Mengenal Kedokteran hewan di Indonesia

Dipublikasikan oleh Nadia Pratiwi

04 Juni 2024, 19.31

Sumber: id.wikipedia.org

Di Indonesia, praktik ilmu kedokteran hewan telah berlangsung dan berkembang selama ratusan tahun. Layanan dokter hewan serta pendidikannya telah dirintis sejak zaman penjajahan Belanda. Per tahun 2023, terdapat 12 universitas yang menyelenggarakan pendidikan kedokteran hewan. Para dokter hewan memiliki Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) sebagai organisasi profesi.

Sebagian dokter hewan di Indonesia membuka layanan praktik secara mandiri maupun berkelompok. Sebagian lainnya bekerja untuk Pemerintah Indonesia, perusahaan swasta, atau organisasi nirlaba dengan memberikan jasa medisnya atau menjadi konsultan, peneliti, dan pengajar. Sebagian dokter hewan juga menjadi wiraswasta di bidang yang berkaitan dengan kesehatan hewan, misalnya usaha obat hewan, serta peternakan dan pengolahan pangan asal hewan. Semboyan dokter hewan Indonesia adalah manusya mriga satwa sewaka, yang artinya "mengabdi untuk kesejahteraan manusia melalui dunia hewan".

Pendidikan

Sarjana

Di Indonesia, pendidikan kedokteran hewan dipelajari di tingkat universitas. Pendidikan sarjana (S1) biasanya ditempuh selama delapan semester. Setelah menyelesaikan tahap ini, seseorang akan mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran Hewan (S.K.H.). Per tahun 2024, ada 13 perguruan tinggi yang memiliki fakultas atau program studi kedokteran hewan di Indonesia. Mereka terkumpul dalam Asosiasi Fakultas Kedokteran Hewan Indonesia (AFKHI). Perguruan tinggi tersebut adalah:

  1. Universitas Syiah Kuala (USK) — Banda Aceh, Aceh
  2. Universitas Riau (Unri) — Pekanbaru, Riau
  3. Universitas Negeri Padang (UNP) — Bukittinggi, Sumatera Barat
  4. Institut Pertanian Bogor (IPB) — Bogor, Jawa Barat
  5. Universitas Padjadjaran (Unpad) — Bandung, Jawa Barat
  6. Universitas Gadjah Mada (UGM) — Sleman, Yogyakarta
  7. Universitas Airlangga (Unair) — Surabaya, Jawa Timur
  8. Universitas Wijaya Kusuma Surabaya (UWKS) — Surabaya, Jawa Timur
  9. Universitas Brawijaya (UB) — Malang, Jawa Timur
  10. Universitas Udayana (Unud) — Denpasar, Bali
  11. Universitas Pendidikan Mandalika (Undikma) — Mataram, Nusa Tenggara Barat
  12. Universitas Hasanuddin (Unhas) — Makassar, Sulawesi Selatan
  13. Universitas Nusa Cendana (Undana) — Kupang, Nusa Tenggara Timur

Pendidikan profesi

Setelah memperoleh gelar S.K.H., seseorang dapat mengambil pendidikan profesi (koasistensi) yang memerlukan waktu minimum dua semester. Kurikulum nasional program profesi dokter hewan yaitu patologi veteriner, penyakit dalam, bedah, kesehatan masyarakat veteriner, reproduksi, diagnosis laboratorium, dan ditambah dengan kegiatan di luar kampus, seperti magang atau praktik kerja lapangan. Setelah menyelesaikan seluruh stase koasistensi, seseorang yang telah lulus yudisium akan menjalani pengambilan sumpah dokter hewan sebelum mendapatkan gelar dokter hewan (drh). Mulai tahun 2021, Ujian Kompetensi Mahasiswa Pendidikan Profesi Dokter Hewan (UKMPPDH) dijadikan "ujian keluar" atau salah satu syarat kelulusan untuk mendapatkan Sertifikat Nasional Kompetensi Dokter Hewan.

