Mengukur Kesiapsiagaan Banjir: Mengapa Pendekatan Lokal Inggris Mengungguli Model Sentralistik Turki, dan Jalan ke Depan untuk Penelitian Global

Dipublikasikan oleh Raihan

24 Oktober 2025, 16.45

🌊 Mengukur Kesiapsiagaan Banjir: Mengapa Pendekatan Lokal Inggris Mengungguli Model Sentralistik Turki, dan Jalan ke Depan untuk Penelitian Global

Penelitian ini bertujuan untuk menilai efektivitas manajemen banjir (Flood Management/FM) di Turki—sebagai representasi negara berkembang—dan Inggris (UK)—sebagai negara maju—serta memberikan rekomendasi berbasis bukti untuk meningkatkan praktik di kedua negara. Melalui studi kualitatif mendalam, tesis doktoral ini tidak hanya membandingkan kerangka kerja kelembagaan dan operasional tetapi juga memperkenalkan serangkaian indikator baru untuk mengukur efisiensi sistem. Jalur logis temuan dimulai dengan perbandingan top-down dan berlanjut ke pengujian hipotesis di lapangan dan melalui studi kasus bencana nyata.

Jalur Logis Penemuan: Dari Hipotesis Tata Kelola ke Bukti Bencana

Riset ini dengan cermat membandingkan dua model tata kelola bencana yang kontras. Inggris, didorong oleh UU Manajemen Banjir dan Air 2010, menganut pendekatan proaktif dan terdesentralisasi (lokal), menekankan kolaborasi lintas-pemangku kepentingan, dari tingkat pusat hingga komunitas lokal. Sebaliknya, Turki dicirikan oleh pendekatan yang reaktif dan sentralistik, dengan undang-undang yang tidak definitif, menghasilkan perencanaan yang tidak efektif, sistem peringatan yang buruk, dan pemangku kepentingan yang tidak terorganisir.

Untuk menguji efektivitas klaim tata kelola ini, penelitian ini mengembangkan serangkaian Indikator Efisiensi Manajemen Banjir (FMEIs), yang dikelompokkan ke dalam tiga fase Siklus Manajemen Bencana: Kesiapsiagaan dan Perencanaan, Respons, dan Pemulihan. Kerangka kerja ini, terdiri dari 26 indikator turunan literatur, berfungsi sebagai alat ukur standar yang eksplisit untuk menilai kekuatan dan kelemahan sistem di Izmit/Kocaeli (Turki) dan Southampton/Hampshire (Inggris).

Hasil Kuantitatif Deskriptif dari Penilaian Sistem

Wawancara dengan para profesional FM di kedua negara kemudian memvalidasi kontras kualitatif ini, yang diukur secara deskriptif menggunakan kerangka FMEIs.

  • Skor FMEIs Keseluruhan: Penilaian berdasarkan wawancara menunjukkan bahwa sistem FM Inggris mencatat skor total 48 (kualitas Optimum, dalam rentang 42-54), sedangkan Turki mencatat skor total 28 (kualitas Tinggi, dalam rentang 28-41). Perbedaan deskriptif ini menunjukkan bahwa model yang menggabungkan kesiapsiagaan proaktif, perencanaan mendalam, dan keterlibatan lokal menunjukkan potensi kuat untuk ketahanan sistem yang lebih tinggi.
  • Perencanaan dan Kesiapsiagaan: Kesenjangan terbesar muncul di fase perencanaan. Mayoritas responden Inggris mengonfirmasi adanya rencana mitigasi dan respons banjir yang spesifik, kemitraan dalam pengembangannya, serta peninjauan dan penerapan berkala. Sebaliknya, mayoritas responden Turki melaporkan bahwa rencana mitigasi banjir tidak ada, dan tidak ada kemitraan untuk pengembangan atau peninjauan rencana.
  • Sistem Peringatan Dini: Terdapat perbedaan dalam teknologi. Inggris menggunakan peringatan ponsel (phone alerts), media, dan media sosial. Temuan ini menunjukkan potensi kuat untuk sistem komunikasi yang lebih personal dan tepat sasaran. Sebaliknya, Turki belum menerapkan sistem peringatan ponsel, yang dikaitkan dengan ketiadaan peta bahaya banjir yang akurat di tingkat lokal, sehingga membatasi kemampuan untuk memperingatkan penduduk di zona risiko secara spesifik.

