Pendahuluan
Menyajikan kompendium internasional tentang perkembangan, arah, dan tantangan riset pendidikan teknik. Buku ini mengumpulkan perspektif teoretis dan praktis dari lebih dari 100 penulis lintas negara dan disiplin, mengangkat tema yang sangat relevan bagi perumusan kebijakan: kebutuhan mendesak untuk memasukkan aspek sosial, etika, keadilan, dan teknologi pembelajaran ke dalam kurikulum teknik; pentingnya merit-based but contextualized assessment; serta urgensi memperluas akses dan keberagaman melalui pendekatan yang sistemik. Bagi pembuat kebijakan, IHEER bukan sekadar tinjauan akademik — ia adalah peta jalan yang menunjukkan titik intervensi kebijakan mulai dari pendidikan dasar sampai profesional, dan menegaskan bahwa perubahan budaya institusional dan praktik pengajaran adalah pra-syarat keberhasilan transformasi sektor teknik.
Isi Inti dan Implikasi Kebijakan
Menyorot bahwa perubahan yang dibutuhkan dalam pendidikan teknik bersifat multi-lapis: di tingkat kurikulum, diperlukan integrasi etika, keadilan sosial, dan keterampilan non-teknis ke dalam pembelajaran teknis; di tingkat pengajaran, kapasitas dosen dan metode pembelajaran (mis. PBL, kolaborasi interdisipliner, pembelajaran daring dan lab virtual) harus disesuaikan untuk menghasilkan “whole engineer”; di tingkat sistem, akreditasi, insentif dana riset, dan mekanisme pengukuran kompetensi perlu dirancang ulang agar menghargai kompetensi sosial dan profesional, bukan hanya output teknis kuantitatif. Buku ini juga menekankan dimensi global: kebijakan lokal harus mempertimbangkan konteks budaya dan institusional negara masing-masing, sambil belajar dari praktik terbaik internasional. Untuk negara seperti Indonesia, implikasinya mencakup perancangan kurikulum yang memadukan konteks lokal (mis. keberlanjutan, keselamatan bangunan, etika publik) dengan standar internasional, serta memperkuat kapasitas pengajar melalui pelatihan berkelanjutan yang dapat dipasangkan dengan platform pelatihan online bermutu seperti yang disediakan oleh penyelenggara kursus profesional; contohnya halaman kursus-online DiklatKerja yang dapat difungsikan sebagai mitra pelatihan berkelanjutan bagi tenaga pendidik dan praktisi teknis.
Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang Kebijakan
Dampak kebijakan yang direorientasikan pada pendidikan teknik berakar pada dua hasil pokok: pertama, peningkatan relevansi kompetensi insinyur terhadap tantangan sosial-ekologis sehingga output pendidikan lebih berguna untuk pembangunan; kedua, peningkatan inklusivitas yang menurunkan hambatan masuk dan bertahan bagi kelompok kurang terwakili. Hambatan utama dalam implementasi kebijakan tersebut ada pada kapasitas institusi — mulai dari dosen yang belum familiar pedagogi baru hingga birokrasi institusi dan model pendanaan yang melihat pendidikan tinggi sebagai komoditas. Namun peluang besar terbuka jika pemerintah dan badan akreditasi bekerja sama: pemerintah dapat menyusun kebijakan insentif (hibah kurikulum, dukungan pelatihan dosen), sementara asosiasi profesi dan penyedia pelatihan lokal seperti DiklatKerja dapat menjadi kanal untuk program short-course yang mengisi gap kompetensi praktis, misalnya modul etika profesi teknik atau modul inklusivitas budaya kerja yang bisa langsung diterapkan di industri. (contoh sumber mitra pelatihan: topik pendidikan & lingkungan akademik yang aman).
