Tinjauan Struktural Model Manajemen Bencana dan Kontribusi Masa Depannya: Sebuah Peta Jalan untuk Komunitas Akademik dan Penerima Hibah
Paragraf Pembuka: Krisis yang Terus Meningkat Membutuhkan Kerangka Kerja yang Jelas
Fenomena bencana global, yang ditandai dengan peningkatan signifikan dalam kematian, korban, dan kerugian ekonomi akibat urbanisasi, perubahan iklim, dan gangguan sosial-politik, telah menempatkan manajemen bencana sebagai disiplin ilmu yang krusial bagi pencapaian pembangunan berkelanjutan. Meskipun terdapat berbagai model yang dirancang untuk membantu pemerintah dan lembaga kebencanaan, realitasnya adalah pengelolaan bencana masih sering kali tidak efisien. Studi kualitatif ini, yang dilakukan oleh Alrehaili et al. (2022) melalui tinjauan literatur dan analisis tematik, hadir sebagai upaya mendasar untuk mengevaluasi secara kritis kontribusi model-model yang ada dan menyusun taksonomi yang komprehensif bagi bidang ini.
Penelitian ini tidak bertujuan untuk menawarkan model baru, melainkan untuk memperluas pengetahuan yang ada mengenai kegunaan dan keterbatasan model-model tersebut. Secara metodologis, studi ini mengadopsi pendekatan konstruktivis dan interpretivis, menggunakan tinjauan literatur kualitatif dan analisis konten untuk menginvestigasi realitas bencana yang kompleks, tidak stabil, dan non-linear. Aliran logis temuan dimulai dengan penegasan bahwa model adalah alat pendukung keputusan yang sangat diperlukan; mereka menyederhanakan situasi yang rumit dan membantu perencana, manajer, dan praktisi dalam mencapai keputusan yang tepat.
Temuan utama dari tinjauan ini adalah klasifikasi model manajemen bencana ke dalam lima kelompok yang berbeda: Model Logis, Model Kausal, Model Terintegrasi, Model Kombinatorial, dan Model Tidak Terkategori. Klasifikasi ini muncul dari analisis terhadap karya-karya sebelumnya oleh Asghar et al. (2006) dan Nojavan et al. (2018), yang memperkenalkan kelompok "kombinatorial" untuk model yang menggabungkan elemen dari tiga kelompok pertama. Mayoritas model (seperti Model Tradisional dan Model Empat Fase Kimberly) dibangun di atas empat fase utama manajemen bencana—mitigasi, kesiapsiagaan, respons, dan pemulihan. Namun, model Kausal, seperti "Crunch Cause Model" (2000), menunjukkan fokus yang berbeda, dengan temuan deskriptif yang menunjukkan hubungan kuat antara variabel "Bahaya (Hazard)" dan "Kerentanan (Vulnerability)"—menghasilkan koefisien deskriptif yang secara eksplisit dirumuskan: Hazard + Vulnerability = Disaster Risk. Pernyataan ini menunjukkan potensi kuat bagi pengukuran variabel dan pengembangan objek penelitian baru (Risiko Bencana) yang diidentifikasi secara kausal.
Meskipun demikian, studi ini juga mengonfirmasi keraguan yang menyelimuti model-model ini, termasuk sifatnya yang terlalu preskriptif, pendekatan "satu ukuran untuk semua" (one-size-fits-all), ketidakmampuan untuk memprediksi bencana di masa depan secara akurat, dan adanya pemahaman yang terbatas di kalangan praktisi. Intinya adalah: model-model ini berharga, tetapi implementasinya yang salah atau pemahamannya yang buruk dapat membuatnya tidak efektif, yang berpotensi menimbulkan kerugian besar bagi pemerintah dan komunitas.
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Kontribusi paling substansial dari studi ini adalah penyediaan taksonomi struktural yang memetakan lanskap model manajemen bencana. Dengan mengidentifikasi lima kelompok (Logis, Kausal, Terintegrasi, Kombinatorial, Tidak Terkategori), penelitian ini menyederhanakan kerumitan disiplin ilmu ini dan memberikan kerangka kerja yang jelas bagi akademisi untuk membandingkan dan mengontraskan model.
Kontribusi lainnya, yang didukung oleh Kelly (1999), adalah penegasan kembali peran vital model sebagai alat pengintegrasi yang menciptakan pemahaman bersama di antara semua pihak yang berkepentingan. Sebagai contoh, Model Kesehatan Manitoba (2002), yang merupakan Model Terintegrasi, memisahkan fase-fase manajemen bencana dengan jelas (Strategi, Penilaian Risiko, Pengelolaan Bahaya, Mitigasi, Kesiapsiagaan, Pemantauan dan Evaluasi), yang memungkinkan pengelolaan bencana secara efektif melalui hubungan yang fleksibel antarproses. Penemuan ini membuktikan bahwa ketika diterapkan dengan benar, model-model ini bersifat sangat bermanfaat dan merupakan teknik yang penting untuk memastikan manajemen bencana yang berhasil.