Pascasarjana

Beberapa universitas menyediakan pendidikan pascasarjana untuk ilmu kedokteran hewan, baik tingkat magister (S2) maupun doktor (S3). Meskipun demikian, program studi dan konsentrasi yang ditawarkan berbeda-beda. Sebagai contoh untuk tingkat S2, UGM membuka Program Studi Sains Veteriner dengan enam peminatan dan satu konsentrasi, Program Studi Magister Ilmu Biomedis Hewan IPB membuka enam peminatan, Unair membuka empat program studi, Unud membuka Program Studi Magister Kedokteran Hewan, sedangkan Unsyiah membuka Program Studi Magister Kesehatan Masyarakat Veteriner. Sementara itu, program S3 diselenggarakan di IPB, UGM, dan Unair.

Dokter hewan spesialis

Di Indonesia, belum terdapat pendidikan profesi dokter hewan spesialis. Meskipun demikian, AFKHI dan PDHI telah merancang pendidikan spesialisasi untuk bidang spesialis bedah, radiologi, penyakit dalam, patologi, hewan laboratorium, dan reproduksi.

Riset dan publikasi

Para dokter hewan dan ilmuwan terkait yang bekerja sebagai peneliti, misalnya di Pusat Riset Veteriner Bogor, dan para dosen memublikasikan hasil riset mereka dalam konferensi ilmiah, seperti Konferensi Ilmiah Veteriner Nasional (KIVNAS) yang diselenggarakan setiap dua tahun. Beberapa jurnal ilmiah yang diterbitkan untuk memuat hasil riset di bidang kedokteran hewan di antaranya:

Nama jurnal    Penerbit    Akreditasi SINTA

  1. Acta Veterinaria Indonesiana-Institut Pertanian Bogor-S2
  2. Jurnal Medik Veteriner -Universitas Airlangga-S2
  3. Jurnal Sain Veteriner-Universitas Gadjah Mada-S2
  4. Jurnal Veteriner -Universitas Udayana    S2
  5. Jurnal Kedokteran Hewan -Universitas Syiah Kuala -S2
  6. Wartazoa -Pusat Standardisasi Instrumen Peternakan dan Kesehatan Hewan, BSIP -S2
  7. Media Kedokteran Hewan-Universitas Airlangga -S3
  8. Jurnal Ilmu Peternakan dan Veteriner Tropis-Universitas Papua- S3
  9. ARSHI Veterinary Letters    Institut Pertanian Bogor    S4
  10. Journal of Applied Veterinary Science and Technology  - Universitas Airlangga -S4
  11. Buletin Veteriner Udayana -Universitas Udayana - S4
  12. Indonesia Medicus Veterinus-Universitas Udayana - S4
  13. Jurnal Kajian Veteriner-Universitas Nusa Cendana -  S4
  14. Jurnal Riset Veteriner Indonesia-Universitas Hasanuddin -  S4
  15. Vitek Bidang Kedokteran Hewan -Universitas Wijaya Kusuma Surabaya-S4
  16. Current Biomedicine  -Institut Pertanian Bogor    –
  17. Jurnal Veteriner dan Biomedis - Institut Pertanian Bogor    –
  18. Journal of Basic Medical Veterinary -Universitas Airlangga    –
  19. Veterinary Biomedical and Clinical Journal - Universitas Brawijaya    –
  20. Journal of Veterinary and Animal Sciences- Universitas Udayana    –
  21. Buletin Veteriner Farma- Balai Besar Veteriner Farma Pusvetma, Ditjen PKH    –
  22. Buletin Diagnosa Veteriner-Balai Besar Veteriner Maros, Ditjen PKH    –
  23. Velabo: Buletin Laboratorium Veteriner-Balai Veteriner Lampung, Ditjen PKH    –
  24. Jurnal Patologi Veteriner Indonesia -Asosiasi Patologi Veteriner Indonesia    –

Penerapan ilmu

Ilmu kedokteran hewan diterapkan oleh dokter hewan, dan dalam lingkup yang lebih terbatas, oleh sarjana kedokteran hewan dan paramedik veteriner. Ketiganya digolongkan sebagai tenaga kesehatan hewan. Jumlah dokter hewan di Indonesia berkisar dari 15 ribu hingga 20 ribu orang.

