Krisis Lahan dan Banjir di DAS Ciliwung
Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung merupakan kawasan strategis yang membentang dari Kabupaten Bogor hingga DKI Jakarta. Sayangnya, kawasan ini juga menjadi ikon dari krisis tata ruang dan lingkungan yang akut. Dalam rentang 1981–1999, sekitar 14.860 ha lahan di hulu DAS telah dikonversi menjadi pemukiman, mengorbankan sawah, hutan, dan tegalan. Akibatnya, daya resap air berkurang drastis, debit air meningkat ekstrem di musim hujan, dan menurun tajam saat kemarau.
Konsekuensinya nyata: banjir tahunan Jakarta semakin parah, erosi meningkat, serta ketersediaan air irigasi untuk usahatani di wilayah tengah dan hilir terganggu. Studi BPDAS mencatat bahwa kontribusi aliran permukaan dari hilir mencapai 57,56%, menandakan bahwa kerusakan bukan hanya di hulu. Tata ruang yang tidak sesuai daya dukung wilayah memperparah masalah ini.
Solusi Non-Struktural: Kelembagaan sebagai Penjaga Lingkungan
Selama ini, penanganan banjir di DAS Ciliwung didominasi pendekatan struktural—membangun bendungan, normalisasi sungai, hingga pengerukan. Namun, upaya ini tidak menyentuh akar masalah: tata guna lahan yang amburadul dan lemahnya koordinasi antar-pemangku kepentingan.
Penelitian oleh Saridewi et al. (2014) menyarankan pendekatan kelembagaan sebagai solusi non-struktural yang lebih berkelanjutan. Mereka menggunakan kerangka Ostrom’s Institutional Analysis and Development (IAD), yang memandang partisipasi masyarakat, aturan main, dan kepemilikan lahan sebagai komponen kunci dalam pengelolaan kawasan.
Pendekatan IAD dan CPRs
Menurut teori Common Pool Resources (CPRs), DAS dan lahan pertanian adalah sumber daya bersama yang rawan eksploitasi berlebihan jika tidak diatur dengan mekanisme kelembagaan yang tepat. Dalam konteks Ciliwung, tanah milik negara (seperti sempadan sungai dan hutan lindung) sering diabaikan hak pengelolaannya, sementara tanah milik individu diubah fungsinya tanpa memperhatikan dampaknya.
Kerangka IAD menekankan pentingnya arena aksi di mana masyarakat, pemerintah, dan pemangku kebijakan berinteraksi untuk menentukan aturan bersama. Jika berhasil, partisipasi masyarakat bukan hanya memperkuat perlindungan DAS, tapi juga mendorong keberlanjutan usahatani.
Imbal Jasa Lingkungan: Contoh dan Potensi di Ciliwung
Salah satu instrumen yang relevan untuk memperkuat kelembagaan adalah mekanisme kompensasi atau imbal jasa lingkungan (payment for environmental services/PES). Hal ini telah berhasil diterapkan di Lombok, di mana masyarakat hilir membayar Rp1.000/bulan melalui PDAM sebagai kompensasi kepada petani di hulu yang menanam pohon kopi. Hasilnya, kualitas lingkungan membaik dan pendapatan petani meningkat.
Konsep ini relevan untuk diterapkan di Ciliwung. Pemerintah, PDAM, atau swasta dapat menjadi perantara transaksi antara masyarakat hilir yang membutuhkan air bersih dan masyarakat hulu yang menjaga tutupan lahan. Dengan regulasi seperti UU No. 32 Tahun 2009 tentang PPLH, skema PES bisa menjadi solusi finansial dan ekologis sekaligus.
Usahatani Berkelanjutan di Tengah Fragmentasi Lahan
Rata-rata petani di DAS Ciliwung hanya memiliki 0,12 ha lahan, terlalu kecil untuk dikelola secara efisien dan konservatif. Fragmentasi ini berkontribusi terhadap degradasi lahan dan air, karena petani kesulitan menerapkan teknologi ramah lingkungan.
Namun, jika petani diberi insentif melalui imbal jasa lingkungan, mereka akan terdorong untuk menjaga fungsi ekologis lahannya. Studi Wu et al. (2001) di Taiwan menunjukkan bahwa lahan sawah memiliki perkolasi 17% dan runoff 27%, lebih baik dibandingkan lahan kering. Ini berarti sawah punya kontribusi nyata dalam mencegah banjir dan mengisi cadangan air tanah.
Kelembagaan Petani: P3A dan HIPPA
Kelembagaan petani seperti Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) dan HIPPA di Brantas dapat diperluas perannya menjadi penjaga DAS. Mereka bisa diberi mandat mengelola dana imbal jasa lingkungan, sekaligus menjalankan konservasi lahan dan air di wilayah masing-masing.
Kritik dan Tantangan Implementasi
Meski pendekatan kelembagaan menjanjikan, implementasinya bukan tanpa tantangan:
- Koordinasi Lintas Lembaga: DAS Ciliwung melintasi dua provinsi dan dikelola oleh banyak institusi. Lempar tanggung jawab kerap terjadi.
- Minimnya Kesadaran Masyarakat: Tanpa edukasi dan insentif nyata, sulit mengubah perilaku masyarakat yang sudah terbiasa membuang limbah ke sungai.
- Ketidaktegasan Regulasi: Batas sempadan sungai belum ditetapkan secara resmi, membuat penertiban bangunan liar menjadi sulit.
Meski begitu, pendekatan kelembagaan tetap layak diperjuangkan, apalagi jika dipadukan dengan teknologi spasial, data hidrologi real-time, dan insentif fiskal.
Penutup: Masa Depan DAS Ciliwung Ada di Tangan Kelembagaan
Penataan ruang yang mengintegrasikan kepentingan konservasi dan ekonomi secara simultan adalah kunci bagi keberlanjutan DAS Ciliwung. Jika kelembagaan dikuatkan—baik dari sisi aturan, partisipasi, maupun insentif—maka pemulihan DAS bukan hanya wacana, tapi keniscayaan.
Dengan pendekatan IAD dan instrumen PES, masyarakat bisa menjadi bagian dari solusi, bukan sekadar objek kebijakan. Karena pada akhirnya, menjaga air berarti menjaga hidup.
Sumber:
Saridewi, T. R., Hadi, S., Fauzi, A., & Rusastra, I. W. (2014). Penataan ruang Daerah Aliran Sungai Ciliwung dengan pendekatan kelembagaan dalam perspektif pemantapan pengelolaan usahatani. Forum Penelitian Agro Ekonomi, 32(2), 87–102.