Menekan Stres Kerja di Industri Otomotif: Strategi Kebijakan K3 dari Kasus Honda Pangkalpinang

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana

17 Oktober 2025, 13.57

Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan

Penelitian Devi Natalia (2023) menunjukkan bahwa karyawan di PT. Asia Surya Perkasa (Honda) Pangkalpinang mengalami tingkat stres kerja yang signifikan—akibat beban kerja tinggi, tekanan target penjualan, multitasking, dan kurangnya dukungan sosial dari lingkungan kerja. Kondisi ini tidak hanya menurunkan produktivitas, tetapi juga meningkatkan risiko kecelakaan kerja akibat kelelahan dan menurunnya fokus.

Temuan ini penting karena mengungkap bahwa dimensi kesehatan mental belum sepenuhnya diakomodasi dalam kebijakan K3 di Indonesia. Meski K3 tradisional berfokus pada aspek fisik seperti APD dan lingkungan fisik, penelitian ini menuntut perluasan ruang lingkup kebijakan supaya memasukkan aspek psikologi kerja.

Salah satu kursus yang relevan adalah Kemampuan Kognitif dan Beban Psikologi dalam Bekerja yang membekali praktisi K3 dengan pemahaman bagaimana kondisi mental dan kognitif pekerja dapat mempengaruhi keselamatan kerja. Selain itu, kursus Higiene Industri mencakup identifikasi dan pengendalian bahaya yang tidak hanya fisik/kimia, tapi juga ergonomi serta kondisi kerja yang berdampak pada stres fisik dan mental pekerja. 

Kebijakan yang mempertimbangkan aspek ini akan mendorong pendekatan holistik dalam K3, yang bukan saja mencegah cedera fisik tapi juga menjaga kesehatan mental pekerja. Implementasi ini selaras dengan konsep Workplace Wellbeing yang diakui secara global sebagai bagian dari K3 modern.

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Dampak:

  • Karyawan dengan tingkat stres tinggi cenderung mengalami penurunan konsentrasi hingga 40%, yang berdampak langsung pada risiko kesalahan teknis dan layanan pelanggan.

  • Tingkat absensi meningkat 20% pada unit kerja dengan target tinggi tanpa dukungan psikologis yang memadai.

  • Penurunan kepuasan kerja menghambat retensi tenaga kerja berpengalaman dan menaikkan biaya rekrutmen perusahaan.

Hambatan:

  • Minimnya kebijakan perusahaan yang memasukkan indikator kesehatan mental dalam sistem manajemen K3.

  • Kurangnya pelatihan manajerial dalam mengenali tanda-tanda stres karyawan.

  • Stigma terhadap isu mental health yang masih dianggap tabu di lingkungan kerja.

Peluang:

  • Integrasi program Employee Assistance Program (EAP) untuk konseling dan dukungan psikologis.

  • Penguatan budaya komunikasi terbuka antara atasan dan bawahan dalam forum evaluasi kerja.

  • Penerapan risk assessment berbasis psikososial

5 Rekomendasi Kebijakan Praktis

  1. Masukkan indikator kesehatan mental dalam audit K3 nasional
    Pemerintah perlu memperluas cakupan audit keselamatan kerja dengan menilai faktor psikososial seperti stres, burnout, dan beban kerja.

  2. Kembangkan pelatihan “Mental Health Awareness for Supervisors”
    Supervisi yang mampu mengenali tanda stres dapat menjadi garis pertahanan pertama dalam mencegah kelelahan mental pekerja.

  3. Bentuk tim internal kesejahteraan karyawan (Wellness Committee)
    Bertugas melakukan asesmen rutin, mengadakan sesi konseling, dan menyusun rekomendasi kesejahteraan kerja di tingkat perusahaan.

  4. Sediakan ruang rehat dan waktu pemulihan mikro (micro-breaks)
    Berdasarkan praktik global seperti di Jepang dan Korea Selatan, pemberian jeda 10–15 menit tiap beberapa jam terbukti menurunkan stres hingga 30%.

  5. Berikan insentif bagi perusahaan yang menjalankan program kesejahteraan mental berbasis data
    Misalnya potongan premi BPJS Ketenagakerjaan atau penghargaan nasional Healthy Workplace Award.

Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan

Kebijakan stres kerja sering kali gagal karena hanya fokus pada pelatihan singkat tanpa perubahan sistemik. Jika organisasi tidak memperbaiki pola kepemimpinan, beban kerja, dan komunikasi internal, maka intervensi psikologis hanya bersifat sementara.

Selain itu, pengukuran stres kerja masih sering bergantung pada survei subjektif tanpa dukungan data kuantitatif seperti tingkat absensi, keluhan medis, atau output produktivitas.
Kebijakan juga berisiko gagal bila perusahaan tidak menyediakan mekanisme umpan balik yang aman bagi karyawan untuk melaporkan tekanan kerja tanpa takut disalahkan.

Penutup

Kasus Honda Pangkalpinang menyoroti bahwa stres kerja adalah risiko nyata dalam lingkungan industri modern. Ketika karyawan menghadapi tekanan berlebih tanpa dukungan sosial dan psikologis, maka keselamatan kerja, produktivitas, dan loyalitas akan menurun secara signifikan.

Penerapan kebijakan K3 berbasis kesehatan mental bukan sekadar tuntutan moral, tetapi juga strategi bisnis yang cerdas.
Dengan mengadopsi pendekatan berbasis data dan dukungan lintas-sektor antara pemerintah, perusahaan, dan lembaga pelatihan seperti Diklatkerja, Indonesia dapat membangun ekosistem kerja yang lebih sehat, tangguh, dan berkelanjutan.

Sumber

Devi Natalia. (2023). Analisis Faktor Risiko Stres Kerja pada Karyawan PT. Asia Surya Perkasa (Honda) di Kota Pangkalpinang.