Pendahuluan: Ketimpangan Fokus dalam Keberlanjutan
Keberlanjutan sosial merupakan pilar penting dari pembangunan berkelanjutan, namun sering kali kalah populer dibandingkan dengan aspek lingkungan dan ekonomi. Kajian tesis oleh Jingxuan Zhang ini hadir sebagai upaya pemetaan awal terhadap sikap dan praktik industri konstruksi di Swedia dan Tiongkok terhadap keberlanjutan sosial, melalui survei kuantitatif pada perusahaan-perusahaan di kedua negara tersebut.
Kerangka Teoritis: Memahami Dimensi Sosial
Penelitian ini mengacu pada sejumlah kerangka keberlanjutan sosial, antara lain:
- Agenda 21 (1992) dan UNDSD Theme, yang menetapkan indikator sosial seperti kesetaraan gender, keamanan tempat tinggal, dan kesehatan masyarakat.
- Pendekatan “What” dan “How” dari Broström (2012), yang membedakan antara tujuan substansial (misalnya hak asasi, kesehatan, keadilan sosial) dan proses pencapaian tujuan (misalnya partisipasi pemangku kepentingan, akses informasi).
- Social Life Cycle Assessment (SLCA) dari UNEP dan Handbook for Product Social Impact Assessment sebagai alat ukur praktis pengaruh sosial dalam siklus proyek.
Metodologi: Survei Lintas Negara
Survei dikirimkan ke:
- 48 perusahaan di Swedia (15 responden, response rate 31%).
- 31 perusahaan di Tiongkok (23 responden, response rate 74%).
Responden mencakup arsitek, kontraktor, konsultan, dan pengembang properti. Fokus utama adalah struktur organisasi, tantangan sosial yang dihadapi, hambatan dalam implementasi, dan persepsi terhadap hasil dari langkah-langkah keberlanjutan sosial.
Hasil: Perbedaan Signifikan dalam Struktur & Pendekatan
Swedia: Terstruktur dan Fokus pada Karyawan
- 40% perusahaan memiliki jaringan kerja untuk isu sosial; 27% memiliki fungsi khusus.
- 47% telah mengadopsi standar keberlanjutan sosial.
- Tantangan utama:
- Kesehatan dan keselamatan karyawan (65%)
- Diskriminasi, jam kerja wajar, dan lingkungan kerja (50%)
- Hambatan utama:
- Kurangnya kerja sama rantai pasok (30%)
- Kurangnya permintaan pasar dan keunggulan kompetitif
- Stakeholder paling berpengaruh: manajer (80%), klien (65%), karyawan.
- Langkah konkret: 90% perusahaan menyediakan dukungan kesehatan, 85% memiliki kebijakan anti-diskriminasi.
- Dampak nyata: 90% merasakan peningkatan citra perusahaan dan kontribusi pada masyarakat harmonis.
Tiongkok: Terbatas dan Berbasis Internal
- 57% perusahaan tidak memiliki struktur manajemen sosial khusus.
- 44% belum mengimplementasikan standar apapun.
- Tantangan utama diakui sebagian kecil responden:
- Jam kerja tidak wajar (5%)
- Korupsi dan etika bisnis (masing-masing <10%)
- Hambatan utama: kekurangan dana (80%), tidak adanya peraturan yang jelas (60%)
- Stakeholder paling berpengaruh: otoritas pemerintah (25%), manajer dan klien (20%)
- Tindakan nyata: pelatihan untuk karyawan (65%), menyediakan lingkungan kerja aman (40%)
- Dampak utama: peningkatan citra perusahaan dan kepemimpinan internal; namun tidak berdampak signifikan pada profit jangka pendek.
Analisis Perbandingan: Titik Temu dan Ketimpangan
Titik Temu:
- Kedua negara lebih fokus pada stakeholder internal (terutama karyawan).
- Kedua industri melihat peningkatan citra perusahaan sebagai efek dominan dari kebijakan sosial.
- Ketidakpercayaan terhadap kontribusi langsung terhadap profitabilitas jangka pendek masih menjadi hambatan umum.
Perbedaan Mendasar:
- Swedia lebih matang secara kelembagaan, dengan dukungan standar dan sistem pelaporan sosial.
- Tiongkok masih terkendala pada struktur dasar dan kebijakan regulasi, meskipun memiliki antusiasme terhadap dampak positif yang mungkin diraih.
- Perusahaan Swedia memiliki pendekatan yang lebih partisipatif dan strategis. Di sisi lain, perusahaan Tiongkok tampak reaktif dan terbatas pada inisiatif internal.
Kritik dan Rekomendasi: Menuju Keberlanjutan Sosial yang Menyeluruh
Untuk Industri Konstruksi Swedia:
- Perluas cakupan hingga rantai pasok; libatkan supplier dan subkontraktor dalam kebijakan keberlanjutan sosial.
- Masukkan target sosial dalam kontrak proyek, tidak hanya internal policy.
- Dorong kolaborasi lintas perusahaan, misalnya dengan forum bersama atau deklarasi etika industri.
Untuk Industri Konstruksi Tiongkok:
- Pemerintah perlu menyusun kebijakan yang jelas dan memberikan insentif bagi perusahaan yang mengadopsi standar sosial.
- Perusahaan dapat membentuk unit keberlanjutan khusus dan memperkuat pelaporan.
- Edukasi manajemen puncak tentang pentingnya nilai sosial dalam membangun reputasi dan kepercayaan stakeholder.
Untuk Peneliti dan Praktisi:
- Penelitian lebih lanjut perlu menggali persepsi jangka panjang terhadap profitabilitas dan manfaat sosial.
- Adopsi kerangka kerja global seperti SLCA dan indikator UNEP dapat menjadi alat bantu perencanaan strategis.
Kesimpulan
Artikel ini memberikan kontribusi penting bagi pemetaan awal sikap industri terhadap keberlanjutan sosial di dua konteks ekonomi yang berbeda. Dengan pendekatan kuantitatif yang sistematis, ditemukan bahwa meskipun terdapat antusiasme umum terhadap nilai-nilai sosial, implementasi dan dampaknya masih sangat bergantung pada konteks negara, kebijakan publik, dan budaya organisasi.
Untuk menciptakan keberlanjutan sosial yang sejati, diperlukan sinergi antara regulasi pemerintah, kesadaran korporasi, dan partisipasi masyarakat. Industri konstruksi, sebagai sektor dengan dampak sosial langsung yang besar, memiliki peran krusial untuk memainkan peran lebih aktif dalam transformasi ini.
Sumber : Zhang, J. (2017). A questionnaire survey study of the building industry’s attitude towards social sustainability in Sweden and China. Master’s Thesis, Chalmers University of Technology.