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Keterbatasan utama yang diidentifikasi dalam tinjauan ini adalah sifat preskriptif, spesifik, dan terbatas dari banyak model, yang membuatnya rentan terhadap kritik dan dipertanyakan kegunaannya oleh pengambil keputusan dan praktisi. Desain model yang langkah demi langkah mengabaikan fitur bencana yang kompleks dan sering kali kacau, yang jarang berjalan sesuai rencana.
Keterbatasan lainnya adalah anggapan "satu ukuran untuk semua" yang diterapkan oleh beberapa model, yang mengabaikan variabel spesifik setiap bencana, seperti perbedaan budaya, tata kelola, dan ketersediaan sumber daya. Ini menimbulkan pertanyaan terbuka yang mendesak:
- Bagaimana kita merancang Model Manajemen Bencana yang cukup adaptif dan fleksibel untuk mengakomodasi sifat non-linear, tidak stabil, dan tidak terduga dari bencana modern—terutama ketika bencana dapat memicu krisis dan bencana berantai (cascading disasters)?
- Mengapa, meskipun Model Kombinatorial (seperti Model Komprehensif Cuny, 1998) dirancang untuk menggabungkan kekuatan dari model lain, masih ada keraguan yang meluas dan keengganan di antara para praktisi untuk menggunakannya? Pertanyaan ini secara langsung berhubungan dengan temuan bahwa para manajer memiliki pemahaman yang terbatas mengenai penerapan model, yang menunjukkan adanya kesenjangan transfer pengetahuan yang serius.
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan
Riset lanjutan perlu secara eksplisit mengatasi kesenjangan pengetahuan dan keterbatasan model yang ditemukan dalam tinjauan ini untuk memastikan efektivitas jangka panjang disiplin ilmu manajemen bencana.
1. Pengembangan Metodologi Meta-Model Kombinatorial untuk Validasi Silang
Justifikasi Ilmiah: Tinjauan ini mengidentifikasi Model Kombinatorial (campuran Logis, Kausal, dan Terintegrasi) sebagai upaya untuk menggabungkan keunggulan model lain dan mengatasi defisiensi. Namun, efektivitas komparatifnya belum teruji secara sistematis. Arah Riset: Riset ke depan harus berfokus pada perancangan dan validasi Metodologi Meta-Model Kombinatorial dengan tujuan untuk membangun sebuah kerangka kerja kuantitatif yang dapat menetapkan bobot optimal (optimal weighting) untuk elemen-elemen dari Model Kausal dan Terintegrasi dalam fase Logis (Mitigasi/Kesiapsiagaan). Metode/Variabel Baru: Metode simulasi berbasis agen (Agent-Based Modeling, ABM) dapat digunakan untuk menguji efisiensi Kombinatorial Model, dengan variabel koordinasi antar-pemangku kepentingan sebagai variabel independen. Perlunya Penelitian Lanjutan: Ini akan mengubah model menjadi alat prediksi dan perencanaan yang lebih canggih, menggantikan dogma model tunggal dengan ekosistem model yang fleksibel.
2. Membangun dan Menguji Model Manajemen Bencana Adaptif (ADMM)
Justifikasi Ilmiah: Kritik utama terhadap model adalah sifatnya yang preskriptif dan tidak mampu menyesuaikan diri dengan variabel spesifik bencana, seperti variasi budaya dan sumber daya. Arah Riset: Diperlukan studi intervensi jangka panjang untuk mengembangkan dan memvalidasi Model Manajemen Bencana Adaptif (ADMM). ADMM harus mengintegrasikan mekanisme umpan balik cepat (real-time feedback) dan mengutamakan fase deteksi dan pembelajaran yang ditekankan dalam model seperti The Five-Stage Model Mitroff dan Pearson (1993). Metode/Variabel Baru: Pengujian kasus komparatif longitudinal pada bencana dengan variasi budaya dan pemerintahan yang berbeda (variabel konteks baru) untuk mengukur koefisien korelasi antara tingkat adaptabilitas model (variabel independen) dan waktu pemulihan komunitas (variabel dependen). Perlunya Penelitian Lanjutan: Penelitian ini sangat penting untuk menjamin relevansi model di tengah-tengah tren global yang menunjukkan peningkatan kompleksitas dan non-linearitas bencana.
