Model Negosiasi Nash Asimetris untuk Alokasi Adil Sumber Daya Air Lintas Batas di Sungai Lancang–Mekong

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah

19 Juni 2025, 11.04

pixabay.com

Krisis Air Lintas Negara dan Pentingnya Model Alokasi yang Adil

Isu alokasi air lintas negara kini menjadi salah satu tantangan paling krusial di era perubahan iklim dan pertumbuhan ekonomi Asia Tenggara. Sungai Lancang–Mekong, yang mengalir dari Tiongkok hingga Vietnam, menjadi sumber kehidupan bagi ratusan juta penduduk di enam negara. Namun, perbedaan kepentingan, tingkat pembangunan, dan kekuatan politik sering memicu konflik dan ketidakpuasan dalam pembagian air. Paper karya Fang Li dkk. (2020) menawarkan pendekatan baru melalui model negosiasi Nash asimetris berbasis kepuasan, yang bertujuan menciptakan skema alokasi air yang lebih adil, stabil, dan dapat diterima oleh semua negara di kawasan ini1.

Artikel ini sangat relevan dengan tren global, di mana kebutuhan akan tata kelola air lintas negara yang adil semakin mendesak. Dengan menggabungkan teori negosiasi, hukum internasional, dan studi kasus nyata di Sungai Lancang–Mekong, paper ini memberikan kontribusi penting bagi diskursus kebijakan air, baik di tingkat regional maupun internasional.

Latar Belakang: Kompleksitas Alokasi Air Lintas Batas

Fakta dan Angka Kunci

  • Trans-boundary rivers: Terdapat 286 sungai lintas negara di dunia, melibatkan 151 negara dan 42% populasi global. Sungai-sungai ini menyumbang 54% aliran air tawar dunia.
  • Potensi konflik: Lebih dari 150 sungai lintas negara berisiko memicu sengketa internasional akibat alokasi air yang tidak adil.
  • Lancang–Mekong: Sungai sepanjang 4.880 km ini melintasi Tiongkok, Myanmar, Laos, Thailand, Kamboja, dan Vietnam, dengan debit rata-rata 10.560 m³/detik dan total runoff tahunan 475 miliar m³1.

Tantangan Utama

  • Perbedaan kepentingan: Tiongkok fokus pada pembangkit listrik tenaga air, Laos pada pengembangan hidro dan pertanian, Thailand pada irigasi, Kamboja pada perikanan, dan Vietnam pada pertanian intensif.
  • Variabilitas iklim: Distribusi curah hujan dan aliran sungai sangat tidak merata, memperparah ketidaksesuaian antara pasokan dan permintaan air.
  • Kesenjangan kekuatan: Negara hulu (Tiongkok) memiliki posisi tawar lebih kuat dibanding negara hilir (Vietnam, Kamboja).

Kerangka Teoritis: Model Nash Asimetris dan Perspektif Kepuasan

Mengapa Nash Asimetris?

Model Nash asimetris dipilih karena mampu merepresentasikan realitas negosiasi antarnegara yang tidak setara dalam kekuatan ekonomi, politik, dan geografis. Model ini mengakomodasi:

  • Preferensi dan kepentingan berbeda: Setiap negara dapat mengajukan skema alokasi ideal sesuai kebutuhan dan kekuatan masing-masing.
  • Kepuasan sebagai parameter utama: Alokasi optimal dicapai jika tingkat kepuasan kolektif tertinggi, bukan sekadar pembagian kuantitatif.
  • Fleksibilitas bobot: Bobot faktor-faktor seperti permintaan, endowmen sumber daya, dan efisiensi air dapat dinegosiasikan secara dinamis.

Indikator dan Data Kunci

Model ini menggunakan 11 indikator utama, meliputi konsumsi air, permintaan listrik, pertumbuhan penduduk, tutupan hutan, kontribusi runoff, luas DAS, panjang sungai, populasi, air per kapita, produktivitas air, dan PDB per kapita. Data diambil dari berbagai sumber internasional dan nasional, termasuk TFDD, TWAP, dan World Bank1.

