Laporan Ahli: Analisis Generasi, Karakteristik, dan Pengelolaan Air Limbah Domestik di Indonesia—Tinjauan Beban Polusi Organik dan Kesenjangan Infrastruktur

Dipublikasikan oleh Hansel

16 Desember 2025, 21.47

freepik.com

Rangkuman Eksekutif dan Wawasan Strategis

Pengelolaan air limbah domestik di Indonesia menghadapi tantangan sistemik yang kompleks, diperburuk oleh pertumbuhan populasi yang mencapai 270 juta jiwa. Laporan ini menyajikan tinjauan komprehensif mengenai generasi, karakteristik, dan status pengolahan air limbah domestik, menggarisbawahi pergeseran fokus analitis yang diperlukan dari air hitam (black water) ke air abu-abu (grey water) sebagai sumber polusi organik dominan di badan air permukaan.

Temuan utama menunjukkan bahwa, meskipun air hitam (buangan toilet) memiliki konsentrasi polutan yang sangat tinggi (COD $509–2361~mg/l$) 1, air abu-abu—yang terdiri dari air limbah non-toilet—menghasilkan volume yang jauh lebih besar, yaitu 1 hingga 4 kali lebih tinggi daripada air hitam.1 Lebih krusial lagi, kuantitas air abu-abu yang tidak diolah adalah 3 hingga 6 kali lebih tinggi daripada air hitam yang tidak diolah.1

Analisis keseimbangan material mengonfirmasi bahwa beban Chemical Oxygen Demand (COD) yang tidak diolah yang berasal dari pelepasan langsung air abu-abu di kawasan perkotaan jauh melebihi beban total COD dari kebocoran tangki septik dan pembuangan air hitam langsung. Kegagalan sistemik ini menunjukkan bahwa air abu-abu menjadi kontributor signifikan terhadap polusi air, terutama karena kuantitasnya yang besar dan kurangnya pengolahan.1 Selain itu, infrastruktur pengolahan air hitam on-site, yang diandalkan oleh 79% rumah tangga 1, sebagian besar tidak memadai, dengan estimasi 83% tangki septik tidak memenuhi standar kesehatan dan kualitas.1 Kondisi ini menciptakan risiko kontaminasi air tanah yang meluas.

Oleh karena itu, diperlukan adopsi kebijakan yang terintegrasi, yaitu dengan memberlakukan skema insentif atau penalti yang mengikat di tingkat rumah tangga, komunitas, atau kota, guna memastikan pembangunan dan kualitas sistem pengolahan air limbah domestik yang efektif.1

 

Dinamika Generasi Air Limbah Domestik Indonesia

A. Profil Konsumsi Air Bersih: Determinasi Volume Air Limbah

Volume air limbah domestik di Indonesia berbanding lurus dengan pola konsumsi air bersih. Data menunjukkan adanya disparitas signifikan antara wilayah perkotaan dan pedesaan. Konsumsi air di area urban rata-rata mencapai $169 \pm 44~l/c/d$, yang telah memenuhi ambang batas optimal untuk hidrasi dan kebersihan pribadi (setidaknya $100~l/c/d$).1 Sebaliknya, konsumsi di area pedesaan rata-rata hanya $82 \pm 45~l/c/d$, yang masih berada di bawah ambang batas optimal.1

Faktor utama yang menentukan tingkat konsumsi air adalah aksesibilitas dan tingkat pendapatan. Penelitian di kota-kota seperti Bandung dan Surakarta menunjukkan bahwa rumah tangga yang terhubung dengan perusahaan air minum memiliki konsumsi air yang lebih tinggi dibandingkan yang menggunakan sumber air independen, seperti sumur individual.1 Lebih jauh, akses yang terbatas, seperti di area dengan sumur komunal, secara signifikan menurunkan konsumsi air (misalnya, di Bandung, turun menjadi $66 \pm 46~l/c/d$ untuk sumur komunal, dibandingkan $190 \pm 251~l/c/d$ untuk sambungan air).1

Data ini menyoroti sebuah hubungan sebab-akibat yang kritis: peningkatan pendapatan dan urbanisasi secara langsung meningkatkan konsumsi air domestik.1 Ketika konsumsi air meningkat, volume air limbah yang dihasilkan juga meningkat. Mengingat kapasitas pengolahan air limbah terpusat yang sangat minim ($0.3~km^{3}/\text{year}$ melawan total volume $14.3~km^{3}/\text{year}$) 1, pertumbuhan sosial ekonomi dan urbanisasi yang cepat berfungsi sebagai pengganda beban polusi, khususnya di pulau Jawa yang padat penduduk.1

B. Klasifikasi dan Kuantitas Relatif Aliran Air Limbah

Air limbah domestik dibagi menjadi dua kategori: air hitam dan air abu-abu.1 Air hitam, yang berasal dari toilet, ditandai oleh kandungan organik, nitrogen, dan fosfor yang tinggi.1 Volumenya diestimasikan relatif rendah, yaitu 36–43 l/c/d di perkotaan dan 18 l/c/d di pedesaan.1

Air abu-abu mencakup semua air limbah lainnya (wastafel, kamar mandi, dan laundry). Meskipun kandungan organik totalnya relatif rendah, volumenya mencapai 1 hingga 4 kali lipat dari air hitam.1 Di kawasan perkotaan kelas menengah, generasi air abu-abu diestimasi mencapai 137–153 l/c/d.1 Penekanan kebijakan pada air hitam sebagai sumber penyakit menular telah menyebabkan regulasi dan infrastruktur mengabaikan air abu-abu. Konsekuensinya, 51–53% air abu-abu dibuang langsung ke badan air tanpa pengolahan 1, sebuah kegagalan kebijakan yang secara kuantitatif menciptakan beban pencemaran terbesar.

