Merancang Strategi Data di Era Digital: Antara Keamanan dan Inovasi

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat

30 Oktober 2025, 18.43

Dalam lanskap bisnis modern, data telah menjadi bahan bakar utama ekonomi digital. Setiap interaksi pelanggan, transaksi finansial, maupun proses operasional kini menghasilkan jejak data yang jika dikelola dengan tepat, mampu menjadi sumber nilai strategis yang luar biasa. Namun, meski volume data meningkat secara eksponensial, hanya sebagian kecil organisasi yang benar-benar berhasil mentransformasikan data menjadi keunggulan kompetitif.

Menurut riset yang dikutip oleh Harvard Business Review, rata-rata perusahaan hanya menggunakan kurang dari setengah data terstruktur yang mereka miliki untuk mendukung pengambilan keputusan, sementara lebih dari 99% data tidak terstruktur—seperti teks, audio, dan video—tidak pernah dianalisis. Kondisi ini mencerminkan apa yang disebut oleh Thomas H. Davenport dan Leandro DalleMule sebagai “the data paradox”—yakni situasi di mana organisasi memiliki kelimpahan data, tetapi kekurangan strategi yang jelas untuk memanfaatkannya.

Masalah ini tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga strategis dan kultural. Banyak perusahaan menganggap bahwa dengan membangun data warehouse atau mempekerjakan Chief Data Officer (CDO), tantangan data otomatis terpecahkan. Padahal, tanpa arah strategis yang menyatukan seluruh dimensi manajemen data—mulai dari tata kelola, keamanan, kualitas, hingga pemanfaatan bisnis—upaya digitalisasi tersebut cenderung menjadi proyek parsial yang tidak berkelanjutan.

Dalam artikelnya, DalleMule dan Davenport (HBR, 2017) menegaskan bahwa strategi data yang efektif bukan tentang teknologi yang paling mutakhir, melainkan tentang keseimbangan antara kontrol dan inovasi. Organisasi perlu mengatur bagaimana data digunakan untuk mendukung efisiensi sekaligus membuka ruang eksplorasi untuk penciptaan nilai baru.

Mereka memperkenalkan konsep data strategy sebagai sebuah kerangka kerja manajerial yang menghubungkan visi bisnis dengan kemampuan analitik dan tata kelola data. Melalui kerangka ini, perusahaan tidak hanya memastikan keamanan dan akurasi data (data defense), tetapi juga memaksimalkan potensi inovatifnya untuk mendukung pengambilan keputusan, personalisasi pelanggan, dan pengembangan produk (data offense).

Konsep ini relevan bukan hanya bagi perusahaan multinasional, tetapi juga bagi lembaga publik, institusi pendidikan, dan organisasi sosial yang kini beroperasi dalam lingkungan digital yang kompleks. Kebutuhan untuk mengintegrasikan data lintas sistem dan fungsi organisasi semakin mendesak seiring meningkatnya tekanan transparansi, efisiensi, dan akuntabilitas di sektor publik maupun swasta.

Dengan demikian, memahami dan merancang strategi data yang seimbang antara keamanan dan inovasi bukan lagi pilihan tambahan, tetapi syarat utama untuk bertahan dan unggul di era ekonomi berbasis pengetahuan ini. Sebagaimana dikatakan Davenport, “data strategy is business strategy”—artinya, kualitas keputusan organisasi akan selalu sejalan dengan kualitas strategi datanya.

 

Mengapa Strategi Data Menjadi Isu Sentral Bisnis Modern

Transformasi digital yang berlangsung dalam dua dekade terakhir telah mengubah secara fundamental cara organisasi beroperasi dan menciptakan nilai. Jika dahulu data hanya dianggap sebagai hasil sampingan dari aktivitas bisnis, kini ia menjadi inti dari proses pengambilan keputusan, inovasi, dan hubungan pelanggan. Perusahaan modern yang mampu mengelola data secara efektif bukan hanya lebih efisien, tetapi juga lebih tanggap terhadap perubahan pasar dan lebih mampu mengantisipasi risiko.