Ranah pekerjaan dokter hewan dapat ditinjau dari berbagai aspek. Berdasarkan tipe hewan yang dilayani, dokter hewan dapat menangani hewan kesayangan, hewan ternak, hingga satwa liar. Pencinta dan pemilik hewan kesayangan, misalnya anjing, kucing, dan burung, hingga hewan eksotis seperti ular dan iguana, telah menyadari pentingnya kesehatan hewan sehingga memerlukan jasa dokter hewan. Ternak, yakni hewan yang dipelihara untuk tujuan ekonomi, seperti sumber pangan, sumber bahan baku industri, atau sebagai pembantu pekerjaan manusia, perlu dijaga kesehatannya. Pangan yang berasal dari hewan sakit dapat mengakibatkan gangguan kesehatan pada manusia. Oleh karena itu, kesehatan sapi, kambing, domba, babi, ayam, dan itik yang tergolong dalam sektor peternakan, serta ikan dan udang yang tergolong dalam sektor perikanan, termasuk dalam pengawasan dokter hewan. Terhadap satwa liar, dokter hewan menangani kesehatannya agar mereka tetap sintas dan terjaga kelestariannya. Harimau sumatra, gajah sumatra, badak, macan dahan, dan beruang madu merupakan satwa dilindungi yang sering kali terluka akibat perburuan liar dan membutuhkan perawatan dokter hewan.

Pada sektor publik atau pemerintahan, dokter hewan yang berstatus sebagai pegawai negeri sipil dapat bekerja sebagai medik veteriner atau dokter hewan karantina. Keduanya merupakan jabatan fungsional yang hanya bisa diduduki oleh dokter hewan. Selain itu, dokter hewan pemerintah juga bisa bekerja sebagai dosen, peneliti, dan jabatan lain yang memerlukan ilmu dan keahlian dokter hewan. Pada sektor swasta, selain membuka praktik di klinik hewan atau rumah sakit hewan, dokter hewan juga bekerja pada berbagai industri, misalnya peternakan, farmasi, dan keamanan pangan.

Organisasi profesi

Logo PDHI

Di Indonesia, organisasi profesi untuk dokter hewan adalah Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI). Organisasi ini didirikan pada 9 Januari 1953 di Lembang, Jawa Barat. Meskipun demikian, cikal bakal organisasi telah ada sejak zaman Belanda, yaitu pada 1884 dengan nama Perhimpunan Kedokteran Hewan Hindia Belanda. PDHI memiliki 53 cabang di seluruh provinsi di Indonesia dan membawahi 20 unit peminatan nonteritorial yang menampung para dokter hewan dengan minat, keahlian, atau bidang kerja yang sama, misalnya Ikatan Dokter Hewan Karantina Indonesia (IDHKI) dan Asosiasi Dokter Hewan Praktisi Hewan Kecil Indonesia (ADHPHKI). Semboyan dokter hewan Indonesia adalah manusya mriga satwa sewaka, frasa dalam bahasa Sanskerta yang artinya "mengabdi untuk kesejahteraan manusia melalui dunia hewan".

Sejarah

Masa sebelum kemerdekaan

Tahun 1800-an

Ilmu kedokteran hewan telah diterapkan sejak zaman penjajahan Belanda. Hal ini bermula pada tahun 1820 saat R.A. Coppicters, dokter hewan asal Belanda datang ke Hindia Belanda. Ia bertugas menangani hewan-hewan yang penting bagi pemerintah kolonial Belanda, misalnya kuda milik pasukan militer. Pada masa ini, dokter yang menangani hewan disebut vee arts yang secara harfiah artinya dokter ternak. Istilah ini mengakibatkan hewan nonternak seperti anjing, kucing, dan satwa liar tidak masuk dalam cakupan ilmu kedokteran hewan.

