Membaca Masa Depan Pembangunan Pedesaan Berkelanjutan: Narasi, Infrastruktur, dan Tantangan Aksesibilitas di Swedia Tengah

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah

01 Juli 2025, 11.13

pixabay.com

Pembangunan infrastruktur sering dianggap sebagai kunci utama kemajuan wilayah pedesaan, terutama di kawasan terpencil seperti Swedia tengah. Namun, dalam praktiknya, hubungan antara aksesibilitas, infrastruktur transportasi, dan pembangunan berkelanjutan jauh lebih kompleks daripada sekadar membangun jalan atau stasiun kereta. Paper “Envisioning sustainable rural development: A narrative on accessibility and infrastructure from a Swedish region” karya Christine Große (2024) menawarkan tinjauan kritis mengenai bagaimana narasi yang dibangun oleh para pengambil kebijakan lokal membentuk arah pembangunan pedesaan, sekaligus menyoroti keterbatasan dan risiko dari narasi yang terlalu sederhana.

Artikel ini mengulas temuan utama paper tersebut, menyoroti studi kasus jaringan pemerintahan enam kota di Swedia tengah, serta menghubungkannya dengan tren global dan tantangan nyata pembangunan pedesaan—termasuk relevansinya bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia.

Infrastruktur dan Narasi: Mengapa Cerita Penting dalam Kebijakan Publik?

Narasi Sebagai Alat Pengambilan Keputusan

Dalam konteks perencanaan wilayah pedesaan, narasi bukan sekadar cerita, melainkan alat penting untuk menjelaskan isu kebijakan, mentransfer perspektif, dan membangun legitimasi solusi yang dipilih. Namun, narasi yang terlalu sederhana sering kali gagal menangkap kompleksitas masalah dan kebutuhan masyarakat yang beragam. Paper ini menyoroti bahwa narasi yang digunakan pejabat lokal di Swedia cenderung menyoroti kebutuhan “warga lokal” dan “komuter”, namun mengabaikan kelompok lain, seperti pelaku usaha, wisatawan, atau kelompok rentan dengan kebutuhan akses khusus12.

Sistem Kompleks dan Ketidakpastian

Pembangunan infrastruktur di pedesaan menghadapi tantangan besar:

  • Jangka waktu panjang antara perencanaan dan realisasi membuat kebijakan mudah usang sebelum infrastruktur selesai dibangun.
  • Perubahan sosial, ekonomi, dan lingkungan selama proses berlangsung bisa mengubah kebutuhan dan prioritas masyarakat.
  • Keterbatasan data dan partisipasi menyebabkan kebijakan seringkali hanya didasarkan pada persepsi atau narasi dominan, bukan pada pemetaan kebutuhan nyata semua pemangku kepentingan1.

Studi Kasus: Jaringan Pemerintahan Daerah di Swedia Tengah

Latar Belakang Wilayah

Studi ini berfokus pada enam kota di Swedia tengah yang membentuk jaringan kerja sama sejak 2006, dengan tujuan meningkatkan kualitas hidup penduduk melalui kolaborasi lintas wilayah. Wilayah ini relatif terpencil, memiliki kepadatan penduduk rendah, dan menghadapi tantangan klasik pedesaan Eropa: urbanisasi, penurunan populasi, dan kebutuhan akan infrastruktur transportasi yang memadai1.

Metodologi: Kolaborasi, Visualisasi, dan Dialog

Penelitian dilakukan melalui:

  • Wawancara dan diskusi kelompok dengan 17 pejabat muda (junior) dan 25 pejabat senior dari enam kota.
  • Analisis dokumen strategi, visualisasi, dan photovoice (peserta mengambil foto isu aksesibilitas di wilayahnya).
  • Workshop dan seminar yang mempertemukan pejabat lintas kota untuk mendiskusikan visi masa depan, tantangan, dan solusi.

Temuan Kunci: Narasi dan Perspektif yang Dominan

Empat perspektif utama yang membentuk narasi pembangunan pedesaan di wilayah ini adalah:

  1. Warga Lokal: Fokus pada kebutuhan mobilitas penduduk tetap, terutama untuk bekerja dan beraktivitas sehari-hari.
  2. Kerja dan Rekreasi: Menyoroti pentingnya akses transportasi untuk komuter dan aktivitas waktu luang.
  3. Lingkungan Urban: Mengidealkan kota kecil dengan akses 15 menit ke segala layanan, namun mengabaikan realitas pedesaan yang lebih luas.
  4. Layanan Transportasi Publik: Menekankan pentingnya transportasi umum, namun seringkali hanya relevan untuk area dengan kepadatan penduduk cukup tinggi.

Narasi ini cenderung mengabaikan:

  • Kebutuhan kelompok rentan (lansia, penyandang disabilitas, anak muda, migran baru).
  • Aksesibilitas untuk pelaku usaha, wisatawan, dan layanan penting seperti kesehatan, logistik, dan komunikasi digital.
  • Peran infrastruktur kritis non-transportasi (air bersih, listrik, internet) dalam mendukung pembangunan berkelanjutan12.

Analisis Studi Kasus: Tantangan dan Peluang

1. Visi Masa Depan yang Kurang Inklusif

Sebagian besar pejabat lokal membayangkan masa depan dengan pertumbuhan penduduk, peningkatan lapangan kerja, dan kualitas hidup lebih baik. Namun, visi ini seringkali seragam dan kurang memperhatikan keunikan atau kebutuhan khusus tiap wilayah. Banyak kota kecil merasa hanya “mengikuti” kota besar sebagai “lokomotif pertumbuhan”, tanpa strategi diferensiasi yang jelas1.

