Tantangan demografi global saat ini tidak lagi berdiri pada satu kutub—baik kekhawatiran terhadap angka kelahiran yang menurun maupun kecemasan mengenai pertumbuhan populasi yang dianggap tak terkendali. Di balik dinamika itu, terdapat isu yang lebih fundamental: kemampuan setiap individu untuk menentukan kehidupan reproduksinya secara bebas, aman, dan bermartabat. Inilah konsep yang semakin penting: reproductive agency.
Transisi Demografi dan Kekacauan Narasi Global
Seiring menurunnya tingkat fertilitas di berbagai negara, banyak pemerintah merespons dengan nada alarmis—seakan penurunan kelahiran identik dengan runtuhnya ekonomi atau “bunuh diri demografis”. Namun di sisi lain, sebagian negara masih khawatir akan pertumbuhan penduduk yang cepat. Pendekatan yang terpolarisasi seperti ini membuat upaya kebijakan menjadi parsial, sekaligus menutupi kenyataan bahwa di semua negara—baik berfertilitas tinggi maupun rendah—masih terdapat tingginya angka kehamilan tidak direncanakan serta keinginan memiliki anak yang belum terpenuhi Kondisi ini menunjukkan bahwa persoalannya bukan sekadar jumlah kelahiran, tetapi lingkungan sosial, ekonomi, dan kebijakan yang belum mampu memberi ruang bagi setiap orang untuk mencapai tujuan reproduktifnya.
Kebutuhan Mengubah Cara Kita Mengukur Fertilitas
Banyak negara masih terpaku pada angka “2,1” sebagai tingkat pengganti populasi. Padahal angka tersebut hanya berlaku pada kondisi yang sangat spesifik: tanpa migrasi, mortalitas rendah, dan rasio jenis kelamin seimbang. Faktanya, banyak negara dengan tingkat fertilitas di bawah 2,1 justru tetap mengalami pertumbuhan populasi karena migrasi masuk.
Lebih jauh, ukuran fertilitas konvensional sering gagal menangkap realitas hidup perempuan—seperti pergeseran waktu melahirkan, bukan perubahan jumlah anak sepanjang hidup. Ini menuntut penggunaan ukuran baru yang lebih kontekstual dan lebih berorientasi individu, bukan sekadar angka agregat negara
Kebijakan yang Lebih Adil dan Inklusif
Masih banyak negara yang menerapkan kebijakan reproduksi secara sempit: mendorong atau menekan kelahiran berdasarkan target populasi. Padahal, kebijakan semacam ini berisiko besar menggerus hak dan martabat warganya.
Kebijakan yang diperlukan justru harus:
1. Menjamin akses kesehatan reproduksi untuk semua
Mulai dari layanan kontrasepsi, perawatan kehamilan, persalinan aman, hingga penanganan infertilitas. Banyak hambatan masih bertahan: batasan usia, kebutuhan izin pasangan/orangtua, hingga larangan tertentu terhadap prosedur medis. Semua ini membatasi pilihan reproduktif terutama bagi kelompok rentan
.2. Menyediakan pendidikan seksual komprehensif
Informasi kesehatan seksual yang akurat makin tergerus oleh disinformasi. Padahal pendidikan seksual membantu remaja memahami peluang, risiko, dan hak reproduktif mereka sejak dini.
3. Memperkuat keamanan sosial dan ekonomi keluarga
Biaya pengasuhan, jam kerja yang panjang, kurangnya cuti ayah, dan budaya kerja yang keras sering menjadi penyebab orang menunda atau bahkan menghindari punya anak. Kebijakan sosial dan tenaga kerja harus menyesuaikan ritme kehidupan modern, bukan memaksakan pola lama pada generasi muda.
4. Menghapus kekerasan berbasis gender
Kekerasan dalam rumah tangga dan pemaksaan seksual berkontribusi besar pada kehamilan tidak diinginkan, rendahnya penggunaan kontrasepsi, dan trauma jangka panjang. Ini adalah hambatan langsung bagi reproductive agency.
Perubahan Norma Sosial: Kunci yang Tak Bisa Diabaikan
Bahkan kebijakan terbaik sulit bekerja tanpa perubahan norma sosial. Beban pengasuhan yang timpang masih menjadi alasan utama sebagian perempuan membatasi jumlah anak. Di sisi lain, banyak laki-laki ingin terlibat lebih banyak dalam pengasuhan namun menghadapi tekanan norma maskulinitas tradisional.
Upaya untuk menggeser norma ini—mulai dari pendidikan kesetaraan sejak kecil, role model laki-laki yang suportif, hingga kampanye publik yang menormalisasi pembagian peran—merupakan komponen penting dalam memperluas ruang kebebasan reproduksi.
Mengukur Reproductive Agency: Langkah Masa Depan
Banyak indikator global saat ini lebih fokus pada perilaku (misalnya penggunaan kontrasepsi), bukan pada kebebasan dalam membuat keputusan. Padahal data menunjukkan bahwa pembatasan terhadap agency terjadi pada laki-laki dan perempuan, termasuk tekanan untuk memiliki anak atau tekanan untuk mencegahnya, serta ketidakmampuan menolak hubungan seksual yang tidak diinginkan. Angka prevalensi ini cukup tinggi di banyak negara, menunjukkan urgensi pendekatan baru dalam pengukuran dan kebijakan reproduksi
Daftar Pustaka
State of World Population 2025 – Chapter 4: Reproductive Agency and Demographic Futures.