Menakar Risiko Lingkungan dan Sosial Investasi Tiongkok di Indonesia Era BRI

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah

19 Juni 2025, 11.11

pixabay.com

Investasi Tiongkok, BRI, dan Tantangan Baru bagi Indonesia

Dalam satu dekade terakhir, Indonesia menjadi salah satu tujuan utama investasi Tiongkok, terutama sejak peluncuran Belt and Road Initiative (BRI). Fenomena ini membawa peluang ekonomi besar, namun juga menimbulkan kekhawatiran terkait risiko lingkungan dan sosial, khususnya di sektor-sektor sensitif seperti industri logam, infrastruktur, dan energi. Paper “China’s Belt and Road Initiative in Indonesia: Mapping and Mitigating Environmental and Social Risks” karya Albertus Hadi Pramono dkk. (2022) membedah secara komprehensif bagaimana gelombang investasi Tiongkok—dengan karakter unik dan tata kelola berbasis “country systems”—berdampak pada ekosistem, keanekaragaman hayati, serta komunitas adat di Indonesia.

Artikel ini sangat relevan dengan tren global, di mana investasi lintas negara semakin dipertanyakan keberlanjutan dan dampaknya terhadap masyarakat lokal. Dengan pendekatan berbasis data spasial, studi kasus, dan analisis multi-dimensi, paper ini menawarkan pelajaran penting bagi pembuat kebijakan, pelaku industri, dan masyarakat sipil.

Latar Belakang: Lonjakan Investasi Tiongkok dan Pola Unik di Indonesia

Fakta dan Angka Kunci

  • Pertumbuhan pesat: Investasi Tiongkok (termasuk Hong Kong) di Indonesia melonjak dari 175 proyek FDI senilai $740 juta (2010) menjadi 5.816 proyek dengan nilai $8,4 miliar (2020).
  • Dominasi sektor sensitif: Lebih dari 50% investasi Tiongkok terkonsentrasi di industri logam (38%), listrik/gas/air (18%), dan transportasi (13%). Bandingkan dengan investor lain yang lebih tersebar di sektor pertambangan (12%) dan properti (10%).
  • Pola geografis berbeda: 14% investasi Tiongkok masuk ke Maluku Utara dan 16% ke Sulawesi Tenggara—wilayah yang hanya menerima 1% investasi dari negara lain.
  • Pendekatan “country systems”: Pengawasan lingkungan dan sosial sepenuhnya diserahkan pada pemerintah Indonesia, bukan standar Tiongkok atau internasional.

Implikasi

Konsentrasi investasi di sektor dan wilayah sensitif membuat Indonesia menghadapi tantangan baru dalam tata kelola lingkungan dan perlindungan sosial, terutama di kawasan dengan keanekaragaman hayati tinggi dan komunitas adat yang rentan.

Analisis Spasial dan Indikator Multi-Dimensi

Penulis memetakan 14 klaster proyek FDI Tiongkok terkait BRI di Indonesia, meliputi:

  • Jalan tol dan kereta cepat
  • Pembangkit listrik tenaga batu bara
  • Bendungan (PLTA dan irigasi)
  • Kawasan industri (smelter nikel, bauksit, semen, ekonomi khusus)

Lima parameter lingkungan utama dianalisis:

  1. Vegetasi (NDVI)
  2. Kepadatan karbon
  3. Kedekatan dengan hutan primer
  4. Kepadatan spesies terancam
  5. Polusi udara (NO2)

Dampak sosial diukur melalui overlay spasial dengan wilayah adat dan komunitas lokal, serta identifikasi risiko kesehatan, kehilangan jasa ekosistem, dan potensi penggusuran.

Temuan Utama: Risiko Lingkungan dan Sosial di 14 Klaster Proyek

1. Penurunan Vegetasi dan Stok Karbon

  • Rata-rata NDVI turun dari 0,538 (2009–2011) menjadi 0,388 (2020–2022), artinya terjadi penurunan tutupan vegetasi sebesar 27,88% di seluruh proyek.
  • Kasus ekstrem: Obi Industrial Area, SDIC Papua Cement, dan Morowali Industrial Park mengalami penurunan NDVI 41–85% sejak 2010.
  • Stok karbon: Rata-rata 605 MgC/ha sebelum konstruksi, dengan PLTA dan kawasan industri berada di area karbon tinggi (473–1236 MgC/ha).