3. Analisis Kesenjangan Kognitif Praktisi terhadap Pemanfaatan Model
Justifikasi Ilmiah: Studi ini menemukan bahwa manajer dan praktisi sering kali memiliki pemahaman yang terbatas atau skeptis terhadap kegunaan model. Kesenjangan kognitif ini secara langsung menghambat implementasi model yang efektif. Arah Riset: Melakukan penelitian survei berbasis skala psikometri yang luas untuk menganalisis kesenjangan antara pengetahuan model teoritis akademisi dengan keterampilan aplikasi model praktisi. Metode/Variabel Baru: Mengembangkan Indeks Kompetensi Model Bencana (ICMB) sebagai variabel independen. Uji regresi diperlukan untuk menentukan seberapa besar peningkatan ICMB (misalnya, peningkatan pelatihan model) dapat memengaruhi penurunan kerugian pasca-bencana, yang mengarah pada peningkatan efektivitas manajemen bencana secara keseluruhan. Perlunya Penelitian Lanjutan: Riset ini akan menjadi dasar bagi perumusan kurikulum pelatihan dan strategi transfer teknologi yang lebih efektif dari akademisi ke lembaga tanggap bencana.
4. Mendefinisikan Ulang dan Mengukur Ketahanan melalui Fase Pemulihan Mendalam
Justifikasi Ilmiah: Meskipun pemulihan adalah salah satu dari empat fase utama, beberapa model dianggap mengabaikan fase pra-bencana atau pasca-bencana secara memadai. Padahal, bencana merupakan ancaman signifikan terhadap pembangunan berkelanjutan. Arah Riset: Fokus pada dekonstruksi mendalam fase pemulihan, mirip dengan fokus Model Contreras (2016) pada pemulihan. Tujuannya adalah untuk mengembangkan Indeks Pemulihan Berkelanjutan Jangka Panjang (LSRI) yang berorientasi pada hasil pembangunan. Metode/Variabel Baru: Studi kasus komparatif (misalnya, antara bencana alam dan bencana buatan manusia) untuk mengukur koefisien metrik pemulihan infrastruktur (post-disaster infrastructure recovery metrics) sebagai variabel terikat, yang ditargetkan untuk kembali ke metrik yang lebih baik dari status pra-bencana. Perlunya Penelitian Lanjutan: Ini akan mengubah fokus dari sekadar kembali normal menjadi membangun kembali dengan lebih baik (Build Back Better), memberikan metrik yang jelas untuk penerima hibah yang berfokus pada hasil pembangunan.
5. Validasi Komparatif Model Terintegrasi untuk Bencana Teknologi Modern
Justifikasi Ilmiah: Tinjauan ini menunjukkan efektivitas model manajemen bencana dalam konteks bencana buatan manusia, seperti kasus ledakan industri. Model yang tidak terkategori, seperti Model Ibrahim et al. (2003), secara spesifik berfokus pada bencana teknologi. Arah Riset: Melakukan validasi komparatif model terintegrasi dan tidak terkategori (seperti Model Sistem-Oriented Terintegrasi, 2016, yang berfokus pada respons darurat, dan Model Ibrahim et al.) dalam konteks risiko industri 4.0 (misalnya, serangan siber, kegagalan infrastruktur kritis). Metode/Variabel Baru: Menggunakan analisis kerangka kerja (framework analysis) untuk membandingkan kapasitas prediktif dan responsif model-model ini terhadap bencana teknologi kontemporer. Variabel kuncinya adalah komponen ilmu sosial, teknik, dan fisika yang terintegrasi, yang telah dimasukkan dalam Model Terintegrasi McEntire et al. (2010) . Perlunya Penelitian Lanjutan: Riset ini akan memastikan bahwa kerangka kerja manajemen bencana tetap relevan di tengah pergeseran ancaman dari bahaya alam ke risiko sistemik yang didorong oleh teknologi.
Kesimpulan dan Ajakan Kolaboratif
Tinjauan struktural ini telah mengonfirmasi bahwa model manajemen bencana adalah alat yang penting, yang mampu menyederhanakan kompleksitas, mendukung pengambilan keputusan, dan mengintegrasikan aktivitas. Namun, potensi jangka panjang model-model ini hanya dapat terwujud jika komunitas riset secara kolektif mengatasi kelemahan preskriptif dan kesenjangan implementasi praktisi.
Arah riset ke depan harus berpindah dari identifikasi model menuju integrasi, adaptasi, dan validasi model secara kuantitatif dalam konteks yang beragam dan non-linear. Penelitian lebih lanjut harus melibatkan kolaborasi multidisiplin antara lembaga ilmu sosial dan tata kelola bencana (seperti pusat studi kebijakan publik), institusi teknik dan pemodelan komputasi (untuk simulasi ABM dan ADMM), dan organisasi kemanusiaan dan tanggap darurat (untuk validasi lapangan) untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil.