Keanekaragaman hayati atau biodiversitas adalah variasi dan variabilitas kehidupan di Bumi. Keanekaragaman hayati biasanya merupakan ukuran variasi pada tingkat genetik, spesies, dan ekosistem. Biodiversitas daratan (terestrial) biasanya lebih besar di sekitar khatulistiwa, akibat iklim yang hangat dan produktivitas primer (aliran energi) yang tinggi. Keanekaragaman hayati tidak terdistribusi secara merata di Bumi, dan paling bervariasi di daerah tropis. Meskipun ekosistem hutan tropis hanya mencakup 10 persen dari permukaan Bumi, tetapi ekosistem ini memiliki sekitar 90 persen spesies yang ada di dunia. Keanekaragaman hayati laut biasanya tertinggi di sepanjang pantai Samudra Pasifik bagian barat, tempat suhu permukaan laut paling tinggi, dan di pita lintang tengah di semua lautan. Keanekaragaman spesies juga dipengaruhi gradien lintang. Keanekaragaman hayati umumnya cenderung mengelompok di titik panas, dan telah meningkat seiring waktu, tetapi kemungkinan akan melambat di masa depan.
Perubahan lingkungan yang cepat biasanya menyebabkan kepunahan massal. Lebih dari 99,9 persen dari semua spesies yang pernah hidup di Bumi, yang berjumlah lebih dari lima miliar spesies, diperkirakan telah punah. Perkiraan jumlah spesies Bumi saat ini berkisar antara 10 juta hingga 14 juta; sekitar 1,2 juta spesies telah dicatat, tetapi lebih dari 86 persen di antaranya belum dideskripsikan. Pada Mei 2016, para ilmuwan melaporkan bahwa diperkirakan ada 1 triliun spesies yang berada di Bumi saat ini, dan hanya seperseribu dari satu persen yang telah dideskripsikan. Jumlah total pasangan basa DNA di Bumi diperkirakan 5,0 x 1037 dengan berat 50 miliar ton. Sebagai perbandingan, total massa biosfer diperkirakan sebanyak 4 TtC (triliun ton karbon). Pada Juli 2016, para ilmuwan mengidentifikasi satu set yang terdiri atas 355 gen dari leluhur universal terakhir (LUCA) dari semua organisme yang hidup di Bumi.
Usia Bumi diperkirakan sekitar 4,54 miliar tahun. Bukti yang tak terbantahkan tentang awal kehidupan di Bumi paling tidak berasal dari 3,5 miliar tahun yang lalu,yaitu selama era Eoarkean setelah kerak geologis mulai mengeras, setelah sebelumnya meleleh pada eon Hadean. Ada fosil tikar mikrob yang ditemukan di batupasir berumur 3,48 miliar tahun di Australia Barat. Bukti fisik awal lain dari zat biogenik adalah grafit pada batuan metasedimentari berumur 3,7 miliar tahun yang ditemukan di Greenland Barat. Pada tahun 2015, "sisa-sisa kehidupan biotik" ditemukan di batuan berumur 4,1 miliar tahun di Australia bagian barat. Menurut salah satu peneliti, "Jika kehidupan muncul relatif cepat di Bumi .. maka ia bisa menjadi hal yang umum di alam semesta."
Sejak kehidupan dimulai di Bumi, lima kepunahan massal besar dan beberapa peristiwa kecil telah menurunkan keanekaragaman hayati secara besar dan mendadak. Eon Fanerozoikum (540 juta tahun terakhir) ditandai dengan pertumbuhan keanekaragaman hayati yang cepat melalui letusan Kambrium, sebuah periode ketika mayoritas filum organisme multiseluler pertama kali muncul. Selama 400 juta tahun berikutnya terjadi beberapa kali kepunahan massal, yaitu hilangnya keanekaragaman hayati secara besar-besaran. Pada periode Karbon, hancurnya hutan hujan menyebabkan hilangnya kehidupan tumbuhan dan hewan. Peristiwa kepunahan Perm–Trias yang berlangsung 251 juta tahun lalu merupakan kepunahan terburuk; organisme vertebrata memerlukan waktu 30 juta tahun untuk kembali pulih dari peristiwa ini. Kepunahan terakhir, yaitu peristiwa kepunahan Kapur–Paleogen yang terjadi 65 juta tahun lalu, lebih menarik perhatian dibandingkan peristiwa kepunahan lainnya karena mengakibatkan kepunahan dinosaurus non-avian.
Sejak munculnya manusia, pengurangan keanekaragaman hayati dan hilangnya keanekaragaman genetik terus berlangsung. Peristiwa ini dinamakan kepunahan Holosen, yaitu pengurangan yang terutama diakibatkan oleh manusia, terutama penghancuran habitat. Sebaliknya, keanekaragaman hayati memberi pengaruh positif terhadap kesehatan manusia melalui berbagai cara, walaupun beberapa dampak negatifnya sedang dipelajari.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan periode tahun 2011–2020 sebagai Dekade Keanekaragaman Hayati PBB, dan periode 2021–2030 sebagai Dekade Restorasi Ekosistem PBB. Menurut Laporan Penilaian Global tentang Keanekaragaman Hayati dan Layanan Ekosistem pada tahun 2019 oleh IPBES, 25% spesies tumbuhan dan hewan terancam punah akibat aktivitas manusia.