 

Karakteristik Teknis dan Beban Polutan

Air limbah domestik di Indonesia mengandung serangkaian parameter yang menjadi perhatian, termasuk suspended solids, BOD, COD, minyak dan lemak, nitrogen, dan koliform.1 Konsentrasi polutan ini secara universal melampaui Standar Kualitas Air (WQS) yang ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (MoEF 2016) untuk pelepasan ke badan air.1

A. Beban Organik (BOD dan COD) dan Kontribusi Aliran

Air hitam memiliki konsentrasi BOD dan COD tertinggi: BOD berkisar $206–850~mg/l$ dan COD $509–2361~mg/l$.1 Rasio BOD/COD rata-rata di air hitam hanya sekitar 38%, mengindikasikan bahwa beban organik cenderung stabil atau kurang mudah terurai secara hayati dibandingkan air abu-abu.1

Air abu-abu, meskipun konsentrasinya lebih rendah, tetap menghasilkan nilai BOD ($125–401~mg/l$) dan COD ($232–780~mg/l$) yang jauh di atas WQS.1 Rasio BOD/COD yang tinggi pada air abu-abu (29–95%) menunjukkan bahwa sebagian besar bahan organik di dalamnya mudah terdegradasi.1 Konsentrasi COD tertinggi dalam air abu-abu diidentifikasi berasal dari aktivitas laundry ($1384 \pm 741~mg/l$).1 Penemuan ini menunjukkan bahwa masalah polusi organik air abu-abu di Indonesia sangat terkait dengan penggunaan deterjen rumah tangga, yang selanjutnya memerlukan teknologi pengolahan yang efektif dalam menghilangkan surfaktan.

B. Analisis Nutrisi dan Kontaminasi Patogen

Konsentrasi nitrogen dan fosfor yang berlebihan adalah penyebab utama eutrofikasi. Air hitam adalah sumber utama nitrogen, dengan konsentrasi amonia (${\text{NH}_{3}}\text{-N}$) mencapai $112~mg/l$, jauh melebihi standar $10~mg/l$.1 Air hitam diperkirakan menyumbang sekitar 79% dari total fosfor dalam air limbah domestik.1 Meskipun regulasi (SNI) mengatur penggunaan fosfat dalam deterjen, implementasinya masih bersifat sukarela 1, dan kontribusi fosfor dari air abu-abu mencapai sekitar 11%.1

Terkait kontaminasi patogen, data menunjukkan tingginya Faecal Coliform dalam air abu-abu (rentang $2.4\times10^{3}$ hingga $1.2\times10^{9}$ MPN/100 ml).1 Nilai ekstrem ini melampaui standar air untuk irigasi dan secara jelas mengindikasikan adanya kontaminasi tinja yang parah dalam sistem air abu-abu.1

C. Ancaman Mikropolutan

Micropolutan adalah senyawa yang ada dalam jumlah kecil tetapi dapat mengganggu ekosistem perairan. Senyawa ini meliputi surfaktan, obat-obatan, hormon, dan produk perawatan pribadi (PCPs) seperti Chloroxylenol dan DEET.1 Di Indonesia, surfaktan (diukur sebagai MBAS) terdeteksi dalam air abu-abu pada konsentrasi $0.2–22~mg/l$.1 Deteksi senyawa turunan PCPs di badan air permukaan (misalnya, Jakarta Bay dan Sungai Ciliwung) 1 berkorelasi dengan pola konsumsi di kawasan urban kelas menengah. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan standar hidup tidak hanya meningkatkan volume air limbah, tetapi juga meningkatkan kompleksitas polutan kimiawi yang dilepaskan, memerlukan teknologi pengolahan tersier yang lebih maju.

 

Evaluasi Infrastruktur Pengolahan Saat Ini dan Kesenjangan Sistemik

Sistem pengolahan air limbah domestik di Indonesia sebagian besar terfragmentasi dan tidak memadai, gagal menangani volume air limbah yang terus bertambah.