Namun, kemajuan teknologi ini membawa paradoks tersendiri. Di satu sisi, organisasi memiliki lebih banyak data daripada sebelumnya; di sisi lain, kompleksitas pengelolaan, risiko kebocoran, dan tantangan integrasi antar-silo data meningkat secara drastis. Tanpa strategi yang jelas, upaya digitalisasi justru dapat menghasilkan tumpukan informasi yang terfragmentasi, sulit diakses, dan bahkan menimbulkan bias dalam pengambilan keputusan.

Strategi data menjadi penting karena ia berfungsi sebagai peta jalan yang menyatukan tujuan bisnis dengan kebijakan teknis dan organisasi. 

Ia menjawab tiga pertanyaan mendasar:

  1. Data apa yang paling penting untuk menciptakan nilai bisnis?

  2. Bagaimana data dikumpulkan, diamankan, dan diatur agar tetap andal dan konsisten?

  3. Siapa yang bertanggung jawab mengubah data menjadi keputusan dan inovasi?

Dalam konteks ekonomi digital, kemampuan menjawab tiga pertanyaan ini menentukan apakah perusahaan dapat bersaing dalam pasar yang sangat dinamis. Data kini menjadi sumber keunggulan kompetitif berbasis pengetahuan (knowledge-based advantage) — menggantikan peran tradisional modal fisik dan tenaga kerja sebagai faktor utama produktivitas.

Lebih jauh lagi, strategi data kini bersinggungan langsung dengan tata kelola perusahaan (corporate governance).
Keputusan mengenai privasi pelanggan, keamanan data, dan etika penggunaan AI menuntut organisasi memiliki kerangka kerja yang tidak hanya efisien, tetapi juga bertanggung jawab. Hal ini menjadikan Chief Data Officer (CDO) bukan sekadar posisi teknis, melainkan peran strategis yang menjembatani dimensi teknologi, bisnis, dan kepatuhan hukum.

Sebagai contoh, perusahaan seperti Microsoft dan Amazon telah membangun sistem manajemen data yang tidak hanya berfokus pada pemrosesan data besar (big data processing), tetapi juga memastikan transparansi, keterlacakan, dan perlindungan nilai etika dalam penggunaan AI dan analitik prediktif. Sementara itu, lembaga publik di negara maju mulai menerapkan kebijakan data governance frameworks untuk memastikan interoperabilitas antarinstansi dan meningkatkan efisiensi layanan publik.

Di Indonesia, kebutuhan terhadap strategi data yang komprehensif semakin mendesak. Pemerintah dan sektor swasta sama-sama mengakui bahwa transformasi digital hanya akan efektif bila didukung oleh tata kelola data yang kuat dan terintegrasi. Inisiatif seperti Satu Data Indonesia merupakan langkah awal menuju sistem pengelolaan data nasional yang lebih efisien dan akuntabel, meskipun masih menghadapi tantangan dalam integrasi lintas lembaga dan konsistensi kualitas data.

Singkatnya, strategi data bukan hanya masalah teknologi, tetapi fondasi bagi pengambilan keputusan yang cerdas, akuntabel, dan berorientasi masa depan. Ia memastikan bahwa data tidak berhenti sebagai aset pasif, melainkan menjadi alat transformasi organisasi yang mampu mendorong inovasi, kepercayaan, dan daya saing berkelanjutan.

 

Arsitektur Data Modern: SSOT dan MVOTs

Untuk menerapkan keseimbangan antara data defense dan data offense secara nyata, organisasi memerlukan arsitektur data yang terstruktur namun tetap adaptif. Dalam kerangka DalleMule dan Davenport (Harvard Business Review), keseimbangan tersebut dapat dicapai melalui dua konsep utama: Single Source of Truth (SSOT) dan Multiple Versions of the Truth (MVOTs).
Keduanya membentuk sistem manajemen data yang memastikan kontrol dan fleksibilitas dapat berjalan berdampingan.