Etimologi
- 1916 – Istilah keanekaragaman biologis (biological diversity) pertama kali digunakan oleh J. Arthur Harris pada makalahnya yang berjudul "The Variable Desert" dalam jurnal Scientific American, JSTOR 6182: "Pernyataan dasar bahwa wilayah tersebut memiliki flora yang kaya akan genus dan spesies serta keragaman asal geografis atau afinitas yang sepenuhnya tidak memadai sebagai deskripsi keanekaragaman biologis yang sebenarnya."
- 1975 – Istilah keanekaragaman alami (natural diversity) diperkenalkan (oleh Divisi Sains dari Konservasi Alam pada studi tahun 1975, "Preservasi Keanekaragaman Alami")
- 1980 – Thomas Lovejoy memperkenalkan istilah keanekaragaman biologis (biological diversity) pada komunitas ilmiah melalui buku. Istilah ini dengan cepat digunakan secara umum.
- 1985 – Berdasarkan Edward O. Wilson, penyingkatan istilah menjadi biodiversitas (biodiversity) dilakukan oleh W. G. Rosen: Forum Nasional tentang Biodiversitas ... dibentuk oleh Walter G. Rosen ... Dr. Rosen mewakili NRC/NAS sepanjang tahap perencanaan proyek. Lebih jauh, ia memperkenalkan istilah "biodiversitas".
- 1985 – Istilah "biodiversitas" muncul dalam artikel, "Rencana Baru untuk Mengonservasi Biota Bumi" oleh Laura Tangley.
- 1988 – Istilah biodiversitas pertama kali muncul dalam publikasi.
- Saat ini – Istilah biodiversitas telah digunakan secara luas.
Definisi
Istilah "keanekaragaman hayati" paling banyak dipakai untuk menggantikan istilah yang sudah lebih dahulu didefinisikan dengan jelas, yaitu keanekaragaman spesies dan kekayaan spesies. Ahli biologi sering kali mendefinisikan keanekaragaman hayati sebagai "keseluruhan gen, spesies, dan ekosistem di suatu wilayah". Keuntungan dari definisi ini yaitu menggambarkan sebagian besar keadaan dan menyajikan pandangan terpadu tentang jenis keanekaragaman hayati tradisional yang telah diidentifikasi sebelumnya:
- keanekaragaman taksonomi (biasanya diukur pada tingkat keanekaragaman spesies)
- keanekaragaman ekologis (sering dilihat dari perspektif keanekaragaman ekosistem)
- keanekaragaman morfologi (yang berasal dari keanekaragaman genetik dan keanekaragaman molekuler)
- keanekaragaman fungsional (yang merupakan ukuran jumlah spesies yang berbeda secara fungsional dalam suatu populasi, misalnya cara makan yang berbeda, pergerakan yang berbeda, predator vs mangsa, dll.) Konstruksi bertingkat ini konsisten dengan Datman dan Lovejoy.
Definisi eksplisit yang konsisten dengan interpretasi ini pertama kali dituliskan dalam makalah Bruce A. Wilcox yang ditugaskan oleh Uni Internasional untuk Konservasi Alam dan Sumber Daya Alam (IUCN) dalam Konferensi Taman Nasional Dunia 1982. Definisi Wilcox yaitu "Keanekaragaman hayati adalah keanekaragaman bentuk kehidupan ... pada semua tingkat sistem biologis (yaitu, molekuler, organisme, populasi, spesies, dan ekosistem) ...". Pada tahun 1984, Wilcox kembali mendefisikan keanekaragaman hayati secara genetis sebagai keanekaragaman alel, gen, dan organisme, yang mempelajari proses seperti mutasi dan transfer gen yang mendorong terjadinya evolusi.
Konferensi Tingkat Tinggi Bumi Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1992 mendefinisikan "keanekaragaman hayati" sebagai "variabilitas di antara organisme hidup dari semua sumber, termasuk, antara lain, ekosistem darat, ekosistem laut dan perairan lainnya, serta kompleks ekologis di tempat mereka menjadi bagiannya: termasuk keanekaragaman dalam spesies, di antara spesies, dan ekosistem".Definisi ini digunakan dalam Konvensi Keanekaragaman Hayati PBB. Sementara itu, definisi Gaston dan Spicer dalam buku mereka "Biodiversity: an Introduction" adalah "variasi kehidupan di semua tingkatan organisasi biologis".
Distribusi
Keanekaragaman hayati tidak terdistribusi secara merata. Sifatnya sangat beragam di seluruh penjuru Bumi, serta di dalam kawasan tertentu. Beberapa faktor memengaruhi keanekaragaman semua makhluk hidup (biota), misalnya suhu, curah hujan, ketinggian, tanah, geografi, dan keberadaan spesies lain. Studi tentang distribusi spasial organisme, spesies, dan ekosistem, adalah ilmu biogeografi.
