Pendahuluan: Menuju Infrastruktur Masa Depan Melalui Kolaborasi
Indonesia menghadapi tantangan besar dalam membiayai pembangunan infrastruktur di tengah kebutuhan yang terus meningkat. Pemerintah tidak lagi bisa mengandalkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) semata, mengingat keterbatasan fiskal dan kompleksitas proyek-proyek jangka panjang. Oleh karena itu, Kemitraan Pemerintah dan Swasta atau Public–Private Partnership (PPP) menjadi pilihan strategis. Laporan Public–Private Partnership Monitor: Indonesia yang diterbitkan oleh Asian Development Bank (ADB) pada Desember 2020 memaparkan gambaran menyeluruh tentang kondisi, tantangan, dan potensi pengembangan PPP di tanah air.
Laporan ini menjadi sumber penting untuk memahami lanskap regulasi, institusi, dan sektor-sektor prioritas dalam PPP. Selain itu, dokumen ini juga menyajikan data empiris dari lebih dari 500 indikator kualitatif dan kuantitatif yang merepresentasikan dinamika PPP di tingkat nasional, sektoral, dan daerah. Dengan menganalisis laporan tersebut secara mendalam, kita dapat merumuskan strategi masa depan guna menciptakan pembangunan infrastruktur yang berkelanjutan dan inklusif.
Mengapa PPP Menjadi Kunci Pembangunan Infrastruktur Nasional
Menurut estimasi ADB, kawasan Asia-Pasifik membutuhkan investasi infrastruktur sebesar $1,7 triliun per tahun hingga 2030. Untuk Indonesia sendiri, dalam rentang 2020–2024, kebutuhan investasi infrastruktur mencapai $429 miliar. Tantangannya, kapasitas APBN hanya mampu menutup sekitar 41% dari kebutuhan tersebut. Sisanya, sebesar 59%, diharapkan datang dari sektor swasta, termasuk melalui skema PPP.
PPP tidak hanya menjadi solusi pembiayaan, tetapi juga membawa nilai tambah dalam bentuk efisiensi operasional, transfer teknologi, dan manajemen risiko yang lebih sehat. Dalam konteks ini, PPP bukan hanya kerja sama pembiayaan, tetapi kolaborasi yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik dan mempercepat pertumbuhan ekonomi.
Regulasi dan Lembaga Pendukung: Pilar Kunci Kesuksesan PPP
Landasan hukum utama PPP di Indonesia adalah Peraturan Presiden (Perpres) No. 38 Tahun 2015 yang mengatur jenis-jenis proyek, skema pembiayaan, serta peran masing-masing aktor. Laporan ADB menyebut regulasi ini sebagai salah satu framework PPP paling kokoh di Asia Tenggara.
Institusi yang memainkan peran penting dalam implementasi PPP meliputi Kementerian PPN/Bappenas sebagai penyusun rencana proyek strategis, Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan sebagai penjamin proyek melalui IIGF (Indonesia Infrastructure Guarantee Fund), serta Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang memfasilitasi investasi.
Terdapat pula Project Development Facility (PDF) yang menyediakan pendanaan untuk studi kelayakan dan konsultasi proyek-proyek PPP. Skema ini menjadi insentif penting bagi kementerian/lembaga maupun pemerintah daerah agar lebih aktif mengembangkan proyek berbasis PPP.
Dinamika Sektoral: Sektor Prioritas dan Studi Kasus
Sektor jalan raya menjadi salah satu fokus utama PPP di Indonesia. Tercatat lebih dari 30 proyek jalan tol dalam pipeline PPP sepanjang 2019–2020, termasuk Jalan Tol Serang–Panimbang, Balikpapan–Samarinda, dan Solo–Yogyakarta. Proyek Balikpapan–Samarinda sepanjang 99 km, misalnya, berhasil direalisasikan lebih cepat dari target melalui kontribusi swasta, dengan nilai investasi mencapai Rp9,9 triliun.
Di sektor energi, proyek PLTP Lahendong menjadi contoh kolaborasi sukses dalam energi terbarukan. Dengan kapasitas 40 MW, proyek ini tak hanya berkontribusi terhadap ketahanan energi, tetapi juga mendukung komitmen Indonesia terhadap pengurangan emisi karbon.