Lembaga pemerintah yang menangani urusan kedokteran hewan dibentuk pada tahun 1841, yaitu Jawatan Kedokteran Hewan (Veeartsenijkundige Dienst), yang kemudian berubah menjadi Jawatan Kedokteran Hewan Sipil (Burgerlijke Veeartsenijkundige Dienst) pada 1853. Pada tahun 1851, tercatat beberapa dokter hewan Belanda di Indonesia. Keterbatasan jumlah dokter hewan menjadikan layanan tidak maksimal. Dalam periode 1853–1869, hanya tiga dokter hewan yang melayani seluruh Pulau Jawa; masing-masing di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Baru pada tahun 1869, dua dokter hewan ditempatkan di luar Pulau Jawa: satu di Sumatra dan satu di Sulawesi.

Belanda mendirikan sekolah dokter hewan yang disebut Inlandsche Veeartsen School (IVS) di Surabaya pada tahun 1861. Pimpinan sekolah ini adalah Dr. J. van der Weide. Pendidikan dilangsungkan selama dua tahun dengan menerima para bumiputra (pribumi-Nusantara) sebagai siswanya. Namun, IVS ditutup pada tahun 1875 setelah hanya menghasilkan delapan dokter hewan bumiputra (inlandsche veearts) selama sembilan tahun.

Setelah itu, pada 1875–1880, pendidikan dilakukan dalam bentuk magang pada dokter hewan pemerintah (gouvernements veearts) di Purwokerto. Ada sembilan pemuda bumiputra yang magang pada tujuh orang dokter hewan pemerintah; delapan di antaranya diluluskan pada tahun 1880 sebagai dokter hewan bumiputra.] Tak berselang lama, wabah penyakit hewan melanda Hindia Belanda, mulai dari sampar sapi pada tahun 1875, antraks dan septisemia epizotik pada 1884, surra pada 1886, dan penyakit mulut dan kuku pada 1887. Rabies, penyakit mematikan pada hewan dan manusia, pertama kali ditemukan di Indonesia pada tahun 1884 pada seekor kerbau. Selanjutnya, penyakit ini juga ditemukan pada anjing pada tahun 1889 dan manusia pada 1894. Organisasi dokter hewan pertama pun berdiri pada tahun 1884 dengan nama Perhimpunan Kedokteran Hewan Hindia Belanda (Nederland-Indische Vereeniging voor Diergeneeskunde) untuk mengatasi wabah-wabah tersebut.

Usul penggabungan pendidikan dokter hewan dan pendidikan dokter pada STOVIA (Sekolah Pendidikan Dokter Hindia) pernah dilontarkan oleh Direktur Departemen Kepamongprajaan (Binnenlands Bestuur). Meskipun gagasan ini disetujui Menteri Urusan Jajahan (Minister van Kolonien) di Belanda, tetapi karena keberatan yang disampaikan Direktur Departemen Pendidikan, Keibadatan, dan Kerajinan (Onderwijs, Eeredienst en Nijverheid) dan direktur STOVIA, usul ini tidak terlaksana.

Tahun 1900–1945

Keberadaan rabies membuat Pemerintah Hindia Belanda membuat ordonansi (peraturan) tentang penyakit anjing gila sepanjang 1905–1915. Staatsblad Tahun 1906 Nomor 283, misalnya, mewajibkan pemilik anjing untuk melaporkan jumlah anjingnya dan memberi identitas berupa medali, serta membayar pajak anjing. Sementara itu, peraturan pertama yang khusus mengatur kesehatan hewan adalah Staatsblad Tahun 1912 Nomor 432 tentang Peninjauan Kembali Ketentuan-Ketentuan tentang Pengawasan Pemerintah dalam Bidang Kehewanan dan Polisi Kehewanan. Ordonansi ini mengatur beberapa hal, seperti lembaga yang menangani urusan kehewanan, hak pemerintah dalam ekspor dan impor hewan untuk mencegah terbawanya penyakit, pengaturan tentang otoritas veteriner, dan pemberantasan penyakit hewan menular.