Studi Kasus: Alokasi Air di Sungai Lancang–Mekong

Profil Negara-Negara DAS

  • Tiongkok: Negara hulu, fokus pada PLTA, kontribusi runoff 2.410 m³/s, konsumsi air 19,56 miliar m³, produktivitas air tertinggi (14,9 USD/m³).
  • Laos: Negara tengah, fokus hidro dan pertanian, konsumsi air 1,26 miliar m³, tutupan hutan tertinggi (81,3%).
  • Myanmar: Wilayah kecil di DAS, konsumsi air 30,85 miliar m³, populasi 448 ribu.
  • Thailand: Fokus irigasi, konsumsi air 103,81 miliar m³, populasi 24,8 juta.
  • Kamboja: Fokus perikanan dan pertanian, konsumsi air 28,89 miliar m³.
  • Vietnam: Negara hilir, konsumsi air 272,63 miliar m³, populasi 6,9 juta, air per kapita 4.178 m³1.

Proses Negosiasi dan Simulasi Model

  1. Penentuan Skema Ideal: Setiap negara mengajukan alokasi air ideal berdasarkan preferensi (permintaan, endowmen, efisiensi).
  2. Negosiasi Nash Asimetris: Model memperhitungkan kekuatan asimetris (ekonomi, militer, politik, posisi geografis) untuk menentukan bobot negosiasi.
  3. Optimasi Kepuasan: Skema akhir dipilih berdasarkan tingkat kepuasan kolektif tertinggi, dengan rata-rata di atas 87,19% di semua skenario.
  4. Studi Empiris: Model diuji pada empat skenario preferensi (umum, permintaan, endowmen, efisiensi), menghasilkan variasi alokasi dan kepuasan.

Hasil Utama

  • Tiongkok dan Thailand: Konsisten memperoleh porsi alokasi air lebih tinggi di semua skenario, misal Tiongkok 27,64% (skenario efisiensi), Thailand 21,23% (skenario endowmen).
  • Myanmar: Selalu memperoleh porsi terendah, sekitar 5–7%, sesuai kontribusi dan kebutuhan rendah.
  • Kepuasan kolektif: Skenario berbasis endowmen sumber daya menghasilkan kepuasan tertinggi (90,73%) dan stabilitas optimal.
  • Stabilitas: Skema optimal memiliki indeks stabilitas terendah (CPBSI 0,0091), menandakan potensi diterima semua negara1.

Analisis Kritis: Kelebihan, Keterbatasan, dan Implikasi Kebijakan

Kelebihan Model

  • Kontekstual dan adaptif: Model mengakomodasi perbedaan nyata antarnegara, baik dari sisi kebutuhan, kekuatan, maupun efisiensi.
  • Berbasis hukum internasional: Mengacu pada Helsinki Rules dan UN Watercourses Convention, sehingga relevan secara legal dan politis.
  • Fokus pada kepuasan: Tidak sekadar membagi air, tapi mengoptimalkan penerimaan dan stabilitas politik antarnegara.
  • Dukungan data empiris: Studi kasus Lancang–Mekong memperkuat validitas model dengan data nyata dan simulasi multi-skenario.

Keterbatasan

  • Keterbatasan data: Ketersediaan data aktual dan transparansi antarnegara masih menjadi tantangan utama.
  • Tidak mempertimbangkan aliansi: Model mengasumsikan negosiasi individual, padahal dalam praktik bisa terjadi koalisi antarnegara.
  • Belum mengakomodasi dinamika jangka panjang: Perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, dan pembangunan infrastruktur baru dapat mengubah parameter secara signifikan.

Perbandingan dengan Studi Lain

  • Model game theory lain: Studi sebelumnya banyak menggunakan model Nash simetris atau bargaining tradisional, yang kurang mengakomodasi asimetri kekuatan nyata23.
  • Pendekatan benefit-sharing: Beberapa penelitian menekankan pembagian manfaat ekonomi, bukan hanya air, namun model Nash asimetris lebih fleksibel dalam mengakomodasi multi-kriteria dan preferensi4.
  • Socio-hydrological modeling: Studi terbaru menyoroti pentingnya dinamika sosial-politik dan feedback kebijakan dalam membangun kerjasama lintas negara, sejalan dengan semangat model Nash asimetris5.

