Menilai Implementasi Ekonomi Sirkular dalam Pengelolaan Sampah Perkotaan

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat

24 Desember 2025, 13.20

1. Pendahuluan: Ekonomi Sirkular dan Tantangan Nyata Pengelolaan Sampah Kota

Ekonomi sirkular kerap diposisikan sebagai jawaban normatif atas kegagalan ekonomi linear dalam mengelola sumber daya dan limbah. Dalam konteks perkotaan, pengelolaan sampah menjadi salah satu arena paling konkret untuk menguji sejauh mana prinsip ekonomi sirkular benar-benar dapat diimplementasikan, bukan hanya dideklarasikan. Kota, dengan kepadatan penduduk, kompleksitas sosial, dan keterbatasan lahan, menghadirkan tantangan sekaligus peluang bagi transformasi sistem pengelolaan sampah.

Secara konseptual, ekonomi sirkular menekankan pengurangan konsumsi material, pemanfaatan ulang, dan daur ulang sebagai satu kesatuan sistem tertutup. Namun dalam praktik pengelolaan sampah kota, pendekatan ini sering tereduksi menjadi sekadar peningkatan angka daur ulang. Padahal, keberhasilan ekonomi sirkular tidak hanya ditentukan oleh output teknis, tetapi juga oleh perubahan perilaku masyarakat, kapasitas kelembagaan pemerintah daerah, serta konsistensi kebijakan lintas level.

Di sinilah pentingnya pendekatan evaluatif yang tidak hanya melihat data kuantitatif, tetapi juga dimensi sosial. Implementasi ekonomi sirkular dalam pengelolaan sampah kota perlu dinilai melalui dua lensa utama: kinerja sistem dan penerimaan publik. Tanpa dukungan warga, skema pemilahan, pengurangan sampah, atau pengolahan organik akan berhenti sebagai proyek administratif. Sebaliknya, tanpa infrastruktur dan tata kelola yang memadai, kesadaran publik pun sulit diterjemahkan menjadi praktik nyata.

Artikel ini membahas bagaimana implementasi ekonomi sirkular dalam pengelolaan sampah perkotaan dapat dinilai secara lebih komprehensif melalui kombinasi indikator kinerja dan opini warga. Pendekatan ini membuka ruang analisis yang lebih realistis tentang jarak antara ambisi kebijakan dan kondisi lapangan.

 

2. Indikator Kinerja sebagai Alat Ukur Sirkularitas: Antara Capaian dan Keterbatasan

Penggunaan indikator kinerja merupakan langkah penting untuk mengubah konsep ekonomi sirkular yang abstrak menjadi sesuatu yang dapat diukur. Dalam pengelolaan sampah kota, indikator seperti timbulan sampah per kapita, tingkat daur ulang, pengelolaan limbah organik, dan efisiensi fasilitas pemilahan menjadi tolok ukur utama dalam menilai tingkat sirkularitas sistem.

Salah satu temuan penting dari pendekatan berbasis indikator adalah bahwa kinerja tidak selalu seragam di semua aspek. Sebuah kota dapat menunjukkan timbulan sampah yang relatif rendah dibandingkan rata-rata nasional atau regional, namun tetap tertinggal dalam hal daur ulang atau pengolahan limbah organik. Hal ini menunjukkan bahwa rendahnya produksi sampah tidak otomatis mencerminkan sistem ekonomi sirkular yang matang, karena bisa dipengaruhi oleh faktor ekonomi, demografi, atau pola konsumsi yang bersifat sementara.

Indikator juga menyingkap titik lemah struktural, terutama pada aliran sampah yang memerlukan pemilahan di sumber. Limbah makanan, limbah elektronik, dan material bernilai tinggi sering kali menjadi kontributor terbesar kegagalan sirkularitas. Ketika pengomposan tidak tersedia atau daur ulang limbah elektronik tidak berjalan efektif, sampah dengan potensi nilai ekonomi justru berakhir di tempat pembuangan akhir. Ini memperlihatkan bahwa tantangan utama bukan pada konsep ekonomi sirkular itu sendiri, melainkan pada kapasitas operasional dan konsistensi implementasi kebijakan lokal.

Namun demikian, indikator kinerja juga memiliki keterbatasan. Banyak indikator bergantung pada kualitas data yang tersedia, yang sering kali tidak mutakhir atau tidak terdisagregasi dengan baik di tingkat kota. Selain itu, indikator cenderung menangkap hasil akhir, bukan proses sosial yang melatarbelakangi capaian tersebut. Kota dengan sistem pemilahan yang lemah dapat terlihat “cukup baik” jika indikator tertentu masih berada dalam batas toleransi, meskipun secara struktural sistemnya rapuh.