Otoritas veteriner atau kewenangan medis dokter hewan diatur dalam Staatsblad No. 432 Pasal 34 Ayat 1 yang jika diterjemahkan, artinya, "Kewenangan Medis Veteriner atau Veeartsnijkundige berupa keahlian dan kewenangan dimiliki oleh dokter hewan secara melekat sesudah lulus dari fakultas kedokteran hewan di Indonesia maupun di Negeri Belanda". Selain itu, Staatsblad Tahun 1915 nomor 732 yang mengesahkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juga mengatur tentang kehewanan. Baik menurut Staatsblad No. 432 maupun KUHP, definisi ternak hanya mencakup hewan pemamah biak, hewan berkuku satu, dan babi sehingga dokter hewan (lebih tepatnya dokter ternak) hanya menangani hewan-hewan tersebut.

Pada tahun 1908, Belanda mendirikan Laboratorium Veteriner (Veeartsenijkundig Laboratorium; saat ini menjadi Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor) untuk menangani wabah sampar sapi. Di laboratorium ini juga dibuka pendidikan dokter hewan bumiputra selama empat tahun yang bernama ”Cursus tot Opleiding van Inlandsche Veearstsen”. Siswa-siswanya berasal dari lulusan HBS atau MULO (setingkat SMP), dan sekolah-sekolah lain yang dianggap sederajat. Dua siswa pertamanya merupakan lulusan Sekolah Menengah Pertanian (Middelbare Landbouwschool atau MLS) yang setara dengan SMA sehingga mereka langsung diterima di tingkat III.

Awalnya, kursus ini berada di bawah pengawasan J.C. Koningsberger, Kepala Kebun Raya dan Museum Zoologi Bogor. Pada tahun 1908, L. de Blieck menjadi pimpinan laboratorium veteriner dan tahun berikutnya ia juga diberi tugas memimpin kursus. Pada tahun 1910 terjadi perubahan nama, ”Inlandsche Veeartsenschool” (Sekolah Dokter Hewan Bumiputra) dipilih untuk menggantikan nama kursus, sedangkan jabatan kepala sekolah (sekaligus kepala laboratorium) berubah menjadi direktur. Seorang siswa asal Minahasa, Johannes Alexander Kaligis, lulus pada tahun 1910 sebagai dokter hewan Indonesia yang pertama. Pada tahun 2010, seratus tahun setelah kelulusan Kaligis, dilakukan perayaan satu abad dokter hewan Indonesia.

Pada tahun 1914, nama pendidikan diubah lagi menjadi Sekolah Kedokteran Hewan Hindia Belanda (Nederlands Indische Veeartsenschool, disingkat NIVS). Sekolah ini menerima berbagai golongan, tidak hanya siswa bumiputra. NIVS lalu mengalami kemunduran karena kembali disatukan dengan laboratorium menjadi Institut Veteriner (Veeartsenijkundig Instituut, disingkat VI). Namun pada tahun 1919, NIVS kembali dipisahkan dari institut dan berdiri sendiri. Bahasa Jerman ikut diajarkan supaya siswa-siswanya dapat membaca buku-buku kedokteran hewan berbahasa Jerman. Lulusan NIVS yang berkinerja baik diberi kesempatan melanjutkan kuliah di Fakultas Kedokteran Hewan di Utrecht, Belanda, dengan langsung menjadi mahasiswa tingkat III. Selain Kaligis, dokter hewan Indonesia yang lulus dari Utrecht yaitu Soeparwi (kelak menjadi dekan pertama Fakultas Kedokteran Hewan UGM), Iskandar Titus, dan A.A. Ressang. Pada 1942, Institut Veteriner diubah menjadi Balai Penyidikan Penyakit Hewan (BPPH), yang kemudian mengalami beberapa perubahan nama lagi pascakemerdekaan Indonesia.

