ISU liberalisasi pendidikan tinggi atau komersialisasi pendidikan tinggi akibat penerapan PTN-BH mencuat saat ini, ditambah juga terdapat kejadian mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) kesulitan membayar UKT yang mahal. Isu ini juga dibahas dalam debat capres terakhir beberapa hari yang lalu, tapi tidak ada solusi konkret yang dipaparkan oleh para capres.
Pengamat Pendidikan sekaligus Sekretaris Komnas Pendidikan Andreas Tambah menilai bahwa liberalisasi pendidikan tinggi saat ini memang sulit dihindari. Di sini lah peran pemerintah dibutuhkan untuk melakukan kontrol. “Sebab bisnis pendidikan memang sangat menggiurkan dan tidak ada matinya sekalipun di masa krisis.
Dalam hal pengelolaan keuangan PTN-BH, pemerintah tentu perlu membuat standar pengelolaannya, di mana SOP tersebut seharus memiliki keberpihakan terhadap masyarakat dan PTN-BH perlu diaudit secara berkala,” ungkapnya kepada Media Indonesia.
Secara terpisah, Rektor Universitas Airlangga sekaligus Ketua Dewan Pertimbangan Forum Rektor Indonesia (FRI) Prof Mohammad Nasih mengungkapkan hal yang berbeda. Menurutnya saat ini tidak ada liberalisasi pendidikan. “Semua PTN ternasuk PTN-BH terikat pada peraturan dan ketentuan dari pemerintah dalam hal ini Direktorat Pendidikan Tinggi termasuk soal UKT,” ujar Prof Nasih.
Hal yang terjadi saat ini justru menurutnya PTN merasakan terlalu banyak aturan. PTN khususnya PTN-BH ditarget harus menjadi WCU (World Class University), tapi diikat dengan aturan termasuk mengenai UKT. “Ya pasti negara harus hadir memperbanyak alokasi untuk pendidikan. KIP Kuliah at cost ditambah, beasiswa S2 dan S3 ditambah juga, BPPTNBH dilipatgandakan, pajak untuk PTNBH dieliminasi dan seterusnya,” tuturnya. Dia berharap ke depannya pemerintah harus bisa lebih selektif dalam mentransformasikan PTN ke PTN-BH.
Sebelumnya, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji menegaskan saat ini tidak ada solusi konkret untuk mengentikan agenda liberalisasi di pendidikan tinggi, termasuk dari para capres.
“Pertanyaan soal UKT mahal di perguruan tinggi negeri ini juga gagal dimanfaatkan oleh para kandidat untuk membuat kebijakan baru dan skema baru dalam pembiayaan di perguruan tinggi. Semua main aman dan tidak punya keberpihakan yang jelas,” kata Ubaid.
“Misalnya Ganjar bilang, Hentikan liberalisasi pendidikan. Sementara Anies mengatakan, urusan pembiayaan adalah tanggung jawab negara dan orangtua, sedangkan perguruan tinggi fokus ke pendidikan dan urusan akademik. Saya justru mempertanyakan, bagaimana ini ide semua bisa terwujud, jika status perguruan tinggi kita masih PTNBH yang payungi oleh UU No.12 tahun 2012,” sambungnya.
Dia menekankan, jika para kandidat capres menginginkan perubahan sistem yang kini dianggap sebagai liberalisasi pendidikan, maka ide terobosannya adalah harus berani menghapus status PTN-BH, sebagai biang kerok mahalnya biaya kuliah. Sayangnya, tidak ada satu pun kandidat yang mempersoalkan status PTN-BH dan sistem yang tidak berkeadilan yang termaktub dalam UU No.12 tahun 2012.
Sementara itu, Kepala Bidang Advokasi P2G Iman Zanatul Haeri menegaskan bahwa keberadaan PTN-BH masih menjadi penghalang akses pendidikan bagi masyarakat ekonomi lemah dan harus dibenahi. “Sayangnya ini tidak dibicarakan oleh para capres,” pungkas Iman.
Sumber: mediaindonesia.com