Dengan demikian, indikator kinerja perlu dipahami bukan sebagai penilaian final, melainkan sebagai alat diagnosis awal. Ia membantu mengidentifikasi area prioritas perbaikan, tetapi harus dilengkapi dengan analisis sosial dan kelembagaan agar gambaran implementasi ekonomi sirkular menjadi utuh.

 

3. Perilaku dan Persepsi Warga: Faktor Penentu yang Sering Diremehkan

Keberhasilan ekonomi sirkular dalam pengelolaan sampah perkotaan tidak hanya ditentukan oleh infrastruktur dan kebijakan, tetapi sangat bergantung pada perilaku dan persepsi warga. Sistem pemilahan, pengurangan sampah, dan pengolahan organik pada dasarnya menuntut partisipasi aktif masyarakat. Tanpa keterlibatan tersebut, indikator kinerja yang dirancang sebaik apa pun akan sulit tercapai.

Persepsi warga terhadap pengelolaan sampah sering kali dipengaruhi oleh kejelasan sistem dan kepercayaan terhadap institusi. Ketika masyarakat tidak yakin bahwa sampah yang mereka pilah benar-benar diproses secara terpisah, motivasi untuk berpartisipasi cenderung menurun. Dalam konteks ini, transparansi operasional menjadi faktor kunci. Warga tidak hanya membutuhkan instruksi, tetapi juga bukti bahwa upaya mereka memiliki dampak nyata.

Selain itu, perilaku pengelolaan sampah sangat terkait dengan kenyamanan dan beban waktu. Sistem yang menuntut pemilahan kompleks tanpa dukungan fasilitas memadai akan dipersepsikan sebagai beban tambahan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini menjelaskan mengapa kesadaran lingkungan yang tinggi tidak selalu berbanding lurus dengan praktik sirkular yang konsisten. Perilaku warga dibentuk oleh interaksi antara nilai, insentif, dan desain sistem.

Section ini menegaskan bahwa ekonomi sirkular di tingkat kota adalah proyek sosial, bukan hanya teknis. Mengabaikan dimensi perilaku berarti menempatkan beban transformasi pada infrastruktur semata, padahal keberhasilannya sangat bergantung pada penerimaan dan partisipasi publik.

 

4. Kesenjangan Implementasi: Ketika Kebijakan Tidak Bertemu Praktik

Meskipun banyak kota telah mengadopsi kebijakan yang mendukung ekonomi sirkular, terdapat kesenjangan nyata antara tujuan kebijakan dan praktik di lapangan. Kesenjangan ini sering muncul karena kebijakan dirumuskan di tingkat strategis, sementara implementasinya bergantung pada kapasitas administratif dan operasional yang terbatas.

Salah satu bentuk kesenjangan paling umum adalah ketidaksinkronan antara target dan infrastruktur. Kota dapat menetapkan target pengurangan sampah atau peningkatan daur ulang yang ambisius, tetapi tidak menyediakan fasilitas pemilahan, pengolahan organik, atau sistem pengumpulan terpisah yang memadai. Akibatnya, kebijakan berubah menjadi deklarasi simbolik tanpa daya dorong struktural.

Kesenjangan lain muncul dari fragmentasi kelembagaan. Pengelolaan sampah sering melibatkan berbagai unit pemerintahan, operator swasta, dan bahkan sektor informal. Tanpa koordinasi yang jelas, tanggung jawab menjadi tumpang tindih dan akuntabilitas melemah. Dalam kondisi ini, ekonomi sirkular sulit berkembang karena tidak ada aktor yang secara konsisten mengawal transisi sistem.

Section ini menunjukkan bahwa tantangan utama implementasi ekonomi sirkular bukan terletak pada absennya visi, melainkan pada ketidakselarasan antara kebijakan, kapasitas, dan praktik sehari-hari. Menutup kesenjangan ini membutuhkan lebih dari sekadar regulasi baru; ia menuntut reformasi tata kelola dan pendekatan yang lebih partisipatif.

 

5. Tantangan Sistemik Evaluasi Ekonomi Sirkular: Data, Skala, dan Konsistensi Waktu

Menilai implementasi ekonomi sirkular dalam pengelolaan sampah perkotaan bukanlah tugas yang sederhana. Salah satu tantangan utama adalah keterbatasan data yang konsisten dan dapat dibandingkan. Banyak indikator kinerja bergantung pada data administratif yang dikumpulkan dengan metodologi berbeda antarwilayah dan antarperiode waktu. Akibatnya, evaluasi sering kali lebih mencerminkan kemampuan pelaporan daripada kondisi sistem yang sebenarnya.