Pada masa pendudukan Jepang, nama NIVS diubah menjadi Bogor Semon Zui Gakko Sekolah ini akhirnya ditutup saat Jepang menyerah kepada tentara sekutu. Jumlah dokter hewan Indonesia yang dihasilkan sejak IVS didirikan, lalu berganti nama menjadi NIVS, dan terakhir Semon Zui Gakko, adalah 143 orang.

Masa setelah kemerdekaan

Tahun 1945–1949

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Sekolah Dokter Hewan (SDH) di Bogor dibuka kembali. Status SDH ditingkatkan menjadi Perguruan Tinggi Kedokteran Hewan (PTKH) sesuai Surat Keputusan Menteri Kemakmuran No. 1280a/Per. tanggal 20 September 1946 dengan lama pendidikan lima tahun. Wakil Presiden Mohammad Hatta membuka PTKH secara resmi pada bulan November 1946 dengan Dr. Mohede sebagai rektor magnifikus, sebutan bagi pemimpin PTKH.

Pergolakan Perang Kemerdekaan Indonesia menyebabkan PTKH dikuasai Belanda sehingga aktivitas perkuliahan terhenti.[83] Pada tahun 1947, atas persetujuan rektor PTKH dan Kementerian Kemakmuran, kelas pararel bernama Perguruan Tinggi Kedokteran Hewan Republik Indonesia (PTKH-RI) dibuka di Klaten, Jawa Tengah. Sementara di Bogor pada bulan Mei 1948, Belanda membentuk Faculteit der Diergeneeskunde (Fakultas Kedokteran Hewan) yang menjadi bagian dari Universiteit van Indonesië.

Ketika Yogyakarta sebagai ibu kota RI diserbu dalam peristiwa Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948, PTKH-RI ditutup. Kelas PTKH-RI dibuka kembali pada 1 November 1949 setelah Yogyakarta berada dalam penguasaan Pemerintah RI, tetapi lokasinya dipindah dari Klaten ke Yogyakarta. Pada tanggal 19 Desember 1949 semua perguruan tinggi di Yogyakarta bergabung menjadi Universiteit Negeri Gadjah Mada, dan PTKH-RI menjelma menjadi Fakultit Kedokteran Hewan UGM.Sebagai dekan pertama FKH UGM, salah satu perjuangan Soeparwi adalah mengubah istilah vee arts (dokter ternak) menjadi dieren arts (dokter hewan) sehingga cakupan ilmu dan pelayanan profesi ini menjadi lebih luas. Periode konflik dengan Belanda akhirnya usai setelah Konferensi Meja Bundar berlangsung sukses dan kedaulatan Indonesia dipulihkan pada 27 Desember 1949.

Tahun 1950–1999

Indonesia diterima sebagai anggota Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) pada tahun 1950. Sebagai negara anggota, salah satu kewajiban Indonesia adalah mengirimkan pemberitahuan (notifikasi) atas kejadian sejumlah penyakit hewan tertentu di negaranya. Kewajiban ini dilakukan guna menegakkan prinsip transparasi dan pelaporan mengenai situasi penyakit hewan di dunia.

Pada tanggal 3 Februari 1950 Universiteit Indonesia dibentuk yang terdiri atas beberapa fakulteit, di antaranya pertanian dan kedokteran hewan di Bogor. Nama Faculteit der Diergeneeskunde diubah menjadi Fakulteit Kedokteran Hewan Universiteit Indonesia (FKH-UI). Melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1955, istilah fakultit (yang digunakan UGM) dan fakulteit (yang digunakan UI) kemudian diseragamkan menjadi fakultas, sedangkan universiteit diubah menjadi universitas.