2. Polusi Udara

  • NO2 tertinggi ditemukan di PLTU Paiton Unit 9 (7,41×10¹⁵ molec/cm²) dan Morowali Industrial Park (3,43×10¹⁵ molec/cm²).
  • Dampak meluas: Polusi NO2 di Paiton menyebar hingga 20 km, memengaruhi kota Besuki (populasi 34.000) dengan level lebih tinggi dibanding area lain.

3. Ancaman terhadap Hutan Primer dan Keanekaragaman Hayati

  • Lebih dari 50% proyek berada dalam radius 5 km dari hutan primer.
  • Proyek berisiko tinggi: Batang Toru dan Kayan Hydro Plant berdekatan dengan hutan primer dan area karbon tinggi.
  • Spesies terancam: Jakarta-Bandung Railway, Likupang Economic Zones, dan PLTU Celukan Bawang memiliki skor tertinggi pada indeks kepadatan spesies terancam, termasuk orangutan Tapanuli, harimau Sumatera, dan burung rangkong.

4. Risiko terhadap Komunitas Adat

  • 11 dari 14 klaster berdampak pada komunitas adat, terutama di Ketapang (Dayak), Morowali (Bahomotefe), dan Obi (Obi people).
  • Risiko utama: Polusi udara/air, kehilangan hutan dan sumber penghidupan, serta penggusuran akibat pembangunan bendungan (misal, Rendu di Nagekeo, Flores).
  • Kasus nyata: Konflik pembangunan Waduk Lambo di Flores memicu penolakan masyarakat Rendu karena lahan pertanian dan situs budaya terancam tergenang.

Studi Kasus: Dampak Nyata di Lapangan

A. Obi Industrial Area (Maluku Utara)

  • Fokus: Smelter nikel, baja tahan karat, baterai mobil listrik.
  • Dampak: Penurunan vegetasi hingga 85%, polusi air dan udara, serta ancaman penggusuran bagi masyarakat Obi.
  • Risiko biodiversitas: Habitat burung rangkong dan kupu-kupu endemik terancam.

B. Morowali Industrial Park (Sulawesi Tengah)

  • Fokus: Smelter nikel, baja, baterai.
  • Dampak: Penurunan NDVI 41%, polusi NO2 tinggi, tumpang tindih dengan wilayah adat Bahomotefe (45.000 ha).
  • Risiko sosial: Kehilangan hutan, sumber air, dan potensi penggusuran.

C. PLTU Paiton Unit 9 (Jawa Timur)

  • Fokus: Pembangkit listrik batu bara 4,7 GW.
  • Dampak: Polusi NO2 tertinggi, menyebar hingga 20 km, berdampak pada puluhan ribu penduduk sekitar.

D. Waduk Lambo (Flores, NTT)

  • Fokus: Bendungan irigasi.
  • Dampak: Potensi penggusuran lahan pertanian dan situs budaya Rendu, penolakan masyarakat lokal, konflik dengan aparat.

Analisis Kritis: Tantangan Tata Kelola dan Implikasi Kebijakan

1. Kelemahan Tata Kelola “Country Systems”

  • Ketergantungan pada kapasitas pemerintah Indonesia: Standar lingkungan dan sosial sangat bergantung pada political will dan kapasitas institusi nasional.
  • Risiko di negara dengan tata kelola lemah: Potensi pelanggaran HAM, degradasi lingkungan, dan konflik sosial meningkat.

2. Omnibus Law dan Dilema Regulasi

  • Omnibus Law (UU Cipta Kerja): Mempermudah perizinan investasi, namun melemahkan proses Amdal dan partisipasi masyarakat.
  • Dampak: Potensi percepatan penggusuran, penurunan perlindungan lingkungan, dan marginalisasi komunitas adat.

3. Peran Komunitas Adat dan Kelembagaan Lokal

  • Minim peta wilayah adat: Banyak komunitas belum memiliki pengakuan formal, sehingga rentan kehilangan lahan.
  • Keterlibatan perempuan: Kasus Waduk Lambo menunjukkan perempuan memimpin aksi kolektif menolak penggusuran.