1. Single Source of Truth (SSOT): Fondasi Keandalan Data

Konsep Single Source of Truth (SSOT) mengacu pada keberadaan satu sumber data yang diakui, valid, dan digunakan secara konsisten oleh seluruh bagian organisasi. Dengan SSOT, setiap divisi mengacu pada set data yang sama untuk pelaporan, analisis, dan pengambilan keputusan, hal ini mengurangi duplikasi, kesalahan, dan konflik informasi.

SSOT menjadi elemen kunci dalam data defense karena memastikan integritas dan keakuratan data. Misalnya, perusahaan keuangan yang mengintegrasikan seluruh catatan transaksi ke dalam satu platform SSOT dapat menghindari perbedaan antara laporan risiko dan laporan audit internal. Dalam konteks pemerintahan, inisiatif seperti Satu Data Indonesia adalah bentuk nyata dari penerapan SSOT yang menciptakan basis data terpadu agar kebijakan publik lebih sinkron dan efisien.

Namun, implementasi SSOT bukan sekadar proyek teknologi. Ia memerlukan tata kelola lintas fungsi, standarisasi metadata, dan komitmen dari seluruh unit organisasi untuk menggunakan sumber data yang sama. Tanpa budaya berbagi data dan disiplin organisasi yang kuat, SSOT hanya akan menjadi repositori pasif tanpa nilai strategis.

2. Multiple Versions of the Truth (MVOTs): Fleksibilitas untuk Inovasi

Di sisi lain, DalleMule dan Davenport memperkenalkan konsep Multiple Versions of the Truth (MVOTs) sebagai pelengkap SSOT.
MVOTs memungkinkan setiap unit bisnis memiliki versi data turunan yang disesuaikan dengan kebutuhan spesifik mereka misalnya untuk analisis pemasaran, pengembangan produk, atau manajemen risiko.

Konsep ini mendorong data offense: inovasi dan eksplorasi berbasis data tanpa mengorbankan kontrol inti.
Dengan MVOTs, tim dapat menciptakan model analitik yang lebih dinamis, melakukan eksperimen, dan merespons perubahan pasar secara cepat, tanpa harus mengubah struktur data induk di SSOT.

Sebagai contoh, perusahaan ritel global seperti Walmart menggunakan SSOT untuk memastikan data inventaris tetap konsisten di seluruh jaringan, tetapi setiap departemen—seperti logistik, pemasaran, dan layanan pelanggan—memiliki MVOTs yang memungkinkan analisis dan keputusan spesifik berdasarkan data yang sama. Pendekatan ini memungkinkan organisasi besar tetap terkoordinasi namun gesit, menjaga stabilitas sekaligus memfasilitasi inovasi.

3. Menyatukan Dua Dunia: Kontrol dan Eksperimen

Kekuatan arsitektur SSOT–MVOTs terletak pada keseimbangan antara kendali terpusat dan kebebasan desentralisasi.
SSOT memastikan kebenaran data yang objektif, sedangkan MVOTs memberi ruang bagi interpretasi dan inovasi lokal.
Dengan struktur ini, organisasi dapat mencegah munculnya “silo data” sekaligus mendorong kreativitas dalam penggunaan informasi.

Dalam praktiknya, keberhasilan model ini bergantung pada tiga faktor utama:

  1. Integrasi sistem: data harus dapat mengalir mulus dari sumber inti ke versi turunan tanpa kehilangan kualitas.

  2. Standarisasi kebijakan: setiap unit yang membuat MVOTs wajib mengikuti pedoman dan metadata yang disetujui secara korporat.

  3. Kapasitas analitik SDM: karyawan perlu memiliki kemampuan untuk memahami, menafsirkan, dan menggunakan data secara mandiri namun bertanggung jawab.

Dengan kata lain, SSOT–MVOTs bukan hanya desain arsitektur teknologi, tetapi juga kerangka tata kelola data yang menghubungkan manusia, sistem, dan keputusan.