Tingkat keanekaragaman secara konsisten lebih tinggi di daerah tropis dan di beberapa wilayah lokal lainnya, seperti Wilayah Tanjung Floristik, dan umumnya lebih rendah di wilayah kutub. Hutan hujan yang sejak lama memiliki iklim basah, seperti Taman Nasional Yasuní di Ekuador, memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi.
Keanekaragaman hayati darat diperkirakan 25 kali lebih besar dibandingkan keanekaragaman hayati lautan. Metode baru yang digunakan pada tahun 2011, memperkirakan keseluruhan jumlah spesies di Bumi sebesar 8,7 juta, dengan 2,1 juta di antaranya diperkirakan hidup di lautan. Namun, perkiraan ini tampaknya kurang mewakili keanekaragaman mikroorganisme.
- Gradien lintang
Secara umum, keanekaragaman hayati semakin meningkat dari daerah kutub ke daerah tropis. Dengan demikian, lokasi yang garis lintangnya lebih rendah memiliki lebih banyak spesies dibandingkan daerah yang garis lintangnya lebih tinggi. Hal ini sering disebut sebagai gradien lintang dalam keanekaragaman spesies. Beberapa faktor ekologis mungkin berkontribusi pada gradien ini, tetapi faktor utamanya adalah suhu rata-rata yang di ekuator yang tinggi dibandingkan dengan kutub.
Meskipun keanekaragaman hayati darat semakin menurun dari garis khatulistiwa ke kutub, beberapa penelitian menyimpulkan bahwa sifat ini tidak diverifikasi dalam ekosistem perairan, terutama dalam ekosistem laut. Distribusi parasit secara latitudinal tampaknya tidak mengikuti aturan ini.
Pada tahun 2016, hipotesis alternatif ("keanekaragaman hayati fraktal") diusulkan untuk menjelaskan gradien lintang keanekaragaman hayati Dalam studi ini, ukuran kumpulan spesies dan sifat fraktal ekosistem digabungkan untuk memperjelas beberapa pola umum gradien ini. Hipotesis ini mempertimbangkan suhu, kelembaban, dan produksi primer bersih (NPP) sebagai variabel utama ceruk ekosistem dan sebagai poros dari hipervolume ekologis. Dengan cara ini, dimungkinkan untuk membangun hipervolume fraktal, yang dimensi fraktalnya naik menjadi tiga, yang bergerak ke arah khatulistiwa.
- Titik panas
Titik panas keanekaragaman hayati adalah wilayah dengan spesies endemik tingkat tinggi yang telah mengalami pengrusakan habitat yang luar biasa. Istilah titik panas (hotspot) diperkenalkan pada tahun 1988 oleh Norman Myers. Meskipun titik panas tersebar di seluruh dunia, kebanyakan di antaranya merupakan kawasan hutan dan sebagian besar terletak di daerah tropis.
Hutan Atlantik Brasil dianggap sebagai salah satu titik panas, yang berisi sekitar 20.000 spesies tumbuhan, 1.350 vertebrata, dan jutaan serangga, sekitar setengahnya tidak ditemukan di tempat lain. Pulau Madagaskar dan India juga sangat terkenal. Kolombia dicirikan oleh keanekaragaman hayati yang tinggi, dengan tingkat spesies tertinggi berdasarkan satuan luas di seluruh dunia dan memiliki jumlah endemik terbesar (spesies yang secara alami tidak ditemukan di tempat lain) di negara mana pun. Sekitar 10% dari spesies organisme di Bumi dapat ditemukan di Kolombia, termasuk lebih dari 1.900 spesies burung, lebih banyak daripada di Eropa dan Amerika Utara, Kolombia memiliki 10% spesies mamalia dunia, 14% spesies amfibi, dan 18% dari spesies burung di dunia. Hutan kering Madagaskar dan hutan hujan dataran rendah memiliki rasio endemisme yang tinggi. Karena pulau ini terpisah dari daratan Afrika 66 juta tahun yang lalu, banyak spesies dan ekosistemnya yang berevolusi secara mandiri. Dengan 17.000 pulau, Indonesia memiliki luas 1.354.555 mil persegi (1.904.560 km2) dan memiliki 10% dari tumbuhan berbunga di dunia, 12% dari [[mamalia, serta 17% dari reptil, amfibi, dan burung Banyak daerah dengan keanekaragaman hayati dan/atau endemisme yang tinggi muncul dari habitat khusus yang memerlukan adaptasi yang tidak biasa, misalnya, lingkungan pegunungan Alpen di pegunungan tinggi, atau rawa gambut Eropa Utara. Sulit untuk mengukur perbedaan keanekaragaman hayati secara akurat. Bias seleksi di antara para peneliti dapat menimbulkan penelitian empiris yang bias untuk perkiraan modern mengenai keanekaragaman hayati.