Implikasi Praktis dan Rekomendasi Kebijakan

1. Tata Kelola Air Lintas Negara yang Inklusif

  • Transparansi data: Negara-negara perlu membangun mekanisme pertukaran data hidrologi dan ekonomi secara terbuka.
  • Negosiasi berbasis kepuasan: Fokus pada pencapaian tingkat kepuasan kolektif, bukan sekadar pembagian kuantitatif.
  • Penguatan institusi regional: Peran Mekong River Commission dan forum serupa perlu diperkuat untuk memfasilitasi negosiasi dan monitoring.

2. Penyesuaian Alokasi Dinamis

  • Skenario adaptif: Alokasi air harus dievaluasi secara berkala sesuai perubahan iklim, pertumbuhan ekonomi, dan pembangunan infrastruktur.
  • Fleksibilitas bobot: Negara dapat menyesuaikan bobot preferensi (permintaan, endowmen, efisiensi) sesuai kebutuhan dan dinamika baru.

3. Inovasi Model Negosiasi

  • Integrasi benefit-sharing: Selain air, negosiasi dapat mencakup pembagian manfaat ekonomi, energi, dan ekosistem.
  • Penggunaan teknologi digital: Model digital dan simulasi dapat membantu visualisasi skenario dan mempercepat proses negosiasi.

4. Penguatan Partisipasi Publik dan Stakeholder

  • Edukasi dan pelibatan masyarakat: Keputusan alokasi air harus melibatkan komunitas lokal, LSM, dan sektor swasta untuk meningkatkan legitimasi dan keberlanjutan.

Studi Banding: Praktik Global dan Relevansi Industri

  • Tigris–Euphrates: Model dua tahap negosiasi Nash dan bankruptcy theory juga diterapkan di sungai ini, menghasilkan alokasi yang lebih stabil dan diterima semua pihak2.
  • Mekong–Ganges: Pendekatan benefit-sharing dan socio-hydrological modeling mulai diadopsi untuk mengatasi konflik dan meningkatkan kerjasama lintas negara54.
  • Tren industri: Sektor energi, pertanian, dan perikanan sangat bergantung pada kejelasan alokasi air, sehingga model negosiasi yang adil menjadi kunci investasi berkelanjutan.

Menuju Alokasi Air Lintas Negara yang Adil dan Berkelanjutan

Paper Fang Li dkk. (2020) menegaskan bahwa alokasi air lintas negara yang adil hanya dapat dicapai melalui negosiasi berbasis kepuasan, yang mengakomodasi perbedaan kekuatan, kebutuhan, dan efisiensi antarnegara. Model Nash asimetris yang diusulkan terbukti mampu meningkatkan stabilitas, kepuasan, dan potensi diterimanya skema alokasi air di Sungai Lancang–Mekong. Dengan mengadopsi prinsip-prinsip ini, negara-negara di DAS Lancang–Mekong dan kawasan lain dapat memperkuat ketahanan air, mengurangi risiko konflik, dan mendorong pembangunan berkelanjutan.

Rekomendasi utama:

  • Bangun mekanisme negosiasi berbasis kepuasan dan data terbuka.
  • Evaluasi alokasi air secara dinamis dan adaptif.
  • Perkuat institusi regional dan partisipasi multi-stakeholder.
  • Integrasikan benefit-sharing dan inovasi teknologi dalam proses negosiasi.

Sumber Artikel 

Fang Li, Feng-ping Wu, Liu-xin Chen, Yue Zhao, Xiang-nan Chen, Zhi-ying Shao. Fair and Reasonable Allocation of Trans-Boundary Water Resources Based on an Asymmetric Nash Negotiation Model from the Satisfaction Perspective: A Case Study for the Lancang–Mekong River Bain. International Journal of Environmental Research and Public Health, 2020, 17(20): 7638.