4. Tren Global dan Komitmen Tiongkok

  • Guidelines “Green BRI”: Tiongkok mulai mendorong pendekatan “whole lifecycle” dalam pengelolaan lingkungan, termasuk komitmen menghentikan pendanaan PLTU batu bara di luar negeri.
  • Tantangan: Proyek energi terbarukan (PLTA) pun tetap berisiko tinggi jika tidak dikelola dengan baik.

Perbandingan dengan Studi Lain dan Industri

  • Studi Ray et al. (2017), Hughes (2019), Ng et al. (2020): Menegaskan bahwa investasi BRI cenderung berisiko tinggi di negara dengan tata kelola lemah dan keanekaragaman hayati tinggi.
  • Tren ESG dan disclosure: Investor global mulai menuntut transparansi risiko lingkungan (Nature-related Financial Disclosure) sebagai syarat pendanaan.
  • Industri nikel dan baterai: Permintaan global untuk kendaraan listrik mendorong ekspansi smelter nikel di Indonesia, namun tanpa mitigasi risiko, justru berpotensi menciptakan “green paradox”—energi bersih di satu sisi, kerusakan lingkungan di sisi lain.

Rekomendasi Kebijakan dan Praktik Terbaik

1. Penguatan Regulasi dan Pengawasan

  • Reformulasi Amdal: Kembalikan fungsi Amdal sebagai syarat utama, bukan formalitas.
  • Transparansi data: Wajibkan disclosure data lingkungan dan sosial secara berkala.

2. Perlindungan Komunitas Adat

  • Pemetaan wilayah adat: Percepat pengakuan dan perlindungan hak tanah adat.
  • Partisipasi bermakna: Libatkan komunitas lokal dalam seluruh tahapan proyek, dari perencanaan hingga monitoring.

3. Inovasi Tata Kelola dan Investasi

  • Pendekatan berbasis risiko: Prioritaskan lokasi proyek di area dengan risiko lingkungan dan sosial rendah.
  • Insentif investasi hijau: Dorong investasi pada sektor dengan dampak positif bagi ekosistem dan masyarakat.

4. Kolaborasi Multi-pihak

  • Sinergi pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil: Bangun mekanisme pengawasan bersama, termasuk monitoring independen.
  • Belajar dari praktik global: Adopsi standar internasional (misal, IFC Performance Standards) untuk proyek-proyek besar.

Menuju Investasi Berkelanjutan di Era BRI

Paper ini menegaskan bahwa investasi Tiongkok di Indonesia membawa peluang ekonomi besar, namun juga risiko lingkungan dan sosial yang tidak bisa diabaikan. Dengan konsentrasi di sektor dan wilayah sensitif, serta tata kelola yang masih lemah, Indonesia berisiko kehilangan keanekaragaman hayati, ekosistem penting, dan hak-hak komunitas adat. Namun, dengan reformasi regulasi, penguatan partisipasi masyarakat, dan adopsi standar internasional, Indonesia dapat memaksimalkan manfaat ekonomi sekaligus meminimalkan dampak negatif investasi BRI.

Rekomendasi utama:

  • Perkuat regulasi dan pengawasan lingkungan.
  • Lindungi hak dan partisipasi komunitas adat.
  • Dorong transparansi dan disclosure risiko lingkungan.
  • Sinergikan investasi dengan agenda pembangunan berkelanjutan.

Sumber Artikel 

Albertus Hadi Pramono, Masita Dwi Mandini Manessa, Mochamad Indrawan, Dwi Amalia Sari, Habiburrahman A.H. Fuad, Nurlaely Khasanah, Kartika Pratiwi, Rondang S.E. Siregar, Nurul L. Winarni, Jatna Supriatna, Budi Haryanto, Kevin P. Gallagher, Rebecca Ray, B. Alexander Simmons, Herry Yogaswara. China’s Belt and Road Initiative in Indonesia: Mapping and Mitigating Environmental and Social Risks. GCI Working Paper 021, Boston University Global Development Policy Center, 2022.