Mengungkap Perbedaan Budaya Keselamatan Kerja: Studi Kasus Swedia vs Denmark dalam Industri Konstruksi

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati

23 Mei 2025, 11.52

pixabay.com

Pendahuluan: Kenapa Budaya Keselamatan Kerja Penting?

Industri konstruksi dikenal sebagai salah satu sektor dengan risiko kecelakaan kerja tertinggi di dunia. Menurut Hämäläinen et al. (2003), diperkirakan terdapat 360.000 kecelakaan kerja fatal secara global setiap tahun, dan 4,8% pekerja konstruksi di Eropa pernah mengalami cedera kerja pada 2007. Tingginya angka kecelakaan ini menuntut adanya pemahaman mendalam tentang faktor-faktor yang memengaruhi perilaku dan hasil keselamatan kerja, terutama budaya keselamatan (safety culture) (Grill et al., 2015).

Studi Kasus: Swedia vs Denmark – Dua Negara, Satu Budaya, Hasil Berbeda

Swedia dan Denmark, dua negara Skandinavia dengan kemiripan budaya, sistem sosial, dan gaya manajemen organisasi, justru menunjukkan perbedaan signifikan dalam angka kecelakaan kerja di sektor konstruksi. Fatalitas kecelakaan kerja di Denmark 33% lebih tinggi dibandingkan Swedia, bahkan pada proyek besar seperti Jembatan dan Terowongan Öresund, kecelakaan di pihak Denmark empat kali lebih banyak (Tómasson et al., 2015).

Penelitian oleh Grill, Grytnes, dan Törner (2015) menggunakan wawancara mendalam dengan sembilan profesional konstruksi berpengalaman dari kedua negara. Hasilnya, ditemukan tujuh tema utama yang membedakan budaya keselamatan di Swedia dan Denmark, yang secara langsung memengaruhi tingkat kecelakaan kerja.

Tujuh Tema Kunci Budaya Keselamatan

  1. Manajemen Partisipatif vs Direktif
    Swedia menonjol dengan gaya manajemen partisipatif, di mana pekerja dilibatkan dalam pengambilan keputusan terkait keselamatan. Sebaliknya, Denmark cenderung lebih direktif, dengan keputusan banyak diambil oleh manajer. Model partisipatif terbukti membangun rasa kepemilikan dan tanggung jawab pekerja, yang berkontribusi pada kepatuhan terhadap prosedur keselamatan.
  2. Budaya Tantangan vs Kepatuhan
    Di Swedia, pekerja didorong untuk menantang otoritas jika ada prosedur yang dianggap tidak aman, sedangkan di Denmark, kepatuhan terhadap instruksi lebih diutamakan. Sikap kritis ini di Swedia justru memperkuat sistem keselamatan karena mendorong perbaikan berkelanjutan.
  3. Kepatuhan vs Pelanggaran Aturan
    Swedia memiliki tingkat kepatuhan yang lebih tinggi terhadap aturan keselamatan, sementara di Denmark, pelanggaran aturan lebih sering terjadi dan kadang dianggap sebagai bagian dari budaya kerja sehari-hari.
  4. Kerja Sama vs Konflik
    Budaya kerja sama di Swedia sangat kuat, baik antara pekerja maupun dengan manajer. Di Denmark, hubungan kerja cenderung lebih individualis dan kadang diwarnai konflik, yang bisa menghambat komunikasi keselamatan.
  5. Kehati-hatian vs Keberanian Berlebihan
    Pekerja Swedia dikenal lebih hati-hati dan cenderung menghindari risiko, sedangkan di Denmark, keberanian atau bahkan “kecakapan” menghadapi bahaya sering dianggap sebagai nilai tambah.
  6. Perencanaan Jangka Panjang
    Swedia menonjol dalam aspek perencanaan keselamatan jangka panjang, sedangkan di Denmark, perencanaan sering kali bersifat jangka pendek dan reaktif.
  7. Keamanan Kerja dan Loyalitas
    Sistem kontrak kerja jangka panjang di Swedia menciptakan loyalitas dan rasa tanggung jawab pekerja terhadap keselamatan. Di Denmark, sistem kontrak lebih fleksibel, yang dapat memengaruhi komitmen pekerja terhadap budaya keselamatan.