Dampak dari perbedaan tata kelola ini divalidasi melalui studi kasus: Banjir Marmara 2009 (Turki) dan Banjir Kendal 2015 (Inggris). Penilaian FMEIs terhadap respons bencana nyata menunjukkan bahwa manajemen banjir Kendal memperoleh skor total 43 (kualitas Optimum), sementara Marmara memperoleh skor total 28 (kualitas Tinggi). Kesenjangan terluas muncul dalam kategori perencanaan: Meskipun telah terjadi banjir sebelumnya di Marmara, kurangnya perencanaan mitigasi dan peta bahaya yang akurat memperburuk dampak bencana. Kunci efektivitas Inggris terletak pada pendekatan terpusatnya untuk perencanaan tetapi didelegasikan kepada tingkat lokal, memungkinkan pemahaman yang lebih baik tentang risiko di lapangan dan pemulihan yang lebih cepat.

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Kontribusi terpenting dari penelitian ini adalah penciptaan FMEIs. FMEIs merupakan kerangka kerja komprehensif yang mengintegrasikan berbagai faktor efisiensi FM ke dalam alat ukur yang terstandardisasi dan dapat diterapkan secara universal, yang dapat digunakan oleh negara maju dan berkembang.

Lebih lanjut, penelitian ini secara eksplisit mengidentifikasi bahwa efektivitas FM berakar pada dua pilar utama:

  1. Pergeseran ke Aksi Proaktif: Sistem yang efektif dicirikan oleh fokus pada kesiapsiagaan (preparedness)—melalui perencanaan mitigasi, pemetaan risiko, dan pembelajaran kelembagaan yang terorganisir—bukan sekadar tanggapan darurat reaktif.
  2. Pentingnya Keterlibatan Lokal: Pendekatan terdesentralisasi yang memberdayakan aktor dan komunitas lokal (model bottom-up) sangat penting untuk meningkatkan koordinasi, kecepatan respons, dan kesadaran publik.

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Riset ini mengakui bahwa kurangnya akses ke peta bahaya banjir di Turki merupakan hambatan signifikan untuk merumuskan rencana mitigasi yang spesifik. Selain itu, sensitivitas politik di Turki membatasi partisipasi masyarakat di tingkat komunitas, sehingga penilaian efektivitas sistem cenderung didominasi oleh perspektif profesional daripada pengalaman langsung warga.

Keterbatasan ini membuka pertanyaan penting bagi penelitian lanjutan, seperti:

  • Bagaimana peta bahaya banjir, yang baru direncanakan selesai di Turki pada tahun 2022, dapat diintegrasikan secara efektif ke dalam kerangka kerja bottom-up di masa mendatang?
  • Apakah sistem terpusat (seperti di Turki), jika sepenuhnya dilengkapi dengan rencana, sumber daya, dan peta yang akurat, dapat melampaui efektivitas sistem yang terdesentralisasi murni, mengingat kompleksitas geografis dan demografi negara yang lebih besar?

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)

Penelitian ini menggarisbawahi perlunya studi empiris lebih lanjut untuk memajukan manajemen risiko banjir dari temuan komparatif dan kerangka FMEIs yang baru dikembangkan.