Lima Rekomendasi Kebijakan Publik (naratif lengkap dengan mekanisme pelaksanaan)
Berdasarkan sintesis, lima arah kebijakan berikut layak diprioritaskan. Pertama, penyusunan kebijakan kurikulum nasional yang mengintegrasikan “socially responsive engineering” (etika, keberlanjutan, dan keadilan) sebagai kompetensi wajib pada semua program sarjana teknik. Mekanismenya dapat berupa revisi standar nasional pendidikan tinggi teknik oleh Kementerian terkait dan LAM/PT, disertai paket pendanaan untuk institusi yang pilot-implementasikan materi baru. Kedua, program nasional pengembangan kapasitas dosen (faculty development) yang menitikberatkan pedagogi aktif, asesmen autentik, dan literasi digital pembelajaran (mis. lab virtual dan XR). Program ini harus menawarkan sertifikasi kompetensi pengajaran yang diakui oleh badan akreditasi; pelaksanaannya dapat bermitra dengan platform pelatihan profesional (mis. DiklatKerja) untuk menyediakan modul modular dan blended learning. Ketiga, reformasi akreditasi yang memasukkan indikator keberagaman, inklusivitas, dan outcome sosial — bukan hanya rasio lulusan atau perolehan SKS — sebagai bagian dari penilaian mutu prodi teknik; langkah ini mendorong institusi untuk mengejar perubahan struktural ketimbang sekadar memenuhi target administratif. Keempat, inisiatif “work-integrated learning” yang diwajibkan bagi program teknik, termasuk magang terstruktur, co-op, dan proyek berbasis komunitas, sehingga transfer pengetahuan antara industri, masyarakat, dan perguruan tinggi menjadi resmi dan diukur; skema insentif fiskal untuk mitra industri dapat mempercepat partisipasi sektor swasta. Kelima, kebijakan dukungan akses dan retensi bagi kelompok kurang terwakili—mis. beasiswa target perempuan dan program mentoring nasional—yang digabungkan dengan monitoring longitudinal untuk mengukur dampak retensi dan karier. Untuk memaksimalkan implementasi, rekomendasi kebijakan di atas harus dilengkapi pedoman monitoring, target kuantitatif jangka menengah, dan mekanisme pertanggungjawaban publik.
Kritik Potensial dan Risiko Kegagalan Kebijakan
Mengingatkan bahwa transformasi sistemik mudah menjadi agenda formalitas jika tidak disertai perubahan kapasitas dan insentif yang layak. Kebijakan kurikulum yang dipaksakan tanpa dukungan pelatihan dosen yang memadai kemungkinan hanya menghasilkan materi “kosmetik” yang tidak mengubah praktik belajar-mengajar. Demikian pula, memasukkan indikator sosial ke akreditasi tanpa metodologi evaluasi yang valid dapat memicu manipulasi data. Risiko lainnya adalah fragmentasi: kebijakan yang berjalan parsial di beberapa universitas besar tetapi tidak menyentuh institusi vokasi atau politeknik akan memperlebar kesenjangan. Oleh karena itu, mitigasi mesti melibatkan paket kebijakan terpadu yang mengkombinasikan regulasi, pendanaan, kapasitas, dan kolaborasi multi-aktor.
Kesimpulan dan Peta Jalan Kebijakan
IHEER menggarisbawahi bahwa masa depan pendidikan teknik menuntut paradigma yang lebih luas dari sekadar transmisi pengetahuan teknis: pendidik, institusi, dan pembuat kebijakan perlu membentuk ekosistem di mana kompetensi teknis, etika, inklusivitas, dan kemampuan sosial terukur secara setara. Peta jalan kebijakan harus memadukan revisi kurikulum nasional, program pengembangan dosen berskala nasional, reformasi akreditasi, penguatan kerjasama kampus–industri melalui work-integrated learning, serta dukungan retensi kelompok kurang terwakili. Implementasi terkoordinasi antara Kementerian Pendidikan, Kementerian/instansi pengatur profesi, badan akreditasi, asosiasi profesi, dan penyedia pelatihan profesional akan menjadi kunci keberhasilan jangka panjang.
Sumber
Johri, A. (Ed.). (2023). International Handbook of Engineering Education Research. Routledge. https://doi.org/10.4324/9781003287483