Evolusi
- Kronologi
Keanekaragaman hayati merupakan hasil dari evolusi selama 3,5 miliar tahun. Asal-usul kehidupan belum dipastikan oleh sains, tetapi beberapa bukti menunjukkan bahwa kehidupan mungkin telah ada hanya beberapa ratus juta tahun setelah Bumi terbentuk. Hingga sekitar 2,5 miliar tahun yang lalu, semua kehidupan terdiri dari mikroorganisme, yaitu arkea, bakteri, serta protozoa dan protista bersel tunggal.
Sejarah keanekaragaman hayati pada Eon Fanerozoikum (540 juta tahun terakhir), dimulai dengan pertumbuhan yang cepat melalui letusan Kambrium, yaitu periode ketika hampir setiap filum organisme multiseluler pertama kali muncul. Selama kurang lebih 400 juta tahun berikutnya, keanekaragaman invertebrata menunjukkan sedikit peningkatan tren secara keseluruhan, sementara keanekaragaman vertebrata menunjukkan tren peningkatan eksponensial secara keseluruhan. Peningkatan dramatis dalam keanekaragaman ini juga diikuti dengan hilangnya keanekaragaman besar secara berkala yang digolongkan sebagai peristiwa kepunahan massal. Kerugian yang signifikan terjadi ketika hutan hujan mengalami kerusakan pada periode Karbon. Kepunahan yang terburuk adalah peristiwa kepunahan Perm-Trias, 251 juta tahun yang lalu. Organisme vertebrata membutuhkan waktu 30 juta tahun untuk kembali pulih dari peristiwa ini.
Catatan fosil menunjukkan bahwa beberapa juta tahun terakhir memiliki keanekaragaman hayati terbesar sepanjang sejarah. Namun, tidak semua ilmuwan mendukung pandangan ini, karena ada ketidakpastian mengenai seberapa kuat rekaman fosil tersebut mengalami bias akibat ketersediaan dan pelestarian fosil yang lebih besar pada periode geologi baru-baru ini. Beberapa ilmuwan percaya bahwa dengan melakukan koreksi atas pengambilan sampel artefak, keanekaragaman hayati modern mungkin tidak jauh berbeda dari keanekaragaman hayati 300 juta tahun yang lalu, sedangkan peneliti lain menganggap catatan fosil telah cukup mencerminkan diversifikasi kehidupan. Perkiraan keanekaragaman spesies makroskopis global saat ini berkisar dari 2 juta hingga 100 juta, dengan perkiraan terbaik sekitar 9 juta, sebagian besar di antaranya merupakan artropoda. Keragaman tampaknya terus meningkat tanpa adanya seleksi alam.
- Diversifikasi
Keberadaan daya dukung global, yang membatasi jumlah kehidupan yang dapat hidup sekaligus pada satu waktu, masih diperdebatkan. Timbul pula pertanyaan seperti apakah batas tersebut juga akan membatasi jumlah spesies. Catatan kehidupan di laut menunjukkan pola pertumbuhan logistik, sementara kehidupan di darat (serangga, tanaman, dan tetrapoda) menunjukkan peningkatan keanekaragaman yang eksponensial. Seperti yang dinyatakan dalam sebuah penelitian bahwa, "Tetrapoda belum menginvasi 64 persen area yang berpotensi layak huni dan bisa jadi bahwa tanpa pengaruh manusia, keanekaragaman hayati dan taksonomi tetrapoda akan terus meningkat secara eksponensial sampai mengisi sebagian besar atau semua area ekologis yang ada." Selain itu, keanekaragaman juga terlihat terus meningkat dari waktu ke waktu, terutama setelah kepunahan massal.
Di sisi lain, perubahan selama Eon Fanerozoikum berkorelasi jauh lebih baik dengan model hiperbolik (model yang banyak digunakan dalam biologi populasi, demografi dan sosiologi makro, serta keanekaragaman hayati fosil) dibandingkan dengan model eksponensial dan logistik. Model logistik menyiratkan bahwa perubahan dalam keanekaragaman dipandu oleh umpan balik positif tingkat pertama (lebih banyak leluhur, lebih banyak keturunan) dan/atau umpan balik negatif yang timbul dari keterbatasan sumber daya. Model hiperbolik menyiratkan umpan balik positif tingkat kedua. Perbedaan dalam kekuatan umpan balik tingkat kedua akibat intensitas persaingan antarspesies mungkin menjelaskan rediversifikasi Ammonoidea yang lebih cepat dibandingkan dengan Bivalvia setelah kepunahan Permian akhir. Model hiperbolik pertumbuhan populasi dunia muncul dari umpan balik positif tingkat kedua antara ukuran populasi dan laju pertumbuhan teknologi. Karakter hiperbolik dari pertumbuhan keanekaragaman hayati dapat juga dijelaskan dengan umpan balik antara keragaman dan kompleksitas struktur komunitas. Kesamaan antara kurva keanekaragaman hayati dan populasi manusia mungkin berasal dari fakta bahwa keduanya berasal dari campur tangan tren hiperbolik dengan dinamika siklus dan stokastik.
