Pendahuluan: Sungai Bukan Sekadar Sumber Daya Alam
Selama puluhan tahun, pengelolaan air dilakukan secara teknokratis, memisahkan sungai dari konteks sosial, budaya, dan spiritual masyarakat yang menggantungkan hidup padanya. Artikel oleh Anderson dkk. ini menekankan bahwa sungai adalah sistem sosial-ekologis menghubungkan manusia, ekosistem, dan nilai-nilai budaya dalam satu jaringan interdependen yang kompleks.
Makalah ini menyintesis konsep environmental flows dari perspektif baru, yaitu memasukkan relasi sosial dan budaya dalam menentukan alokasi air lingkungan, yang sebelumnya hanya berbasis sains biofisik. Mereka menyerukan pendekatan kolaboratif antara ilmu alam dan sosial untuk menjamin keberlanjutan air dan keadilan sosial.
Konsep Aliran Lingkungan dan Evolusi Pendekatannya
Environmental flows didefinisikan sebagai volume, waktu, dan kualitas aliran air yang diperlukan untuk menjaga kelestarian ekosistem akuatik, serta mendukung budaya, ekonomi, dan kesejahteraan manusia. Namun, pendekatan historis selama dekade-dekade awal terlalu fokus pada aspek teknis dan ekologis, mengabaikan:
- Kebutuhan masyarakat adat
- Nilai spiritual terhadap sungai
- Penghidupan berbasis sungai
- Identitas dan tempat sakral
Makalah ini menyajikan transisi dari metode hydrology-based (misal: Montana Method dan PHABSIM) menuju pendekatan holistik seperti BBM (Building Block Methodology) dan DRIFT yang mulai mempertimbangkan nilai sosial dan budaya secara eksplisit.
Relasi Sosial-Sungai dalam Studi Kasus Global
1. Sungai Patuca, Honduras
- Komunitas Miskito dan Tawahka sangat bergantung pada Sungai Patuca untuk transportasi, pertanian banjir, dan perikanan.
- Peneliti melakukan wawancara, pemetaan partisipatif, dan analisis budaya lokal untuk menentukan tingkat aliran minimum.
- Rekomendasi aliran mempertimbangkan navigasi kapal, habitat ikan, dan banjir musiman.
2. Sungai Gangga, India
- Dianggap suci oleh jutaan umat Hindu. Aliran air diperlukan untuk ritual seperti Kumbh Mela yang dihadiri 80 juta orang (2013).
- WWF bersama komunitas lokal mengembangkan metode cultural flow requirements.
- Pemerintah setempat menyetujui penambahan 200–300 m³/detik aliran air untuk mendukung festival.
3. Sungai Athabasca, Kanada
- Dihubungkan erat dengan hak-hak adat First Nations (ACFN & MCFN) dalam Treaty No. 8.
- Penurunan debit akibat industri pasir minyak mengancam hak spiritual, ekonomi, dan akses lahan.
- Dikenalkan konsep Aboriginal Base Flow dan Aboriginal Extreme Flow sebagai standar minimum keberlanjutan sosial.
4. Murray-Darling Basin, Australia
- Komunitas Wamba Wamba dan Ngemba melakukan penilaian terhadap situs budaya menggunakan metode semi-structured interview dan photo elicitation.
- Mendorong cultural water entitlements sebagai bagian dari hak milik dan pengelolaan air.
5. Kakaunui dan Orari, Selandia Baru
- CFPS (Cultural Flow Preference Study) digunakan oleh suku Māori untuk menilai kualitas spiritual dan kesejahteraan lingkungan berdasarkan debit sungai.
- 350 L/detik di Kakaunui dan 900 L/detik di Orari dianggap minimum yang bisa diterima untuk mempertahankan mauri (jiwa sungai).
Perkembangan Global dalam Personifikasi Sungai
Beberapa negara seperti India, Selandia Baru, dan Kolombia telah mengakui sungai sebagai subjek hukum dengan status “personhood”. Pendekatan ini tidak hanya melindungi hak sungai, tapi juga mendorong timbal balik moral dan spiritual antara manusia dan sungai.
Contohnya:
- Sungai Whanganui di Selandia Baru diakui sebagai entitas hidup oleh negara.
- Masyarakat Lumbee di AS menyatakan bahwa identitas sungai dan komunitasnya saling membentuk.
Kritik terhadap Kerangka Lama: SUMHA dan ELOHA
- Kerangka seperti ELOHA (Ecological Limits of Hydrologic Alteration) dan SUMHA masih terlalu fokus pada ecosystem services yang menempatkan sungai sebagai penyedia barang dan jasa.
- Artikel ini menyatakan bahwa relasi manusia-sungai bersifat timbal balik, bukan sekadar ekstraksi.
Rekomendasi Strategis untuk Masa Depan
1. Dekonstruksi Paradigma Modern
Ilmu tentang sungai perlu menerima bahwa pengetahuan ilmiah juga bersifat sosial dan historis.
2. Penguatan Kapasitas Sosial dalam Penilaian Aliran
Partisipasi penuh komunitas lokal, khususnya masyarakat adat, harus menjadi landasan pengambilan keputusan alokasi air.
3. Pluralitas Cara Pandang dan Epistemologi
Pendekatan ilmiah perlu membuka ruang untuk cara tahu lain seperti spiritualitas, memori kolektif, dan pengalaman turun-temurun.
4. Ko-produksi Pengetahuan
Interdisiplin menjadi keharusan, memadukan hidrologi, antropologi, hukum adat, dan ekologi masyarakat.
Kesimpulan
Studi ini membuka babak baru dalam pengelolaan air lingkungan dengan menempatkan manusia sebagai bagian dari sungai, bukan entitas terpisah. Pendekatan ini memperkuat:
- Keberlanjutan ekologis
- Keadilan sosial
- Kesejahteraan spiritual dan kultural
Artikel ini menjadi referensi penting dalam menggeser narasi pengelolaan air dari sekadar teknis menjadi humanistik dan berkeadilan.
Sumber Asli:
Anderson, E.P., Jackson, S., Tharme, R.E., et al. Understanding rivers and their social relations: A critical step to advance environmental water management. WIREs Water, 2019; 6(6). doi:10.1002/wat2.1381.