Tantangan berikutnya berkaitan dengan skala analisis. Ekonomi sirkular beroperasi lintas skala—mulai dari rumah tangga, kota, hingga rantai pasok regional. Namun, sebagian besar evaluasi pengelolaan sampah berhenti di batas administratif kota. Pendekatan ini berisiko mengabaikan aliran material lintas wilayah, seperti pengiriman sampah ke daerah lain atau ketergantungan pada fasilitas pemrosesan eksternal. Dalam konteks ini, kinerja sirkular sebuah kota dapat tampak baik secara lokal, tetapi problematis secara sistemik.

Selain itu, terdapat tantangan konsistensi waktu. Implementasi ekonomi sirkular adalah proses jangka panjang, sementara banyak evaluasi dilakukan dalam horizon waktu pendek. Perubahan perilaku warga, pembentukan pasar material sekunder, dan peningkatan kapasitas kelembagaan membutuhkan waktu untuk matang. Evaluasi yang terlalu dini berisiko menilai kegagalan yang sebenarnya merupakan fase transisi.

Section ini menegaskan bahwa evaluasi ekonomi sirkular harus dipahami sebagai proses pembelajaran berkelanjutan, bukan penilaian sekali waktu. Tanpa kerangka evaluasi yang adaptif dan reflektif, indikator kinerja dapat berubah dari alat perbaikan menjadi sumber distorsi kebijakan.

 

6. Kesimpulan: Menuju Penilaian Ekonomi Sirkular yang Lebih Realistis dan Kontekstual

Artikel ini menunjukkan bahwa implementasi ekonomi sirkular dalam pengelolaan sampah perkotaan tidak dapat dinilai secara memadai melalui satu dimensi saja. Indikator kinerja memberikan gambaran penting tentang capaian teknis, tetapi tidak cukup untuk menangkap dinamika sosial, kelembagaan, dan perilaku yang menentukan keberlanjutan sistem.

Analisis juga menegaskan bahwa ekonomi sirkular di tingkat kota merupakan proyek transformasi bertahap, bukan lompatan instan. Kesenjangan antara kebijakan dan praktik, keterbatasan kapasitas lokal, serta variasi persepsi warga merupakan bagian inheren dari proses transisi. Mengabaikan realitas ini berisiko menjadikan ekonomi sirkular sebagai target simbolik yang sulit diwujudkan.

Pendekatan penilaian yang lebih realistis perlu menggabungkan data kuantitatif dengan pemahaman kualitatif tentang konteks lokal. Persepsi warga, kepercayaan terhadap institusi, dan kemudahan praktik sehari-hari harus diperlakukan sebagai indikator tidak langsung yang sama pentingnya dengan angka daur ulang atau timbulan sampah.

Sebagai penutup, ekonomi sirkular dalam pengelolaan sampah perkotaan sebaiknya dipahami bukan sebagai kondisi ideal yang harus segera dicapai, melainkan sebagai arah perubahan yang memerlukan evaluasi berkelanjutan. Penilaian yang jujur, kontekstual, dan adaptif tidak hanya membantu mengukur kemajuan, tetapi juga mencegah ekonomi sirkular tereduksi menjadi jargon kebijakan tanpa daya transformasi nyata.

 

 

 

Daftar Pustaka

Ghisellini, P., Cialani, C., & Ulgiati, S. (2016). A review on circular economy: The expected transition to a balanced interplay of environmental and economic systems. Journal of Cleaner Production, 114, 11–32.

Geissdoerfer, M., Savaget, P., Bocken, N. M. P., & Hultink, E. J. (2017). The circular economy – A new sustainability paradigm? Journal of Cleaner Production, 143, 757–768.

Kirchherr, J., Reike, D., & Hekkert, M. (2017). Conceptualizing the circular economy: An analysis of 114 definitions. Resources, Conservation and Recycling, 127, 221–232.

OECD. (2020). Circular economy in cities and regions: Synthesis report. Paris: OECD Publishing.

Wilson, D. C., Velis, C. A., & Rodic, L. (2013). Integrated sustainable waste management in developing countries. Waste Management & Research, 31(4), 329–338.

Allwood, J. M., Ashby, M. F., Gutowski, T. G., & Worrell, E. (2011). Material efficiency: A white paper. Resources, Conservation and Recycling, 55(3), 362–381.