Perkenalan
Selama beberapa dekade terakhir, Indonesia telah membuat langkah besar dalam meningkatkan akses pendidikan. Anak-anak Indonesia mulai bersekolah lebih awal dan bertahan di sekolah lebih lama daripada sebelumnya. Namun, Indonesia hanya membuat sedikit kemajuan dalam meningkatkan kualitas pendidikan dan hasil pembelajaran.
Penilaian terhadap sistem pendidikan Indonesia menunjukkan bahwa sistem pendidikan Indonesia masih terbebani oleh kualitas pendidikan yang buruk, hasil belajar yang buruk, fasilitas yang tidak memadai, dan masalah kedisiplinan. Hasil dari penilaian standar internasional terhadap prestasi siswa di negara ini relatif buruk dibandingkan dengan negara-negara lain, termasuk di Asia Tenggara.
Pada bulan Desember 2014, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu, Anies Baswedan, menyatakan secara terbuka bahwa kinerja pendidikan di Indonesia sangat buruk dan kekerasan di dalam sistem sekolah begitu meluas sehingga Indonesia menghadapi "keadaan darurat" pendidikan.
Sekilas tentang sistem pendidikan di Indonesia
Sistem pendidikan di Indonesia terdiri dari empat jenjang pendidikan: sekolah dasar (kelas 1-6), sekolah menengah pertama (kelas 7-9), sekolah menengah atas (kelas 10-12), dan perguruan tinggi. Dua tingkat pertama merupakan 'pendidikan dasar' sebagaimana istilah tersebut digunakan dalam konteks Indonesia.
Institusi pendidikan negeri mendominasi sistem pendidikan, terutama di tingkat sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Namun, sektor swasta juga memainkan peran yang signifikan, dengan jumlah sekitar 48 persen dari seluruh sekolah, 31 persen dari seluruh murid, dan 38 persen dari seluruh guru.
Sektor swasta juga menyumbang 96 persen dari seluruh institusi pendidikan tinggi (PT) dan hampir 63 persen dari seluruh pendaftaran pendidikan tinggi. Sistem pendidikan negeri sebagian besar tidak bersifat sektarian meskipun ada beberapa sekolah dan PT agama (umumnya, tetapi tidak hanya Islam).
Sebaliknya, sistem pendidikan swasta didominasi oleh sekolah dan perguruan tinggi yang berorientasi agama, khususnya yang terkait dengan dua organisasi sosial Islam utama di Indonesia, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, meskipun sistem pendidikan swasta juga mencakup lembaga-lembaga yang berorientasi komersial non-agama, terutama dalam pendidikan tinggi.
Secara umum, lembaga pendidikan negeri dianggap lebih berkualitas daripada lembaga pendidikan swasta meskipun terdapat variasi yang besar antara lembaga pendidikan negeri dan swasta.
Kinerja pendidikan
Indonesia telah membuat kemajuan besar dalam meningkatkan akses pendidikan dalam beberapa dekade terakhir. Orde Baru berinvestasi besar-besaran untuk membangun sekolah-sekolah negeri baru, terutama sekolah dasar, dan merekrut guru-guru pada tahun 1970-an dan awal 1980-an ketika Indonesia kebanjiran petrodollar akibat lonjakan harga minyak internasional.
Pada saat yang sama, pemerintah juga mendorong perluasan sistem pendidikan tinggi dengan memfasilitasi pendirian dan pertumbuhan Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Pemerintah pasca-Orde Baru terus membangun sekolah-sekolah baru (meskipun pada tingkat yang jauh lebih lambat dibandingkan dengan tahun 1970-an dan awal 1980-an)
Dengan fokus pada sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas, serta merekrut guru dalam jumlah besar. Pada tahun 2011, negara ini memiliki lebih dari 200.000 sekolah dan tiga juta guru. Mereka juga terus memfasilitasi perluasan Perguruan Tinggi Swasta (PTS).
Penyebab utama rendahnya kualitas pendidikan dan hasil pembelajaran di Indonesia
Dalam menjelaskan rendahnya kualitas pendidikan dan hasil pembelajaran di Indonesia, sebagian besar analisis - khususnya analisis yang dilakukan oleh organisasi-organisasi pembangunan internasional seperti Bank Dunia, OECD, dan ADB - menunjukkan adanya pengaruh dari empat faktor utama.
Yang pertama adalah tingkat pengeluaran pemerintah untuk pendidikan. Meskipun pemerintah Orde Baru berinvestasi besar-besaran untuk memperluas sistem sekolah selama masa booming minyak, pemerintah memangkas pengeluaran pendidikan secara signifikan setelah jatuhnya harga minyak internasional pada pertengahan tahun 1980-an.
Ekonomi politik dari kualitas pendidikan dan hasil pembelajaran di Indonesia
Buruknya kinerja lembaga pendidikan di Indonesia tidak bisa hanya dijelaskan oleh penyebab langsung yang diuraikan di atas. Hal ini juga mencerminkan bagaimana berbagai aktor elit, termasuk birokrat, pemimpin politik, dan pebisnis, sering kali menghalangi upaya-upaya untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan.
Orde Baru yang dipimpin oleh mantan Presiden Suharto didominasi oleh aliansi pejabat birokrasi dan klien korporat mereka. Tanpa dibatasi oleh aturan hukum, para pejabat ini dapat menjual akses ke fasilitas negara, lisensi, konsesi, kredit, dan posisi untuk memperkaya diri mereka sendiri dan menghasilkan sumber daya untuk tujuan patronase.
Implikasi bagi penyedia pendidikan di Australia
Dinamika politik ini dan dampaknya memiliki implikasi penting bagi penyedia pendidikan Australia, terutama universitas dan penyedia pendidikan dan pelatihan kejuruan (VET), yang keduanya sangat terlibat dalam pendidikan internasional. Dalam beberapa dekade terakhir, universitas dan penyedia VET Australia telah berusaha untuk meningkatkan kualitas penawaran mereka, meningkatkan daya saing, dan mempertahankan kelangsungan finansial.
Mereka telah melakukan hal ini dengan, antara lain, menarik mahasiswa internasional, menciptakan peluang studi di luar negeri bagi mahasiswa Australia, menjalin hubungan penelitian internasional, dan mendirikan kampus di luar negeri.
Disadur dari: www.lowyinstitute.org