Mencari Jalan Menuju Kesetaraan Gender yang Menghasilkan Manfaat bagi Semua

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat

21 November 2025, 17.33

Tiga dekade setelah Deklarasi Beijing menegaskan bahwa hak perempuan adalah hak asasi manusia, dunia telah bergerak maju dalam memperluas ruang hidup perempuan. Perubahan terlihat dari meluasnya norma yang menolak kekerasan berbasis gender hingga meningkatnya partisipasi perempuan dalam politik. Namun di saat yang sama, kemajuan ini tidak berdiri kokoh—ia rapuh, mudah berbalik, dan kini menghadapi tantangan baru dari pergeseran sosial, tekanan ekonomi, serta gerakan anti-gender yang semakin kuat.

Kesetaraan gender tidak pernah bekerja sendirian. Ia membentuk dan dibentuk oleh keputusan reproduksi, hubungan keluarga, kondisi kerja, dinamika pasangan, hingga cara sebuah masyarakat melihat nilai dari anak. Karena itu, memahami realitas gender hari ini berarti menyelami bagaimana orang membangun keluarga, bekerja, merawat, dan merayakan atau menunda peran sebagai orang tua. Semua ini saling berkaitan membentuk masa depan populasi dunia.

Transformasi Norma, Kemajuan yang Masih Rapuh

Beberapa indikator menunjukkan perubahan sikap global: lebih sedikit orang yang menganggap kekerasan pasangan sebagai hal yang dapat dibenarkan, lebih banyak negara memiliki undang-undang yang melindungi perempuan, dan representasi perempuan di parlemen meningkat secara signifikan. Di banyak negara, generasi yang lebih muda membawa pandangan yang lebih egaliter dibanding generasi sebelumnya.

Namun di balik tren progresif tersebut, stagnasi terlihat. Bias gender masih sangat tinggi, bahkan meningkat di beberapa negara. Akses perempuan terhadap otonomi tubuh tidak merata, dan sebagian mengalami kemunduran. Di titik inilah gerakan anti-gender muncul, menyerang hak-hak seksual dan reproduksi, serta mengintimidasi pembela hak perempuan.

Kemajuan yang ada tampak besar, namun fondasinya rapuh. Dalam kondisi tertentu, tekanan sosial dan politik dapat menggeser arah kebijakan, dan perubahan menuju kesetaraan dapat berjalan lebih lambat dibanding perubahan sosial yang terjadi.

Keinginan Memiliki Anak dan Tekanan Gender

Faktor gender memengaruhi cara orang memandang reproduksi. Di banyak negara, pria cenderung menginginkan lebih banyak anak dibanding perempuan. Perbedaan ini bukan sekadar angka—ia mencerminkan tekanan sosial, harapan keluarga, serta makna simbolik anak bagi masing-masing gender.

Di beberapa wilayah, seperti Asia Selatan dan Timur, preferensi terhadap anak laki-laki tetap kuat. Dampaknya tidak kecil: dalam kasus ekstrem, preferensi ini bisa memengaruhi rasio jenis kelamin populasi; dalam kasus lain, keluarga terus “mencoba lagi” hingga mendapatkan anak laki-laki, sehingga jumlah anak menjadi lebih besar daripada yang sebenarnya mereka inginkan.

Keinginan memiliki anak juga berubah mengikuti fase hidup. Ketika ekonomi membaik, sebagian orang membuka kemungkinan menambah anak; ketika kesehatan atau hubungan menurun, rencana pun berubah. Di hampir semua negara, faktor ekonomi tetap menjadi penentu besar.

Ketimpangan Peran di Rumah dan Tempat Kerja

Meski perempuan telah memasuki ruang publik dalam jumlah besar—berpendidikan tinggi, bekerja, berpolitik—ranah domestik masih sangat timpang. Perempuan melakukan pekerjaan perawatan dan pekerjaan rumah tangga jauh lebih banyak daripada laki-laki. Bagi banyak perempuan, hal ini menciptakan beban ganda: bekerja penuh waktu sekaligus bertanggung jawab atas rumah.

