Keraton Yogyakarta (bahasa Indonesia: Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, bahasa Jawa: ꦏꦿꦠꦺꦴꦤ꧀ꦔꦪꦺꦴꦒꦾꦏꦂꦠꦲꦢꦶꦤꦶꦔꦿꦠ꧀, diromanisasi: Kadhaton Ngayogyakarta Adiningrat) adalah sebuah kompleks istana di kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia. Ini adalah tempat tinggal Sultan Yogyakarta yang berkuasa dan keluarganya. Kompleks ini merupakan pusat kebudayaan Jawa dan memiliki museum yang memamerkan artefak kerajaan. Tempat ini dijaga oleh Pengawal Keraton Yogyakarta (bahasa Indonesia: Prajurit Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat).
Sejarah
Kompleks ini dibangun pada tahun 1755-1756 (AJ 1682) untuk Hamengku Buwono I, Sultan Yogyakarta yang pertama. Ini adalah salah satu tindakan pertama raja setelah penandatanganan Perjanjian Giyanti, yang mengakui pembentukan Kesultanan Yogyakarta di bawah VOC. Sebuah hutan beringin, yang terlindung dari banjir karena lokasinya yang berada di antara dua sungai, dipilih sebagai lokasi istana.
Meskipun jumlah mereka lebih banyak dari Inggris, orang Jawa tidak siap menghadapi serangan tersebut. Yogyakarta jatuh dalam satu hari, dan istana direbut dan dibakar. Serangan tersebut merupakan serangan pertama terhadap istana Jawa, dan Kesultanan Yogyakarta sempat berada di bawah kekuasaan Inggris sebelum pemerintah Inggris mengembalikan kekuasaan Indonesia kepada Belanda. Sebagian besar istana yang ada saat ini dibangun oleh Sultan Hamengku Buwono VIII (yang berkuasa pada tahun 1921-1939) dan dibangun kembali setelah gempa bumi pada tahun 1876 dan 2006.
Serangan tersebut merupakan serangan pertama terhadap istana Jawa, dan Kesultanan Yogyakarta sempat berada di bawah kekuasaan Inggris sebelum pemerintah Inggris mengembalikan kendali Indonesia kepada Belanda. Sebagian besar istana yang ada saat ini dibangun oleh Sultan Hamengku Buwono VIII (yang memerintah dari tahun 1921 hingga 1939) dan dibangun kembali setelah gempa bumi pada tahun 1876 dan 2006.
Arsitek utama istana ini adalah Sultan Hamengku Buwono I, yang mendirikan Kesultanan Yogyakarta. Keahlian arsitekturnya dihargai oleh ilmuwan Belanda Theodoor Gautier Thomas Pigeaud dan Lucien Adam, yang menganggapnya sebagai penerus yang layak untuk Pakubuwono II (pendiri Kasunanan Surakarta). Tata letak istana, yang mengikuti desain dasar kota tua Yogyakarta, selesai dibangun pada tahun 1755-1756; bangunan lain ditambahkan oleh Sultan Yogyakarta selanjutnya.
Kompleks ini terdiri dari halaman yang dilapisi pasir dari pantai selatan, bangunan utama, dan bangunan sekunder. Bangunan-bangunan tersebut dipisahkan oleh dinding dengan regol bergaya semar tinandu. Pintu istana terbuat dari kayu jati yang tebal. Di belakang (atau di depan) pintu gerbang dalam arsitektur Jawa biasanya terdapat tembok penyekat (Renteng atau Baturono), terkadang dengan ornamen tradisional yang khas.
Atap joglo berbentuk trapesium biasanya ditutupi dengan sirap merah atau abu-abu, genteng, atau seng. Ditopang oleh tiang utama (soko guru) dan tiang-tiang sekunder. Pilar biasanya berwarna hijau tua atau hitam, dengan sorotan kuning, hijau muda merah atau emas. Elemen bangunan kayu lainnya senada dengan warna pilar.
Alas batu (Ompak), warna hitam dikombinasikan dengan ornamen emas. Warna putih mendominasi dinding bangunan dan kompleks. Lantai, biasanya marmer putih atau ubin bermotif, lebih tinggi dari halaman berpasir. Beberapa bangunan memiliki lantai utama yang lebih tinggi. Bangunan lain memiliki batu persegi (Selo Gilang) untuk singgasana sultan.
Setiap bangunan diklasifikasikan berdasarkan penggunaannya. Bangunan kelas utama (yang digunakan oleh sultan) memiliki lebih banyak ornamen daripada bangunan kelas bawah, yang memiliki sedikit atau tanpa ornamen.
Simbolisme
Keraton adalah istana. Keraton adalah tempat tinggal keluarga kerajaan. Pohon asam dan ceri Spanyol berjejer di sepanjang jalan dari Rumah Buru Krapyak menuju keraton, yang membentang dari Tugu Yogyakarta ke keraton.
Tugu Yogyakarta (Tugu Gilig golong), di sisi utara kota tua, melambangkan "penyatuan antara raja (golong) dan rakyat (gilig)" (bahasa Jawa: manunggaling kawulo gusti)." Ini juga melambangkan kesatuan akhir antara pencipta (Khalik) dan rakyatnya. Gapura Donopratoro (gerbang menuju kawasan Kedaton) melambangkan "orang yang baik adalah orang yang murah hati dan tahu bagaimana mengendalikan hawa nafsunya", dan dua patung Dwarapala (Balabuta dan Cinkarabala) melambangkan kebaikan dan kejahatan. Artefak-artefak istana ini dipercaya memiliki kekuatan untuk mengusir kejahatan.
Pertunjukan
Keraton ini menjadi tuan rumah bagi pertunjukan gamelan (musik), tarian Jawa, macapat (puisi), dan wayang.
Dalam budaya populer
Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat adalah Pit Stop kedua dalam The Amazing Race 19.
Disadur dari: https://en.wikipedia.org/