  1. Riset Kolaboratif tentang Transisi Tata Kelola FM (Metode: Studi Kasus Intervensi):
    • Justifikasi Ilmiah: Temuan menunjukkan bahwa pendekatan sentralistik Turki secara fundamental membatasi keterlibatan lokal, yang merupakan kunci efektivitas FM. Riset lanjutan harus berfokus pada studi kasus yang menganalisis dampak intervensi kebijakan yang bertujuan untuk mendesentralisasi tanggung jawab FM di provinsi-provinsi percontohan di Turki (misalnya, menguji efek pembentukan Lembaga Forum Ketahanan Lokal/LRF ala Inggris).
    • Tujuan: Mengukur peningkatan nyata dalam Skor Kesiapsiagaan FMEIs (khususnya indikator "Keterlibatan Masyarakat" dan "Pelatihan") sebagai fungsi dari desentralisasi yang terstruktur.
  2. Analisis Manfaat-Biaya Implementasi Peta Bahaya Banjir (Variabel: Biaya Infrastruktur vs. Skor FMEIs Respons):
    • Justifikasi Ilmiah: Peta bahaya yang tidak akurat di Turki adalah alasan utama ketidakmampuan untuk menerapkan sistem peringatan dini berbasis lokasi dan rencana mitigasi yang spesifik. Penelitian harus memodelkan rasio manfaat-biaya dari investasi penuh dalam pemetaan risiko banjir digital dan real-time di seluruh Turki, menggunakan Total Damage Prevented sebagai metrik utama.
    • Tujuan: Menentukan koefisien investasi minimum yang diperlukan dalam infrastruktur pemetaan (seperti data satelit dan phone alerts) untuk mendorong Skor Respons FMEIs Turki ke tingkat Optimum.
  3. Studi Komparatif tentang Adaptabilitas Kebijakan (Konteks: Perubahan Iklim/Frekuensi Ekstrem):
    • Justifikasi Ilmiah: Kedua negara menunjukkan kelemahan dalam adaptabilitas sistem FM mereka terhadap perubahan yang tidak terduga dan frekuensi bencana ekstrem (Banjir Kendal 2015 melebihi ambang batas pertahanan). Riset lanjutan harus menggunakan simulasi skenario perubahan iklim ekstrem untuk menguji ketahanan kerangka regulasi dan perencanaan Inggris (misalnya, UU FM 2010) dan Turki.
    • Tujuan: Mengidentifikasi ambang batas kegagalan (failure threshold) kebijakan dan merekomendasikan prosedur kontingensi kegagalan infrastruktur (seperti kegagalan tembok penahan banjir atau sistem drainase) untuk dimasukkan dalam Rencana Respons FM.
  4. Analisis Peran Asuransi dalam Ketahanan Jangka Panjang (Metode: Analisis Regresi Data Asuransi):
    • Justifikasi Ilmiah: Ketersediaan asuransi banjir non-wajib di Inggris dan asuransi yang berfokus pada gempa bumi di Turki menunjukkan kesenjangan pemulihan bencana. Penelitian harus menguji hubungan antara tingkat penetrasi asuransi banjir dan waktu pemulihan (time to recovery) ekonomi pasca-bencana.
    • Tujuan: Menganalisis data dari Turkish Catastrophe Insurance Pool (TCIP) untuk memodelkan bagaimana perluasan mandatnya secara wajib untuk mencakup risiko banjir akan berdampak positif pada Skor Pemulihan FMEIs di wilayah-wilayah berisiko tinggi.
  5. Riset Aksi tentang Pembelajaran Kelembagaan Vertikal (Metode: Protokol Peninjauan Pasca-Aksi [After-Action Review/AAR] Terstruktur):
    • Justifikasi Ilmiah: Meskipun kedua negara memiliki skema pembelajaran kelembagaan, Turki sangat kurang dalam organisasi formal, sehingga membatasi perbaikan kebijakan sistematis. Penelitian harus memperkenalkan protokol AAR pasca-banjir yang terstruktur (mirip dengan praktik militer/darurat) di AFAD (Turki) untuk memastikan temuan di lapangan ditransfer secara vertikal ke perumusan kebijakan nasional.
    • Tujuan: Menetapkan korelasi antara penerapan protokol AAR yang formal dan peningkatan skor pada indikator "Pembelajaran Kelembagaan" FMEIs, memvalidasi pentingnya proses formal atas komunikasi lisan yang informal.

Penelitian lebih lanjut harus melibatkan Badan Manajemen Bencana dan Keadaan Darurat (AFAD), Badan Lingkungan Inggris (EA), dan forum ketahanan lokal (LRFs) untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil di berbagai tingkat tata kelola.