Namun, sebagian besar ahli biologi sepakat bahwa periode sejak kemunculan manusia adalah bagian dari kepunahan massal baru, yang disebut peristiwa kepunahan Holosen, yang terutama disebabkan oleh dampak yang ditimbulkan manusia terhadap lingkungan. Tingkat kepunahan saat ini dipandang cukup untuk menghilangkan sebagian besar spesies di planet Bumi dalam 100 tahun.
Spesies baru ditemukan secara rutin (rata-rata antara 5–10.000 spesies baru setiap tahun, kebanyakan merupakan serangga) dan banyak di antara mereka yang belum diklasifikasikan (diperkirakan bahwa hampir 90% dari semua artropoda belum diklasifikasikan). Sebagian besar keanekaragaman terestrial ditemukan di hutan tropis dan secara umum, wilayah daratan memiliki lebih banyak spesies dibandingkan lautan; sekitar 8,7 juta spesies mungkin ada di Bumi dan sekitar 2,1 juta di antaranya hidup di lautan.
Manfaat untuk manusia
- Keseimbangan bukti
"Jasa ekosistem adalah rangkaian manfaat yang disediakan ekosistem bagi umat manusia." Spesies alami, atau biota, merupakan penjaga semua ekosistem. Seolah-olah dunia alami adalah rekening bank yang besar dari aset modal yang mampu membayar dividen seumur hidup tanpa batas waktu, tetapi hanya jika modalnya dipertahankan.
Manfaat ini meliputi tiga bentuk layanan:
- Layanan penyediaan yang melibatkan produksi sumber daya terbarukan (misalnya makanan, kayu, air tawar)
- Layanan pengatur yang mengurangi perubahan lingkungan (misalnya peraturan iklim, pengendalian hama atau penyakit)
- Layanan budaya yang mewakili nilai dan kenikmatan manusia (misalnya estetika lanskap, warisan budaya, rekreasi luar ruangan, dan signifikansi spiritual).
Ada banyak klaim tentang efek keanekaragaman hayati terhadap layanan ekosistem ini, terutama layanan penyediaan dan pengaturan. Survei mendalam melalui tinjauan sejawat dilakukan untuk mengevaluasi 36 klaim tentang efek keanekaragaman hayati terhadap layanan ekosistem. Hasilnya, 14 klaim tersebut divalidasi, 6 klaim bercampur antara didukung atau tidak didukung, 3 klaim tidak benar, dan 13 klaim kekurangan cukup bukti untuk mendapatkan kesimpulan definitif.
- Pertanian
Keanekaragaman pertanian dapat dibagi menjadi dua kategori. Kategori pertama yaitu keanekaragaman intraspesifik, yang mencakup variasi genetik dalam satu spesies, seperti kentang (Solanum tuberosum) yang terdiri dari berbagai bentuk dan jenis (misalnya di AS yang membandingkan kentang cokelat muda dengan kentang baru atau kentang ungu, semua kentang tersebut berbeda, tetapi merupakan bagian dari spesies yang sama, S. tuberosum). Kategori kedua disebut keanekaragaman interspesifik dan mengacu pada jumlah dan jenis spesies yang berbeda. Contoh keanekaragaman yaitu berbagai tumbuhan berbeda yang ditanam oleh petani sayuran kecil, misalnya kentang, wortel, paprika, selada, dan sebagainya.
Keanekaragaman pertanian juga dapat dibagi menjadi keanekaragaman yang 'direncanakan' atau keanekaragaman 'terkait'. Pengelompokan ini merupakan klasifikasi fungsional dan bukan sifat intrinsik kehidupan. Keanekaragaman yang direncanakan misalnya tumbuhan yang didukung, ditanam, atau dibesarkan oleh petani (misalnya tanaman, simbion, dan hewan ternak), yang dapat dibedakan dengan keanekaragaman 'terkait' yang muncul dari tumbuhan tanpa diatur (misalnya herbivora serta spesies gulma dan patogen).
Pengendalian keanekaragaman hayati terkait merupakan salah satu tantangan besar yang dihadapi petani. Pada pertanaman tunggal (monokultur), pendekatan yang diambil untuk memberantas keanekaragaman terkait umumnya menggunakan pestisida yang merusak secara biologis, peralatan mekanis dan teknik rekayasa transgenik, kemudian rotasi tanaman. Meskipun sebagian petani pertanaman campuran (polikultur) menggunakan teknik yang sama, mereka juga menggunakan strategi pengendalian hama terpadu serta strategi yang lebih padat karya, tetapi umumnya kurang bergantung pada modal, bioteknologi, dan energi.
Keanekaragaman interspesifik juga menentukan sebagian variasi makanan kita. Keanekaragaman intraspesifik, berupa variasi alel dalam satu spesies, juga menawarkan kita pilihan untuk memilih diet. Jika pertanaman tunggal mengalami kegagalan panen, kita mengandalkan keanekaragaman pertanian untuk menanam kembali lahan dengan tumbuhan baru. Jika tanaman gandum dihancurkan oleh hama, kita mungkin menanam varietas gandum yang lebih kuat pada tahun berikutnya, dengan mengandalkan keanekaragaman intraspesifik. Kita juga dapat meninggalkan produksi gandum di daerah tersebut dan menanam spesies lain yang berbeda, tergantung pada keanekaragaman interspesifik. Bahkan, masyarakat agraris yang terutama menanam secara monokultur, pada titik tertentu tetap bergantung pada keanekaragaman hayati.