4. Implikasi bagi Organisasi di Indonesia

Bagi perusahaan dan lembaga publik di Indonesia, pendekatan SSOT–MVOTs sangat relevan dalam konteks transformasi digital nasional. Sebagian besar organisasi masih berjuang dengan masalah duplikasi data, sistem terpisah antarunit, dan lemahnya kepercayaan antarinstansi. Menerapkan arsitektur terpadu semacam ini dapat membantu menciptakan lingkungan kolaboratif berbasis data, yang mempercepat inovasi sekaligus meningkatkan akuntabilitas.

Lebih jauh lagi, penerapan prinsip SSOT–MVOTs sejalan dengan upaya nasional seperti Satu Data Indonesia, Digital Government Architecture (DGA), dan smart manufacturing initiatives di sektor industri 4.0. Jika diterapkan secara konsisten, arsitektur data ini dapat menjadi pondasi strategis untuk efisiensi birokrasi, kecepatan keputusan bisnis, dan keunggulan kompetitif jangka panjang.

Secara keseluruhan, SSOT dan MVOTs menunjukkan bahwa strategi data bukan sekadar bagaimana data disimpan, melainkan bagaimana organisasi membangun kepercayaan dan nilai dari data. Dengan desain yang tepat, data bukan hanya menjadi catatan masa lalu, tetapi panduan masa depan bagi organisasi yang ingin tumbuh di tengah dunia yang berbasis informasi.

 

Kepemimpinan dan Tata Kelola Data di Era AI

Memasuki era kecerdasan buatan (AI) dan otomasi cerdas, data tidak lagi hanya menjadi aset strategis ia adalah fondasi utama kecerdasan organisasi.  Setiap algoritma, model prediktif, atau sistem rekomendasi yang digunakan perusahaan modern bergantung pada kualitas, kelengkapan, dan integritas data yang dimiliki. Oleh karena itu, keberhasilan adopsi AI tidak dapat dilepaskan dari tata kelola data (data governance) yang kuat dan kepemimpinan yang visioner.

1. Kepemimpinan Data: Dari CDO ke Kepemimpinan Kolektif

Peran Chief Data Officer (CDO) menjadi simbol munculnya kesadaran baru bahwa data membutuhkan struktur pengelolaan setara dengan fungsi keuangan, SDM, atau operasi. Namun, DalleMule dan Davenport menegaskan bahwa kepemimpinan data tidak boleh hanya bertumpu pada satu jabatan. Setiap eksekutif—baik CEO, CFO, CTO, maupun kepala divisi harus berperan sebagai data leader di bidangnya.

Kepemimpinan data bersifat kolaboratif dan lintas fungsi. CDO bertindak sebagai arsitek tata kelola, tetapi implementasi strategi memerlukan sinergi antara unit bisnis, TI, hukum, dan SDM. Pendekatan ini memastikan bahwa keputusan berbasis data benar-benar mencerminkan konteks bisnis, etika, dan kepentingan strategis organisasi.

Dalam praktik terbaik global, perusahaan seperti Microsoft, Unilever, dan DBS Bank mengadopsi model federated data leadership struktur kepemimpinan terdesentralisasi yang memungkinkan setiap unit mengelola data sesuai kebutuhan, namun tetap dalam koridor tata kelola korporat. Model ini mempercepat inovasi sekaligus menjaga konsistensi dan keamanan data di seluruh organisasi.

2. Tata Kelola Data di Era Kecerdasan Buatan

Transformasi digital berbasis AI membawa tantangan baru dalam tata kelola data: bagaimana menjaga akurasi, keadilan, dan etika algoritmik. Model AI yang dilatih menggunakan data bias berpotensi menghasilkan keputusan yang diskriminatif, menyesatkan, atau bahkan merugikan publik. Untuk itu, tata kelola data modern harus memperluas cakupannya dari sekadar keamanan menjadi akuntabilitas algoritmik (algorithmic accountability).