Untuk menangani penyakit mulut dan kuku (PMK) yang meluas, pemerintah mendirikan Balai Penyelidikan Penyakit Mulut dan Kuku (BPPMK) di Surabaya pada tahun 1952. Nama lembaga ini kemudian terus berubah, yaitu menjadi Lembaga Penyidikan Penyakit Mulut dan Kuku (tahun 1955) dan Lembaga Penyakit Mulut Kuku (1959). Lembaga ini pertama kali menghasilkan vaksin PMK sebanyak 58.300 dosis pada tahun 1964. Saat peran lembaga ini dibutuhkan untuk menangani lebih banyak penyakit, seperti rabies dan penyakit Newcastle, namanya pun diubah menjadi Lembaga Virologi Kehewanan (1967), lalu Pusat Veterinaria Farma (1978), dan terakhir Pusat Veteriner Farma (2012), yang bertugas melaksanakan produksi, pengujian, distribusi, dan pemasaran, serta pengembangan produksi vaksin, antisera, diagnostika, dan bahan biologis lainnya.

Pada 9 Januari 1953, organisasi dokter hewan bernama Perhimpunan Ahli Kehewanan yang didirikan sejak awal kemerdekaan mengadakan kongres pertama di Lembang, Jawa Barat. Dalam kongres ini, Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) dibentuk sebagai organisasi profesi dokter hewan Indonesia.

Dalam perkembangannya, pendidikan kedokteran hewan sempat digabungkan dengan peternakan. Di UGM, nama Fakultet Kedokteran Hewan berubah menjadi Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan (FKHP) pada tanggal 21 Juni 1955. Meskipun demikian, Fakultas Kedokteran Hewan dan Fakultas Peternakan berpisah pada 10 November 1969.]Hal yang sama juga terjadi di UI, nama FKH UI berubah menjadi Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan (FKHP) UI pada tahun 1960. Pada tahun 1962 nama Fakultas Kedokteran Hewan UI kembali digunakan, sedangkan pendidikan peternakan digabungkan dengan perikanan menjadi Fakultas Peternakan dan Perikanan UI.

Di Banda Aceh, Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan dibentuk pada 17 Oktober 1960 sebagai bagian dari Universitas Sumatera Utara. Pada 2 September 1961, Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) didirikan melalui Keputusan Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (PTIP) Nomor 11 tahun 1961 tanggal 21 Juli 1961 dengan FKHP sebagai salah satu fakultasnya.

Di Jawa Timur, pendidikan kedokteran hewan dibentuk atas kerja sama Universitas Airlangga Surabaya dan Universitas Brawijaya Malang. Universitas Brawijaya mendirikan Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan (FHKP) pada tahun 1961 yang kemudian diresmikan melalui Keputusan Menteri PTIP Nomor 92 Tahun 1962 dengan berada di bawah naungan Universitas Airlangga.  Pada tahun berikutnya, FKHP dikelola sepenuhnya oleh Universitas Brawijaya melalui Keputusan Menteri PTIP Nomor 1 Tahun 1963. Di Bogor, pada 1 September 1963 pemerintah membentuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui Keputusan Menteri PTIP Nomor 91 Tahun 1963. Sejak saat itu, FKH UI berubah menjadi FKH IPB. Di Surabaya sendiri, Jurusan Kedokteran Hewan dibuka pada 25 November 1969. Jurusan ini berada di bawah FKHP Universitas Brawijaya Malang. Pada tahun 1972, pendidikan kedokteran hewan di lingkungan Universitas Brawijaya Malang dipindahkan seluruhnya ke Universitas Airlangga Surabaya sehingga terbentuk Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga.

Setelah puluhan tahun menggunakan peraturan perundang-undangan warisan Belanda, pada tahun 1967, Pemerintah Indonesia mengesahkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan. Dalam UU ini, definisi hewan diperluas hingga menjadi "semua binantang yang hidup di darat, baik yang dipelihara maupun yang hidup secara liar". Selain itu, penerapan ilmu kedokteran hewan juga telah mencakup kesehatan hewan, kesehatan masyarakat veteriner, dan kesejahteraan hewan.

