandalkan untuk menilai risiko secara akurat.
-
Intuisi "akal sehat" kita tentang desain infrastruktur seringkali salah.
Ini terdengar menyedihkan. Tapi solusinya ada di bagian akhir buku abstrak ini. Solusinya: Berhenti berdebat dan mulai mengukur segalanya.
Di sinilah "Big Data" masuk. Filosofi ICTCT tentang "indikator bahaya" akhirnya menjadi mungkin dalam skala besar berkat teknologi baru.
Membaca "Sentakan" dan "Konflik" dari dalam Matrix
Alih-alih menunggu tabrakan, para peneliti ini sekarang mengumpulkan data proxy (pengganti) untuk bahaya secara proaktif.
-
Metode 1: "Sentakan" (Jerks). Satu studi menggunakan Floating Car Data (FCD)—pada dasarnya, data GPS anonim dari 425 mobil—untuk mencari "sentakan". "Sentakan" adalah istilah fisika untuk turunan dari deselerasi, alias pengereman yang sangat mendadak. Hipotesisnya adalah bahwa "sentakan" ini adalah proxy untuk konflik serius atau nyaris celaka. Mereka mengumpulkan 19,1 MILIAR titik data akselerasi. Ini adalah teknik studi konflik skala area.
-
Metode 2: Mata di Langit. Studi lain menggunakan computer vision (penglihatan komputer) untuk "pengawasan lalu lintas otomatis" di persimpangan. Sistem ini secara otomatis mengekstrak lintasan pengguna jalan (mobil, sepeda, pejalan kaki) dan dapat mengidentifikasi konflik, pengereman keras, dan akhirnya, lokasi berbahaya sebelum kecelakaan terjadi.
-
Metode 3: Mendengar Jalan. Peneliti lain menggunakan data dari inductive loops (sensor yang sudah tertanam di aspal untuk lampu lalu lintas) untuk menemukan korelasi antara arus lalu lintas makroskopik (kepadatan, kecepatan rata-rata) dan situasi kritis mikroskopik (seperti Time-to-Collision yang rendah).
🚀 Apa yang Saya Pelajari (dan Bisa Anda Terapkan Hari Ini)
Ini adalah rangkuman dari apa yang saya saring dari 72 halaman penelitian ini, dan apa artinya bagi kita:
-
🚀 Inovasinya: Kita tidak lagi perlu menebak-nebak. Dengan alat seperti analisis "sentakan" FCD dan computer vision , kita dapat mengidentifikasi lokasi berbahaya secara proaktif. Kita bisa memvalidasi solusi desain (seperti jalur bus baru) dalam beberapa minggu, tanpa harus menunggu 3-5 tahun untuk data kecelakaan terkumpul.
-
🧠Wawasannya: Jangan pernah percaya pada "akal sehat" dalam desain jalan. Percayalah pada data. Intuisi kita salah. Otak kita hardwired untuk meremehkan kecepatan tinggi. Intuisi desain kita (jalur bus sempit , tombol tekan pejalan kaki ) seringkali memperburuk keadaan.
-
💡 Pelajarannya: Intervensi pasif (fisik) mengalahkan intervensi aktif (edukasi/tanda).
-
Bukti: Sebuah studi menguji apa yang terjadi ketika mereka memasang raised pedestrian crossings (zebra cross yang ditinggikan, alias "polisi tidur" yang landai) di jalan arteri perkotaan yang sibuk.
-
Hasilnya: "Penurunan signifikan" pada kecepatan kendaraan, "peningkatan" dalam pengemudi yang memberi jalan kepada pejalan kaki, dan "pengurangan" konflik kendaraan-pejalan kaki.
-
Kesimpulan: Kita tidak meminta pengemudi untuk melambat (seperti yang dilakukan tanda); kita membuat mereka melambat dengan gundukan fisik. Kita mendesain untuk "otak yang rusak". Inilah solusinya.
-
Mengubah Cara Saya Melihat Jalan Pulang
Membaca semua penelitian ini mengubah sesuatu dalam diri saya. Saya tidak lagi melihat jalan raya sebagai ruang netral. Saya melihatnya sebagai sistem yang dirancang (seringkali dengan buruk) yang bertentangan langsung dengan perangkat keras kognitif kita.
Saya jadi teringat pada studi tentang anak-anak dan lansia di Wina —bahwa sistem ini "sebagian besar mengabaikan" mereka. Mungkin sudah waktunya kita berhenti merancang jalan untuk "orang dewasa yang sehat" (dan mobil mereka) dan mulai merancang untuk semua orang.
Ini hanyalah puncak gunung es dari apa yang ada di buku abstrak ini. Jika Anda seorang geek data, perencana kota, atau hanya seseorang yang peduli tentang bagaimana kita bisa berhenti saling membunuh dengan mesin seberat dua ton, Anda harus melihatnya sendiri.
(https://doi.org/10.1000/123-456) (Catatan: Ini adalah tautan DOI placeholder untuk buku abstrak lokakarya).
Kunci untuk semua ini adalah kemauan untuk melihat data—bukan hanya data kecelakaan yang jelas, tetapi data big data yang berantakan: "sentakan" , "konflik" , dan "lintasan". Jika Anda tertarik untuk belajar bagaimana mengubah data mentah semacam ini menjadi wawasan yang dapat ditindaklanjuti, ini adalah keterampilan yang sangat dibutuhkan di masa depan. Untuk memulai, Anda bisa melihat kursus seperti(https://diklatkerja.com/course/big-data-analytics-data-visualization-and-data-science/) di Diklatkerja untuk membangun fondasi dalam menganalisis kumpulan data besar yang kompleks seperti yang digunakan para peneliti ini.