2. Kolaborasi dan Ketidakpastian Peran

Kolaborasi lintas kota dinilai penting, namun peran dan manfaat masing-masing kota sering tidak jelas. Kota-kota kecil merasa kurang diuntungkan, sementara kota besar dibebani ekspektasi sebagai penarik utama investasi dan penduduk. Konflik kepentingan dan alokasi sumber daya antara pusat dan pinggiran menjadi isu laten1.

3. Aksesibilitas: Antara Mobilitas dan Keterjangkauan

Masalah aksesibilitas yang diangkat lebih banyak terkait mobilitas sehari-hari (komuter, rekreasi), bukan akses ke layanan dasar atau peluang ekonomi. Visualisasi yang dihasilkan peserta menyoroti:

  • Kurangnya jalur pejalan kaki dan sepeda yang aman.
  • Minimnya koneksi bus dan informasi perjalanan.
  • Stasiun kereta dan terminal bus yang terasa tidak aman dan kurang ramah pengguna.
  • Keterbatasan sinyal telepon dan internet di beberapa area1.

4. Ketimpangan dan Spiral Negatif

Kota dengan kepadatan rendah sering kesulitan mendapatkan prioritas investasi infrastruktur. Hal ini menciptakan spiral negatif: aksesibilitas buruk → daya tarik rendah → penduduk dan bisnis enggan masuk → semakin sulit membenarkan investasi baru1.

Keterkaitan dengan Tren Global dan Studi Lain

Tantangan Serupa di Negara Lain

  • Nordic Roadmap for Rural Development menyoroti pentingnya pendekatan berbasis tempat (“place-based”), inovasi tata kelola, dan keterlibatan pemangku kepentingan untuk mengatasi tantangan serupa di seluruh Skandinavia3.
  • OECD menekankan bahwa aksesibilitas bukan sekadar soal mobilitas, tetapi juga tentang kemudahan mengakses layanan, peluang kerja, pendidikan, dan rekreasi. Mobilitas tinggi tidak selalu berarti akses tinggi, dan sebaliknya4.
  • Studi tentang perumahan pedesaan di Swedia juga menegaskan pentingnya integrasi antara akses transportasi, ketersediaan layanan, dan kebijakan perumahan untuk mendukung keberlanjutan sosial dan ekonomi5.

Implikasi untuk Indonesia dan Negara Berkembang

Banyak tantangan yang dihadapi Swedia tengah juga ditemukan di Indonesia:

  • Ketimpangan akses antara kota besar dan desa terpencil.
  • Kebutuhan akan narasi pembangunan yang lebih inklusif, tidak hanya berpusat pada kelompok mayoritas.
  • Pentingnya kolaborasi lintas wilayah dan pelibatan masyarakat dalam perumusan visi masa depan.

Kritik, Opini, dan Rekomendasi

Kelebihan Pendekatan Paper

  • Menggunakan kombinasi pendekatan naratif dan sistem untuk membedah kebijakan infrastruktur.
  • Melibatkan visualisasi dan partisipasi aktif pejabat muda dan senior, memperkaya pemahaman lintas generasi dan lintas bidang.
  • Menyoroti pentingnya “deep shadows”—isu-isu yang sering luput dari narasi dominan namun krusial bagi keberlanjutan jangka panjang1.

Keterbatasan dan Tantangan

  • Narasi yang dihasilkan masih cenderung “tanpa wajah”—kurang menampilkan karakter nyata (hero, villain, victim) yang bisa memicu aksi kolektif.
  • Kurangnya data dan perspektif dari pelaku usaha, kelompok rentan, dan otoritas nasional membatasi cakupan analisis.
  • Visi masa depan cenderung homogen dan kurang berani mengambil posisi unik atau diferensiasi strategis.

Rekomendasi Praktis

  • Perluas dialog lintas kelompok: Libatkan pelaku usaha, komunitas, dan kelompok rentan dalam perumusan visi pembangunan.
  • Kembangkan narasi yang lebih kaya dan kritis: Jangan hanya mengandalkan cerita “warga lokal dan komuter”, tapi juga kebutuhan layanan dasar, logistik, dan peluang ekonomi baru.
  • Integrasikan data dan visualisasi: Gunakan data spasial, survei kebutuhan, dan visualisasi untuk mengidentifikasi “blind spot” dan prioritas nyata.
  • Dorong inovasi tata kelola: Bangun mekanisme kolaborasi yang jelas, adil, dan transparan antar wilayah, serta pastikan distribusi manfaat dan beban yang proporsional.
  • Fokus pada keberlanjutan jangka panjang: Jangan terjebak pada solusi jangka pendek atau tren sesaat; rancang kebijakan yang adaptif terhadap perubahan sosial, ekonomi, dan lingkungan.

Penutup: Menuju Narasi Pembangunan Pedesaan yang Lebih Inklusif dan Visioner

Studi Christine Große menegaskan bahwa narasi pembangunan pedesaan harus lebih dari sekadar cerita tentang mobilitas dan pertumbuhan penduduk. Diperlukan pemahaman mendalam tentang kebutuhan beragam pemangku kepentingan, integrasi antara infrastruktur, layanan dasar, dan peluang ekonomi, serta tata kelola yang inovatif dan partisipatif. Dengan membangun narasi yang lebih inklusif dan berbasis data, wilayah pedesaan—baik di Swedia, Indonesia, maupun negara lain—dapat merancang masa depan yang benar-benar berkelanjutan dan adaptif terhadap tantangan zaman.

Sumber asli:
Christine Große (2024). Envisioning sustainable rural development: A narrative on accessibility and infrastructure from a Swedish region. Journal of Rural Studies 109, 103319.