Komponen penting dari tata kelola data di era AI meliputi:

  • Transparansi data: memastikan sumber dan proses pengolahan data dapat diaudit.

  • Keadilan algoritma: meminimalkan bias ras, gender, atau sosial dalam pengambilan keputusan otomatis.

  • Keamanan dan privasi yang dinamis: menyesuaikan kebijakan keamanan dengan evolusi teknologi dan risiko baru.

  • Etika penggunaan data: menetapkan batasan yang jelas tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dengan data pelanggan atau publik.

OECD (2024) menekankan bahwa tata kelola data yang baik di era AI harus berbasis pada prinsip trust, transparency, dan human-centricity yakni, membangun kepercayaan dengan tetap menempatkan manusia sebagai pusat dari setiap keputusan berbasis teknologi.

3. Relevansi bagi Indonesia: Dari Kepatuhan ke Inovasi

Bagi Indonesia, penguatan tata kelola data menjadi bagian penting dari transformasi digital nasional. Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) yang disahkan pada 2022 adalah langkah awal penting dalam membangun kerangka hukum yang mendukung kepercayaan digital. Namun, agar kebijakan ini menghasilkan nilai ekonomi, organisasi perlu melangkah lebih jauh  dari sekadar compliance menjadi pengelolaan data strategis untuk inovasi.

Lembaga publik, universitas, dan perusahaan swasta perlu membangun ekosistem data yang memungkinkan kolaborasi lintas sektor tanpa mengorbankan privasi. Inisiatif seperti Satu Data Indonesia, Open Government Data, dan AI Ethics Framework dapat menjadi platform bersama untuk memastikan bahwa data digunakan secara bertanggung jawab namun tetap produktif.

Selain itu, pengembangan kapasitas sumber daya manusia di bidang analitik, manajemen data, dan etika digital harus menjadi prioritas. Indonesia membutuhkan lebih banyak data translators profesional yang mampu menjembatani antara teknologi, bisnis, dan kebijakan publik. Mereka inilah yang akan memastikan bahwa strategi data tidak berhenti di tingkat kebijakan, tetapi benar-benar mengubah cara organisasi berpikir dan bertindak.

4. Menuju Ekonomi Berbasis Data yang Tangguh dan Etis

Kepemimpinan dan tata kelola data yang baik bukan hanya tentang efisiensi, melainkan tentang membangun kepercayaan dan ketahanan jangka panjang. Organisasi yang mampu mengelola data secara bertanggung jawab akan lebih siap menghadapi risiko reputasi, regulasi, dan teknologi yang berubah cepat. Lebih jauh lagi, mereka juga akan menjadi pelopor dalam ekonomi baru—ekonomi di mana nilai tidak lagi ditentukan oleh aset fisik, melainkan oleh kapasitas untuk menafsirkan dan memanfaatkan informasi secara cerdas.

Dengan demikian, strategi data di era AI bukan hanya alat untuk mencapai keunggulan kompetitif, tetapi kompas moral dan strategis bagi organisasi modern.
Keseimbangan antara data defense dan data offense, antara inovasi dan etika, adalah kunci agar transformasi digital berjalan tidak hanya cepat, tetapi juga adil dan berkelanjutan.

 

DalleMule dan Davenport mengingatkan bahwa organisasi yang ingin bertahan di era digital harus memperlakukan data bukan sekadar sebagai aset, melainkan sebagai sistem kehidupan organisasi. Keamanan, tata kelola, dan inovasi tidak bisa dipisahkan; semuanya saling bergantung. Ketika strategi data dirancang dengan visi jangka panjang, kepemimpinan kolaboratif, dan nilai etika yang kuat, maka data tidak hanya menjadi alat pengambilan keputusan—tetapi juga sumber kepercayaan dan pertumbuhan berkelanjutan.

 

Refrensi:

DalleMule, L., & Davenport, T. (2017). What’s your data strategy? Harvard Business Review.