Perubahan-perubahan kecil memang terjadi. Di beberapa negara, laki-laki mulai terlibat lebih banyak dalam pengasuhan. Namun laporan global menunjukkan bahwa keterlibatan tersebut masih terbatas pada aktivitas ringan, bukan pada tugas perawatan rutin yang melelahkan. Bahkan persepsi antara laki-laki dan perempuan mengenai “bagi tugas secara adil” berbeda jauh—lebih banyak laki-laki yang merasa sudah berbagi adil dibanding perempuan yang merasakannya.

Karena itulah banyak perempuan memilih menunda atau mengurangi jumlah anak untuk menjaga keseimbangan hidup dan karier. Sementara itu, laki-laki lebih jarang menyesuaikan pekerjaan dengan kebutuhan keluarga.

Intensitas Pengasuhan Modern dan Tekanan yang Meningkat

Pengasuhan kini jauh lebih intens dibanding generasi sebelumnya. Waktu yang dihabiskan orang tua bersama anak meningkat, tuntutan pendidikan lebih tinggi, dan ekspektasi terhadap peran orang tua makin besar.

Meski menyenangkan, pengasuhan modern melelahkan. Banyak keluarga menjalani pengasuhan tanpa dukungan, dan beban itu tidak hanya dirasakan ibu—ayah juga merasakannya. Namun, perempuan tetap menjadi kelompok yang paling terdampak, terutama jika layanan pendukung seperti penitipan anak tidak tersedia atau terlalu mahal.

Ketegangan antara harapan sosial dan kenyataan ekonomi inilah yang kemudian memengaruhi keputusan untuk memiliki anak, atau memilih tidak menambah jumlah anak.

Struktur Keluarga dan Dinamika yang Membentuk Keputusan Reproduktif

Keluarga inti, keluarga besar, keluarga poligami, hingga keluarga campuran memiliki pengaruh berbeda terhadap keputusan reproduksi.

Keluarga inti membuat peran pengasuhan terpusat pada orang tua, sehingga kecenderungan “sedikit anak tetapi investasi besar” menjadi umum. Sebaliknya, keluarga besar dapat mendorong angka kelahiran lebih tinggi karena tugas pengasuhan terbagi.

Dalam keluarga poligami, keinginan memiliki anak bisa lebih tinggi, terutama pada konteks budaya yang memberi status lebih bagi keluarga besar. Sementara itu, keluarga campuran yang terbentuk dari pernikahan ulang terkadang mendorong keinginan memiliki anak dengan pasangan baru.

Kebijakan yang baik harus mengakui keragaman bentuk keluarga, karena keragaman inilah yang menciptakan kebutuhan berbeda dalam hal dukungan pengasuhan dan layanan sosial.

Menunda Pasangan, Tingkat Kesendirian, dan Dampaknya pada Fertilitas

Tren global menunjukkan peningkatan jumlah orang yang hidup sendiri, menunda pernikahan, atau tidak menemukan pasangan jangka panjang. Di beberapa negara, perkawinan masih menjadi prasyarat untuk memiliki anak, sehingga penurunan angka pernikahan memengaruhi angka kelahiran.

Fenomena ini tidak dapat dijelaskan hanya dengan “pilihan pribadi”. Banyak orang sebenarnya ingin menikah, tetapi tidak menemukan pasangan yang sesuai. Faktor ekonomi berperan penting: orang yang berpenghasilan rendah atau berpendidikan rendah lebih sulit mendapatkan pasangan. Di sisi lain, perubahan sikap gender pada perempuan berjalan lebih cepat dibanding laki-laki, sehingga terjadi ketidakselarasan nilai dalam hubungan.

Ketika ketimpangan gender tetap tinggi, hubungan menjadi lebih sulit terbentuk. Namun ketika kesetaraan meningkat, penelitian menunjukkan bahwa laki-laki berpendapatan rendah justru memiliki peluang lebih besar untuk bermitra—menandakan bahwa nilai pasangan tidak hanya bergantung pada kemampuan ekonomi.

 

Daftar Pustaka

State of World Population 2025 – Gender Equality and Dividends for All (Chapter 3).