Di Denpasar, Bali, Universitas Udayana (Unud) membuka Jurusan Kedokteran Hewan pada tahun 1978 di bawah FKHP. Lima tahun kemudian, nama FKHP Unud berubah menjadi Fakultas Peternakan dan Program Studi Kedokteran Hewan. Status sebagai fakultas diperoleh pada tahun 1997 dengan didirikannya Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana.

Penyakit mulut dan kuku berhasil diberantas secara keseluruhan di Indonesia pada tahun 1986, setelah wabah terakhir ditemukan di Blora, Jawa Tengah, pada 1983. Status bebas PMK ini diakui di lingkup Asia Tenggara pada 1987 dan di lingkup dunia oleh OIE pada 1990.

Pada tahun 1992, dasar hukum penyelenggaraan karantina pada hewan dibuat tersendiri oleh pemerintah. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan pun terbit. Peraturan ini bertujuan untuk mencegah masuk, tersebar, dan keluarnya sejumlah penyakit hewan dan penyakit ikan tertentu, yang masing-masing disebut dengan hama dan penyakit hewan karantina (HPHK) serta hama dan penyakit ikan karantina (HPIK). Hewan diartikan sebagai binatang yang hidup di darat, sedangkan ikan sebagai biota perairan.

Tahun 2000–sekarang

Pada tahun 2000, Indonesia memperoleh status bebas dari penyakit sampar sapi oleh OIE dan FAO. Penyakit ini terakhir kali dilaporkan di Indonesia pada tahun 1907. Sampar sapi dinyatakan tereliminasi secara global di seluruh dunia pada tahun 2011.

Di bidang pendidikan, pada tahun 2001, Universitas Nusa Tenggara Barat Mataram membuka Program Studi Kedokteran Hewan, yang kemudian menjadi Universitas Pendidikan Mandalika pada tahun 2019. Pendidikan kedokteran hewan di universitas swasta bermula pada tahun 2008 saat Universitas Wijaya Kusuma Surabaya membentuk Fakultas Kedokteran Hewan. Pada tahun yang sama, Universitas Brawijaya Malang kembali membuka Program Kedokteran Hewan yang saat ini telah menjadi FKH Universitas Brawijaya.

Pemerintah kembali menerbitkan undang-undang yang mengatur dunia kedokteran hewan, yaitu UU Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang kemudian diperbarui melalui UU Nomor 41 Tahun 2014. Undang-undang ini mencabut UU Nomor 6 Tahun 1967 yang sudah puluhan tahun berlaku.

Pada tahun 2010, program studi kedokteran hewan dibuka di Universitas Nusa Cendana Kupang dan Universitas Hasanuddin Makassar. Terakhir, Universitas Padjadjaran Bandung membuka Program Studi Kedokteran Hewan yang berada di bawah Fakultas Kedokteran pada tahun 2019. Pada tahun yang sama, pemerintah mengesahkan UU Nomor 21 Tahun 2019 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan untuk menggantikan UU Nomor 16 Tahun 1992. Dalam UU baru ini, selain mencegah penyakit, pejabat karantina juga melakukan pengawasan dan pengendalian pada keamanan pangan, keamanan pakan, produk rekayasa genetik, sumber daya genetik, agensia hayati, jenis asing invasif, tumbuhan dan satwa liar, serta tumbuhan dan satwa langka.

Pandemi Covid-19 di Indonesia membuka pilihan bagi dokter hewan praktisi untuk mulai menerapkan telemedisin. Meskipun demikian, penerapannya memiliki beberapa hambatan, di antaranya karakteristik klien, legalitas telemedisin, penentuan biaya, dan penegakan diagnosis.

Sumber: id.wikipedia.org