Angka dan Fakta Kunci dari Studi

  • Perbedaan fatalitas kecelakaan: Fatalitas di Denmark 33% lebih tinggi daripada Swedia.
  • Proyek Öresund: Kecelakaan di pihak Denmark empat kali lebih banyak dibandingkan Swedia.
  • Partisipasi pekerja: Model partisipatif di Swedia terbukti meningkatkan kepatuhan dan pelaporan risiko.

Analisis: Faktor Penentu Budaya Keselamatan yang Efektif

Dari tujuh tema di atas, leadership (kepemimpinan) dan engagement (keterlibatan pekerja) menjadi faktor utama yang membedakan tingkat keselamatan di kedua negara. Kepemimpinan yang partisipatif, terbuka terhadap masukan, dan mendorong komunikasi dua arah terbukti efektif menurunkan kecelakaan. Selain itu, pekerja yang merasa dilibatkan akan lebih peduli dan bertanggung jawab terhadap keselamatan diri dan rekan kerja.

Hal ini sejalan dengan penelitian lain di sektor energi dan manufaktur yang menekankan pentingnya dimensi leadership, engagement, responsibility, information, dan communication dalam membangun budaya keselamatan yang matang (Hermawan, 2024).

Kritik dan Perbandingan dengan Studi Lain

Penelitian Grill et al. (2015) menggunakan pendekatan kualitatif dengan jumlah responden terbatas (9 orang), sehingga generalisasi hasil perlu dilakukan dengan hati-hati. Namun, temuan mereka sangat relevan karena memperkuat hasil meta-analisis Christian et al. (2010) yang menegaskan peran faktor situasional (iklim keselamatan, kepemimpinan) dan faktor individu (sikap, norma) dalam menurunkan kecelakaan kerja.

Studi di industri lain, seperti PLTU batubara di Indonesia, juga menunjukkan bahwa organizational learning (pembelajaran organisasi) penting untuk memahami dan mengantisipasi risiko kecelakaan, selain faktor kepemimpinan dan keterlibatan pekerja (Hermawan, 2024).

Implikasi Praktis untuk Industri Konstruksi dan Sektor Lain

  • Bangun Manajemen Partisipatif: Libatkan pekerja dalam pengambilan keputusan keselamatan, bukan hanya sebagai pelaksana aturan.
  • Dorong Budaya Kritis: Ciptakan lingkungan di mana pekerja bebas menyampaikan potensi bahaya tanpa takut sanksi.
  • Perkuat Komunikasi dan Informasi: Pastikan semua pihak memahami prosedur keselamatan dan risiko yang ada.
  • Fokus pada Perencanaan Jangka Panjang: Jangan hanya reaktif terhadap kecelakaan, tapi lakukan perencanaan dan evaluasi berkelanjutan.
  • Ciptakan Keamanan Kerja: Sistem kontrak jangka panjang dan loyalitas pekerja berkontribusi pada budaya keselamatan yang kuat.

Kesimpulan: Budaya Keselamatan Bukan Sekadar Aturan, Tapi Sistem Sosial

Perbedaan angka kecelakaan kerja antara Swedia dan Denmark membuktikan bahwa budaya keselamatan bukan hanya soal aturan dan prosedur, tetapi juga soal nilai, norma, dan interaksi sosial di tempat kerja. Kepemimpinan yang partisipatif, keterlibatan pekerja, komunikasi efektif, dan perencanaan matang adalah fondasi utama membangun budaya keselamatan yang benar-benar menurunkan risiko kecelakaan.

Industri konstruksi dan sektor lain dapat belajar dari model Swedia untuk mengembangkan budaya keselamatan yang lebih kuat, adaptif, dan berkelanjutan-bukan hanya demi kepatuhan, tapi demi keselamatan dan produktivitas bersama.

Sumber : Grill, M., Grytnes, R., & Törner, M. (2015). Approaching safety in the Swedish and Danish construction industry: professionals’ perceptions of safety culture differences.