Menenun Masa Depan Berkelanjutan: Transisi Ekonomi Sirkular di Sektor Tekstil Indonesia

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat

13 November 2025, 21.12

Sektor tekstil merupakan salah satu tulang punggung industri manufaktur Indonesia, menyumbang 1,3% terhadap PDB nasional dan mempekerjakan jutaan tenaga kerja di berbagai rantai nilai. Namun, proses produksinya dikenal intensif sumber daya—baik energi, air, maupun bahan baku—dan menghasilkan limbah dalam jumlah besar. Seiring meningkatnya tekanan global terhadap keberlanjutan industri fashion, Indonesia perlu mengarahkan transformasi sektor tekstil menuju ekonomi sirkular yang efisien, inklusif, dan rendah emisi.

Data Bappenas (2024) menunjukkan bahwa tingkat input material sirkular di sektor tekstil baru mencapai 2%, sementara tingkat daur ulang sekitar 12%, dan daya guna produk belum terukur karena keterbatasan data. Ini menandakan ruang yang luas untuk memperkuat strategi keberlanjutan di sepanjang rantai nilai tekstil nasional.

Tantangan Implementasi Ekonomi Sirkular Tekstil

Industri tekstil menghadapi empat tantangan utama:

  1. Permintaan produk tekstil berkelanjutan yang masih rendah.
    Konsumen belum sepenuhnya menghargai produk sirkular karena harga yang lebih tinggi. Meski beberapa perusahaan seperti PT Pan Brothers dan PT Asia Pacific Rayon (APR) telah menguji bahan daur ulang hingga 20%, pasar domestik belum cukup kuat untuk mendorong produksi berkelanjutan secara masif.

  2. Ekosistem pengelolaan limbah yang belum terintegrasi.
    Sekitar 462.000 ton limbah tekstil post-consumer per tahun masih berakhir di TPA atau dibakar. Tanpa sistem pengumpulan, pemilahan, dan daur ulang yang terstruktur, konsep close-loop system sulit diterapkan.

  3. Keterbatasan data nasional terkait praktik sirkular.
    Informasi tentang aliran material, penggunaan energi, dan daur ulang masih tersebar di berbagai lembaga tanpa standarisasi. Hal ini menyulitkan pengambilan keputusan berbasis bukti.

  4. Variasi skala industri dan umur mesin yang tua.
    Dari sektor hulu hingga hilir, terdapat ketimpangan besar antara industri besar (IBS) dan industri mikro kecil (IMK). Mesin berusia tua menghambat efisiensi sumber daya dan menghasilkan 10–20% limbah pra-konsumsi, yang sebagian besar belum dimanfaatkan kembali.

Inovasi dan Praktik Terbaik: Dari Pable hingga MYCL

Beberapa inisiatif lokal menunjukkan arah positif dalam mendorong sirkularitas tekstil:

  • Pable menerapkan pendekatan textile-to-textile recycling dengan memilah limbah kain berdasarkan warna untuk menghindari pencelupan berlebih dan menghemat air.

  • MYCL (Mycotech Lab) memanfaatkan limbah pertanian seperti ampas tebu dan serbuk kayu untuk menciptakan bahan tekstil alternatif berbasis jamur (mycelium), memperkenalkan bio-material yang ramah lingkungan.

  • PT Superbtex mengubah limbah tekstil pra dan pasca konsumsi menjadi bahan isolasi untuk industri otomotif dan konstruksi, menunjukkan potensi industrial symbiosis.

Kerangka Kebijakan dan Perbandingan Global

Indonesia telah mengeluarkan regulasi kunci, termasuk:

  • Permenperin No. 37 dan No. 40 Tahun 2022 tentang Standar Industri Hijau (SIH) Tekstil,

  • Permen LHK No. 75 Tahun 2019 tentang peta jalan pengurangan sampah oleh produsen, dan

  • UU No. 18 Tahun 2008 serta PP No. 81 Tahun 2012 tentang pengelolaan sampah rumah tangga.

Sementara itu, Belanda telah menerapkan skema Extended Producer Responsibility (EPR) untuk tekstil sejak 2023, mewajibkan produsen mengelola daur ulang dan pembiayaan pengumpulan limbah. Model ini bisa menjadi inspirasi kebijakan di Indonesia.

Tahapan Implementasi dan Dampak Ekonomi

Peta jalan ekonomi sirkular sektor tekstil membagi tahapan transisi hingga 2045:

  • 2025–2029: Pembentukan ekosistem EPR dan infrastruktur pengumpulan limbah.

  • 2030–2034: Implementasi SIH, teknologi zero waste, dan recycled content.

  • 2035–2039: Penguatan daya saing global melalui efisiensi energi dan ekodesain.

  • 2040–2045: Sektor tekstil menjadi pilar utama ekonomi nasional berbasis sirkularitas.

Dampaknya tidak kecil: penerapan penuh ekonomi sirkular berpotensi menciptakan Rp19,3 triliun nilai ekonomi tambahan (5,5% dari PDB sektor tekstil) dan 164.000 lapangan kerja baru pada 2030, dengan 89% di antaranya diisi perempuan.

Kesimpulan

Transisi menuju ekonomi sirkular di sektor tekstil bukan hanya agenda lingkungan, melainkan strategi industrialisasi modern yang berkeadilan. Melalui kombinasi kebijakan EPR, inovasi teknologi, dan kolaborasi lintas aktor, Indonesia dapat menenun masa depan industri tekstil yang tangguh, hijau, dan berdaya saing global.