Bisnis.com, JAKARTA - Kepala Pusat Kajian Iklim Usaha LPEM Universitas Indonesia (UI) Mohamad Revindo mengatakan kebangkitan industri otomotif nasional pascapandemi semakin terlihat. Berdasarkan kajiannya, industri otomotif nasional terlihat terus menunjukkan geliat kuat pemulihan. Hal tersebut di antaranya terindikasi dari PDB sektor alat angkutan mencatatkan pertumbuhan tahunan sebesar 45,70 persen (year-on-year/yoy) pada kuartal II/2021, dan 27,84 persen pada kuartal III/2021, setelah pertumbuhan negatif 19,86 persen di sepanjang 2020.
"Pertumbuhan dua digit selama dua triwulan terakhir ini menunjukkan kebangkitan drastis industri otomotif nasional, setelah sempat tumbuh negatif sebesar 19,86 persen di sepanjang 2020 karena terjangan pandemi Covid-19," tulisnya pada kajian yang diterima Bisnis, Selasa (30/11/2021). Secara global, Indonesia tetap menjadi salah satu basis utama produksi otomotif berbagai pabrikan, terutama merek-merek Jepang. Tercatat terdapat 21 perusahaan industri di Indonesia, dengan total nilai investasi sebesar Rp71,35 triliun. Dari sisi ekspor, produk otomotif Indonesia diekspor ke lebih dari 80 negara termasuk Arab Saudi, Filipina, Bangladesh, dan Kuwait.
Pada sisi penjualan, data dari GAIKINDO menunjukkan adanya kenaikan penjualan ritel mobil secara signifikan sebesar 600.344 unit pada periode Januari-September 2021. Angka tersebut setara dengan kenaikan sekitar 50 persen dari periode yang sama di tahun sebelumnya, meskipun masih di bawah tingkat penjualan 2019 dan 2018.
Tidak hanya di dalam negeri, Indonesia juga telah mengekspor 235.000 kendaraan utuh (completely built up/CBU), 79.000 kendaraan secara terurai (completely knock down/CKD), dan 72 juta unit komponen, sepanjang 2021.
"Perkembangan ini jauh lebih baik dibandingkan penjualan industri otomotif global yang pada 2021 diperkirakan hanya naik 3,45 persen dari 2020," tulis Revindo. Kendati demikian, industri otomotif nasional masih akan menghadapi tantangan. Revindo menilai geliat positif ini tidak boleh membuat pemerintah dan para pelaku usaha berpuas diri karena terdapat beberapa tantangan di depan yang perlu diantisipasi. Pertama, pada Oktober 2021 harga baja dunia telah naik sebesar 57,36 persen dan harga aluminium naik 45,65 persen dari awal tahun. Implikasi dari hal ini tentunya pada kenaikan biaya produksi kendaraan bermotor.
Kedua, terdapat kelangkaan chip (semikonduktor) global yang diprediksi masih akan terus berlanjut. Rantai pasok elektronik kewalahan untuk mengikuti lonjakan permintaan yang sebenarnya dipicu naiknya permintaan chip untuk perangkat komputer/laptop dan perangkat jaringan (router/modem) sejak pandemi. Apalagi, produsen chip sempat dihadapkan pada pembatasan sosial sehingga tidak bisa dengan mudah meningkatkan kapasitas produksinya.
Ketiga, terjadi perubahan selera dan tren pergeseran teknologi untuk sepenuhnya beralih ke mobil listrik. Kesadaran masyarakat global terhadap perubahan iklim semakin menuntut pergeseran tren teknologi mobil menuju kendaraan listrik. Sejalan dengan hal tersebut, Revindo menjelaskan ada sejumlah cara yang dapat ditempuh untuk mengantisipasi berbagai tantangan tersebut dan menjaga momentum pemulihan industri otomotif nasional.
Pertama, setelah munculnya insentif fiskal diskon tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Bank Indonesia sudah tepat dalam melakukan perpanjangan kebijakan Loan-to-Value (LTV) 100 persen dan down payment 0 persen untuk pembiayaan kendaraan bermotor hingga akhir 2022. Kedua, menggunakan berbagai perjanjian dagang yang telah diselesaikan (RCEP, Indonesia-Australia CEPA, Indonesia-EFTA CEPA) serta presidensi Indonesia dalam G20 untuk memperkuat posisinya dalam rantai produksi global.
"Perlu ditekankan pentingnya negara-negara anggota tidak hanya memikirkan kepentingan internalnya ketika menghadapi krisis, misalnya membatasi ekspor komponen otomotif atau menutup pasar dalam kondisi krisis," tulisnya. Ketiga, dukungan terhadap industri mobil listrik nasional. Sejauh ini, pemerintah memberikan dukungan terhadap ekosistem mobil listrik nasional yang tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 55/2019.
Namun, implementasinya banyak dipandang belum optimal. Revindo mengatakan masih diperlukan insentif pada dua sisi. Pertama dari sisi konsumen, insentif dapat berupa diskon PPnBM yang bisa didorong hingga 0 persen serta subsidi bunga untuk pembiayaan kendaraan listrik. Kedua, dari sisi infrastruktur pendukung diperlukan banyak stasiun pengisian baterai listrik di berbagai SPBU sehingga mempermudah konsumen dalam mengisi ulang kendaraan listriknya.
Sumber: ekonomi.bisnis.com