- Wabah Kelaparan Besar Irlandia tahun 1846 akibat matinya tanaman kentang merupakan faktor utama dalam kematian satu juta orang dan emigrasi jutaan lainnya. Hal ini diakibatkan oleh penanaman kentang yang hanya dua varietas, yang keduanya rentan terhadap penyakit busuk daun, akibat Phytophthora infestans, yang tiba pada tahun 1845.
- Ketika rice grassy stunt virus melanda sawah dari Indonesia hingga India pada 1970-an, sebanyak 6.273 varietas diuji ketahanannya. Hanya satu varietas yang tahan, yaitu varietas India dan telah dikenal di dunia ilmu pengetahuan sejak 1966. Varietas ini membentuk hibrida dengan varietas lainnya yang sekarang banyak ditanam.
- Ketika karat kopi akibat Hemileia vastatrix yang menyerang perkebunan kopi di Sri Lanka, Brasil, dan Amerika Tengah pada tahun 1970, varietas yang tahan ditemukan di Etiopia. Penyakit itu sendiri merupakan bentuk keanekaragaman hayati.
- Pertanaman tunggal adalah faktor yang berkontribusi terhadap bencana pertanian, termasuk runtuhnya industri anggur Eropa pada akhir abad ke-19, dan epidemi penyakit busuk daun pada jagung di Amerika Serikat bagian selatan pada tahun 1970.
Meskipun sekitar 80 persen dari pasokan makanan manusia berasal dari 20 jenis tumbuhan saja, manusia menggunakan setidaknya 40.000 spesies. Banyak orang tergantung pada spesies ini untuk makanan, tempat tinggal, dan pakaian. Keanekaragaman hayati yang masih hidup menyediakan sumber daya untuk meningkatkan variasi makanan dan produk lainnya yang cocok untuk digunakan manusia, meski laju kepunahan memperkecil potensi tersebut.
- Kesehatan manusia
Relevansi keanekaragaman hayati terhadap kesehatan manusia menjadi isu politik internasional, ketika bukti ilmiah menunjukkan implikasi kesehatan dunia akibat hilangnya keanekaragaman hayati. Masalah ini terkait erat dengan isu perubahan iklim, karena banyak risiko kesehatan—yang mengantisipasi perubahan iklim—dikaitkan dengan perubahan keanekaragaman hayati (misalnya perubahan populasi dan distribusi vektor penyakit, kelangkaan air bersih, dampak terhadap keanekaragaman hayati pertanian dan sumber makanan, dan lain-lain). Spesies yang paling mungkin hilang adalah mereka menjadi penyangga melawan penularan penyakit infeksi, sementara spesies yang bertahan cenderung merupakan spesies yang meningkatkan penularan penyakit, seperti pada kasus infeksi virus West Nile, penyakit Lyme, dan infeksi Hantavirus, menurut sebuah penelitian di Universitas Cornell.
Meningkatnya permintaan dan kurangnya ketersediaan air minum di planet ini merupakan tantangan tambahan bagi masa depan kesehatan manusia. Sebagian masalahnya terletak pada keberhasilan pemasok air untuk meningkatkan suplai, dan kegagalan kelompok penggerak pelestarian sumber daya air. Meskipun distribusi air bersih meningkat, di beberapa bagian dunia tetap tidak setara. Menurut WHO pada 2008, hanya 71% populasi dunia yang dapat mengakses air bersih yang bisa diminum.
Sebagian masalah kesehatan dipengaruhi oleh keanekaragaman hayati, seperti keamanan dan ketahanan pangan, penyakit menular, ilmu dan sumber daya kedokteran, serta kesehatan sosial dan psikologis. Keanekaragaman hayati juga diketahui berperan penting dalam mengurangi risiko bencana dan dalam upaya pemulihan pascabencana.
Keanekaragaman hayati memberi dukungan penting dalam penemuan obat dan ketersediaan sumber daya obat. Sebagianobat berasal dari sumber biologi (baik secara langsung atau tidak langsung): setidaknya 50% senyawa farmasi di pasar AS berasal dari tumbuhan, hewan, dan mikroorganisme, sementara sekitar 80% populasi dunia berrgantung pada obat-obatan dari alam (yang digunakan baik dalam praktik medis modern maupun tradisional) untuk kesehatan primer. Hanya sebagian kecil spesies liar yang telah diteliti untuk mengetahui potensi medisnya. Keanekaragaman hayati merupakan hal penting untuk kemajuan seluruh bidang bionik. Analisis pasar dan ilmu pengetahuan keanekaragaman hayati menunjukkan bahwa penurunan keluaran dari sektor farmasi sejak pertengahan 1980-an dapat dikaitkan dengan perpindahan dari eksplorasi produk alami (pencarian hayati) menjadi pendekatan genomik dan kimia sintetis, karena nilai dari produk farmasi yang belum ditemukan mungkin tidak memberikan insentif yang cukup tinggi bagi perusahaan di pasar bebas untuk mencarinya akibat tingginya biaya riset dan pengembangan; sementara itu, produk alami memiliki sejarah panjang dalam mendukung inovasi dalam bidang ekonomi dan kesehatan yang signifikan. Ekosistem laut sangat penting, walaupun pencarian hayati yang tidak sesuai dapat meningkatkan hilangnya keanekaragaman hayati serta melanggar hukum masyarakat dan negara tempat sumber tersebut diambil.
- Bisnis dan industri
Banyak bahan baku industri diambil langsung dari sumber biologis, termasuk bahan bangunan, serat, pewarna, karet, dan minyak. Keanekaragaman hayati juga penting untuk keamanan sumber daya seperti air, kayu, kertas, serat, dan makanan. Akibatnya, hilangnya keanekaragaman hayati merupakan faktor risiko yang signifikan dalam pengembangan bisnis dan ancaman bagi keberlanjutan ekonomi jangka panjang.
- Kenyamanan, budaya dan nilai estetika
Keanekaragaman hayati memperkaya kegiatan rekreasi seperti mendaki, mengamati burung, atau mempelajari sejarah alam. Keanekaragaman hayati mengilhami musisi, pelukis, pemahat, sastrawan, dan seniman lainnya. Banyak kebudayaan melihat diri mereka sebagai bagian integral dari alam yang mengharuskan mereka untuk menghormati makhluk hidup lainnya.
Kegiatan populer seperti berkebun, memelihara ikan, dan mengumpulkan spesimen sangat tergantung pada keanekaragaman hayati. Jumlah spesies terlibat dalam kegiatan tersebut mencapai puluhan ribu, meskipun sebagian besar tidak diperdagangkan.
Hubungan yang cukup kompleks dan kurang dipahami terjadi antara habitat alam asli dari hewan dan tumbuhan ini (yang sering kali bersifat eksotik) dengan kolektor, pemasok, peternak, dan pelaku budi daya komersial, serta orang-orang yang mempromosikan pemahaman dan kenikmatan mereka. Masyarakat umum memberi respons yang baik terhadap paparan organisme langka dan tidak biasa, yang mencerminkan nilai yang melekat pada mereka.
Secara filosofis dapat dikatakan bahwa keanekaragaman hayati memiliki nilai estetika dan spiritual yang intrinsik untuk umat manusia itu sendiri. Gagasan ini dapat digunakan sebagai penyeimbang terhadap anggapan bahwa hutan tropis dan ekologi alam lain hanya layak dikonservasi karena manfaat yang mereka berikan.
- Layanan ekologi
Keanekaragaman hayati mendukung banyak layanan ekosistem:
"Sekarang ada bukti nyata bahwa hilangnya keanekaragaman hayati mengurangi efisiensi pada komunitas ekologis yang menangkap sumber daya biologis penting, menghasilkan biomassa, menguraikan dan mendaur ulang nutrisi penting biologis ... Ada bukti kuat bahwa keanekaragaman hayati meningkatkan stabilitas fungsi ekosistem melalui waktu ... Komunitas yang beragam lebih produktif karena mengandung spesies kunci yang memiliki pengaruh besar terhadap produktivitas dan perbedaan sifat fungsional di antara organisme yang meningkatkan penangkapan jumlah sumber daya... Dampak hilangnya keanekaragaman terhadap proses ekologis mungkin cukup besar untuk menyaingi dampak dari banyak pendorong global perubahan lingkungan lainnya... Mempertahankan berbagai proses ekosistem di berbagai tempat dan waktu membutuhkan tingkat keanekaragaman hayati yang lebih tinggi dibandingkan proses tunggal di satu tempat dan waktu."
Keanekaragaman hayati berperan dalam mengatur kimiawi atmosfer dan persediaan air kita, serta terlibat secara langsung dalam pemurnian air, daur ulang nutren, dan penyediaan tanah yang subur. Eksperimen dengan lingkungan terkendali menunjukkan bahwa manusia tidak dapat membangun ekosistem untuk mendukung kebutuhan manusia dengan mudah; misalnya penyerbukan serangga tidak dapat ditiru, meskipun telah ada upaya untuk menciptakan penyerbuk buatan menggunakan pesawat tanpa awak. Kegiatan ekonomi penyerbukan saja mewakili antara Rp34.008,45–236.439,70 miliar pada tahun 2003.
- Jumlah spesies
Menurut penelitian Mora dan rekannya, jumlah spesies darat diperkirakan sekitar 8,7 juta, sementara jumlah spesies laut jauh lebih rendah, diperkirakan 2,2 juta. Para penulis menyampaikan bahwa perkiraan ini paling diyakini untuk organisme eukariota dan kemungkinan mewakili batas bawah keanekaragaman prokariota. Perkiraan lain termasuk:
- 220.000 tumbuhan berpembuluh, yang jumlahnya diperkirakan menggunakan metode hubungan spesies-area.