Namun, tidak semua sektor berkembang mulus. Di sektor air bersih, proyek SPAM (Sistem Penyediaan Air Minum) Bandar Lampung menghadapi tantangan kompleks, termasuk resistensi masyarakat terhadap tarif dan ketidakjelasan alokasi risiko. Meski demikian, proyek ini tetap menjadi rujukan penting bagaimana PPP dapat diterapkan di sektor sosial yang rentan terhadap tekanan politik dan sosial.
Analisis Kritis: Kekuatan dan Kelemahan PPP Indonesia
Keunggulan utama dari PPP Indonesia adalah adanya kerangka hukum dan institusional yang relatif kuat serta pipeline proyek yang terus berkembang. Namun demikian, laporan ADB mengidentifikasi beberapa hambatan besar:
- Rendahnya kapasitas teknis dan administratif pemerintah daerah untuk merancang dan mengelola proyek PPP
- Ketiadaan sistem insentif yang jelas bagi proyek-proyek sosial seperti pendidikan dan kesehatan
- Ketergantungan tinggi pada prakarsa proyek pemerintah, sementara usulan dari swasta masih minim karena proses birokrasi yang kompleks
Lebih jauh, laporan ini juga menyoroti perlunya harmonisasi regulasi antarinstansi dan penyederhanaan proses tender yang dinilai terlalu panjang dan tidak konsisten antar proyek.
Perbandingan Regional: Belajar dari Filipina dan India
Jika dibandingkan dengan Filipina, Indonesia masih tertinggal dalam hal efisiensi proses dan jumlah proyek yang mencapai financial close. Filipina memiliki PPP Center yang kuat dan otonom, serta platform daring yang memungkinkan investor memantau proyek secara real-time.
India juga menjadi contoh sukses dengan skema Viability Gap Funding (VGF), yang memberikan subsidi bagi proyek-proyek yang layak secara sosial tetapi tidak secara finansial. Pendekatan ini cocok diterapkan di Indonesia untuk sektor pendidikan, rumah sakit, dan air bersih.
PPP Pasca Pandemi: Fokus pada Infrastruktur Sosial dan Digitalisasi
Pandemi COVID-19 telah mengubah prioritas pembangunan. Infrastruktur sosial seperti rumah sakit, pusat kesehatan, dan perumahan rakyat kini menjadi kebutuhan mendesak. Laporan ADB menyarankan agar skema PPP tidak lagi berfokus semata pada sektor ekonomi, tetapi juga menyentuh layanan dasar.
Salah satu inisiatif menarik adalah Palapa Ring, proyek PPP di sektor telekomunikasi yang berhasil menjangkau daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar). Proyek ini menjadi tonggak penting integrasi digital nasional, dan menjadi contoh bagaimana PPP dapat mendukung agenda inklusi digital.
Rekomendasi Strategis untuk Masa Depan PPP di Indonesia
1. Membangun PPP Center Nasional yang Independen, mirip dengan model di Filipina, agar dapat menyelaraskan kebijakan antarinstansi dan mempercepat proses evaluasi proyek.
2. Menerapkan sistem e-procurement dan e-monitoring untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas proyek PPP.
3. Mengembangkan skema insentif fiskal untuk sektor sosial, seperti keringanan pajak dan VGF.
4. Peningkatan kapasitas teknis dan SDM di pemerintah daerah, melalui pelatihan, pertukaran pengetahuan, dan kerja sama dengan lembaga internasional.
5. Mengadopsi pendekatan fleksibel dan adaptif terhadap risiko, termasuk pembagian risiko yang lebih adil dan penguatan mekanisme jaminan pemerintah.
Kesimpulan: PPP sebagai Pilar Pembangunan Berkelanjutan
Kemitraan Pemerintah dan Swasta bukan hanya solusi jangka pendek atas defisit pembiayaan, tetapi juga strategi jangka panjang untuk menghadirkan infrastruktur berkualitas tinggi secara merata. Laporan ADB menunjukkan bahwa Indonesia telah memiliki fondasi kuat, namun masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan—khususnya dalam membangun kapasitas institusi, menciptakan kepastian hukum, dan memperluas partisipasi swasta.
Dengan memperkuat kerangka PPP yang inklusif dan adaptif, Indonesia dapat menjadikan kemitraan ini sebagai pilar utama pembangunan berkelanjutan di era post-pandemi dan menghadapi tantangan global seperti urbanisasi cepat, krisis iklim, dan revolusi digital.
Sumber
Asian Development Bank. (2020). Public–Private Partnership Monitor: Indonesia. DOI: http://dx.doi.org/10.22617/SGP210069-2