- 0,7–1 juta spesies laut.
- 10–30 juta serangga; (dari sekitar 0,9 juta yang kita kenal sekarang)
- 5–10 juta bakteri.
- 1,5–3 juta fungi, perkiraan berdasarkan data dari daerah tropis, situs nontropis jangka panjang dan studi molekuler mengungkapkan spesiasi samar. Sekitar 0,075 juta spesies fungi didokumentasikan pada tahun 2001.
- 1 juta tungau.
- Jumlah spesies mikroorganisme tidak diketahui secara pasti, tetapi Ekspedisi Pengambilan Sampel Lautan Global secara dramatis meningkatkan perkiraan keanekaragaman genetik dengan mengidentifikasi sejumlah besar gen baru dari sampel plankton yang hidup di dekat permukaan di berbagai lokasi laut, yang diawali pada periode 2004–2006. Temuan ini pada akhirnya dapat menyebabkan perubahan signifikan dalam cara sains mendefinisikan spesies dan kategori taksonomi lainnya.
Karena tingkat kepunahan meningkat, banyak spesies yang masih ada dapat punah sebelum dideskripsikan. Tidak mengherankan, pada filum hewan, kelompok yang paling banyak dipelajari adalah burung dan mamalia, sedangkan ikan dan artropoda adalah kelompok hewan yang paling sedikit dipelajari.
- Laju kehilangan spesies
“ Kita tidak lagi harus membenarkan keberadaan hutan tropis lembab dengan alasan lemah bahwa mereka mungkin memiliki tumbuhan obat-obatan yang menyembuhkan penyakit manusia. Teori Gaia memaksa kita untuk melihat bahwa mereka menawarkan lebih dari hal ini. Dengan kapasitas untuk melakukan evapotranspirasi sejumlah besar uap air, mereka berfungsi untuk menjaga planet ini tetap dingin dengan mengenakan kerai berupa awan putih pemantul. Mengganti mereka dengan lahan pertanian dapat memicu bencana yang berskala global. ”
— James Lovelock, dalam Biodiversity (E. O. Wilson (Ed))
Pada abad ke-21, penurunan keanekaragaman hayati semakin banyak diamati. Pada tahun 2007, Menteri Lingkungan Federal Jerman Sigmar Gabriel mengutip perkiraan bahwa hingga 30% dari semua spesies akan punah pada tahun 2050. Dari jumlah tersebut, sekitar seperdelapan spesies tumbuhan yang diketahui saat ini terancam punah. Perkiraan kepunahan mencapai 140.000 spesies per tahun (berdasarkan teori spesies-area). Angka ini menunjukkan praktik ekologi yang tidak berkelanjutan karena hanya sedikit spesies yang muncul setiap tahun. Hampir semua ilmuwan mengakui bahwa laju kehilangan spesies pada saat ini lebih besar dibandingkan dengan seluruh periode sejarah manusia, dengan laju kepunahan terjadi ratusan kali lebih tinggi dibandingkan laju kepunahan normal. Pada 2012, beberapa penelitian menunjukkan bahwa 25% dari semua spesies mamalia dapat punah dalam 20 tahun.
Secara absolut, planet ini telah kehilangan 58% keanekaragaman hayati sejak tahun 1970 menurut sebuah studi 2016 oleh Dana Dunia Untuk Alam (WWF). The Living Planet Report 2014 yang diterbitkan WWF mengklaim bahwa "jumlah mamalia, burung, reptil, amfibi, dan ikan di seluruh dunia, rata-rata, sekitar setengah ukurannya pada 40 tahun yang lalu". Dari jumlah tersebut, 39% merupakan angka untuk hilangnya satwa liar darat, 39% untuk satwa liar laut, dan 76% untuk satwa liar air tawar. Keanekaragaman hayati mengalami pukulan terbesar di Amerika Latin, yaitu anjlok sebesar 83 persen. Negara-negara berpenghasilan tinggi menunjukkan peningkatan 10% dalam keanekaragaman hayati, sedangkan negara-negara berpenghasilan rendah mengalami penurunan. Hal ini terlepas dari kenyataan bahwa negara-negara berpenghasilan tinggi menggunakan sumber daya ekologis lima kali lebih banyak dibandingkan negara-negara berpenghasilan rendah. Meskipun demikian, negara-negara kaya melakukan alih daya penipisan sumber daya ke negara-negara miskin, yang menderita kerugian ekosistem terbesar.
Sebuah studi tahun 2017 yang diterbitkan dalam PLOS One menemukan bahwa biomassa kehidupan serangga di Jerman telah menurun tiga perempat dalam 25 tahun terakhir. Dave Goulson dari Universitas Sussex menyatakan bahwa penelitian mereka menunjukkan bahwa manusia "tampaknya membuat bidang tanah luas yang tidak ramah untuk sebagian besar bentuk kehidupan, dan saat ini sedang dalam perjalanan menuju kehancuran total ("Armageddon") ekologis. Jika kita kehilangan serangga maka semuanya akan runtuh."
Disadur dari: https://en.wikipedia.org/