A. Keterbatasan Pengolahan Off-Site (Sentralisasi)

Infrastruktur pengolahan air limbah terpusat (sistem sewerage kota) sangat minim. Kapasitas pengolahan terpasang secara nasional hanya $0.3~km^{3}/\text{year}$, sementara total volume air limbah (domestik, komersial, dan industri) diperkirakan $14.3~km^{3}/\text{year}$.1 Hanya 1% rumah tangga di seluruh Indonesia yang terhubung ke sistem terpusat.1 Dari 514 kota, hanya 12 yang memiliki sistem terpusat, dan sebagian besar memiliki cakupan layanan di bawah 50%, kecuali Denpasar (90%).1

Hambatan utama dalam implementasi sistem terpusat mencakup masalah teknis, kendala finansial, dan kurangnya dukungan kebijakan yang berkelanjutan.1 Kegagalan dalam pengembangan infrastruktur terpusat secara agresif memaksa ketergantungan pada solusi on-site.

B. Kegagalan Sistem On-Site (Black Water Treatment)

Sebanyak 79% air hitam rumah tangga diolah menggunakan tangki septik individual atau komunal.1 Meskipun statistik ini memberikan ilusi cakupan sanitasi yang tinggi, kualitas pengolahan di tempat seringkali tidak memadai karena kurangnya kontrol kualitas, operasi, dan pemeliharaan.1 Data kritis menunjukkan bahwa 83% tangki septik di Indonesia tidak memenuhi standar kesehatan dan kualitas.1

Kegagalan yang meluas ini menyebabkan rembesan (kebocoran) air hitam yang tidak diolah, melepaskan polutan seperti Nitrogen dan Koliform secara langsung ke dalam tanah dan berpotensi mencemari akuifer air tanah dangkal yang sering digunakan sebagai sumber air bersih.1

C. Air Abu-abu: Analisis Pelepasan Langsung

Air abu-abu sebagian besar diabaikan dalam kerangka regulasi sanitasi Indonesia. Secara keseluruhan, 51–53% air abu-abu dibuang langsung ke badan air (parit atau sungai) tanpa melalui pengolahan.1 Hanya 30% air abu-abu dari kamar mandi/laundry dan 26% dari dapur yang menjalani pengolahan minimal (tangki terbuka atau tertutup).1

Karena tidak adanya kewajiban pengolahan atau skema insentif/penalti untuk air abu-abu, tingginya volume air ini—ditambah dengan pelepasan langsung yang masif—menjadi kontributor utama beban COD ke badan air permukaan, melampaui kontribusi air hitam di wilayah urban.

D. Kinerja Sistem Desentralisasi (DEWATS)

Sistem Pengolahan Air Limbah Desentralisasi (DEWATS), seperti yang diterapkan di bawah program SANIMAS, telah mencakup lebih dari 15.000 unit, biasanya melayani 20–50 rumah tangga.1 Sistem ini, yang sering menggunakan Anaerobic Baffled Reactor (ABR), menunjukkan efisiensi penghilangan BOD, COD, dan TSS yang moderat hingga tinggi (umumnya $>50\%$).1 Namun, keberlanjutan operasional DEWATS terancam oleh kelemahan institusional. Sistem ini sering dikelola oleh komunitas tanpa dukungan yang memadai. Pendanaan operasional hanya mencakup operasi harian, tidak termasuk biaya desludging atau pemeliharaan besar, yang mengakibatkan penurunan kinerja seiring waktu.1

 

Kuantifikasi Dampak Lingkungan dan Kontribusi Polusi

Analisis keseimbangan material adalah metode yang digunakan untuk mengestimasi beban polutan yang dilepaskan ke lingkungan, terutama dalam bentuk Chemical Oxygen Demand (COD).1 Estimasi ini mengungkapkan bahwa beban polusi organik yang tidak diolah ke badan air didominasi oleh aliran air abu-abu di kawasan perkotaan.

A. Model Beban Organik (COD) yang Tidak Diolah: Kuantifikasi Kritis

Hasil kuantifikasi ini memberikan bukti kuat untuk pergeseran paradigma kebijakan. Di wilayah perkotaan, beban COD yang dilepaskan ke badan air dari air abu-abu yang tidak diolah (4835 t/d) hampir dua kali lipat lebih tinggi (rasio 1.7:1) daripada beban total yang berasal dari air hitam yang tidak diolah (2857 t/d).1 Beban air hitam yang tidak diolah ini sendiri sebagian besar berasal dari kebocoran tangki septik (1799 t/d).1

Struktur polusi ganda ini menunjukkan dua jalur utama kontaminasi: air hitam, melalui kegagalan septic tank, menjadi sumber utama polusi air tanah, sementara air abu-abu, melalui pembuangan langsung, menjadi sumber utama polusi air permukaan. Di area pedesaan, beban COD yang tidak diolah relatif lebih seimbang, dengan rasio 1.06:1, konsisten dengan volume air limbah yang lebih rendah.1

B. Studi Kasus Dampak Regional

Kondisi polusi air limbah domestik telah mencapai tingkat yang parah di banyak wilayah Indonesia, terutama di kawasan yang padat penduduk.

Sungai Citarum dan Beban BOD:

Di Sungai Citarum, air limbah domestik menyumbang 84% dari total beban Biochemical Oxygen Demand (BOD) ke sungai.1 Kontribusi ini telah meningkat secara dramatis dari 44–54% pada tahun 2000, yang merupakan cerminan langsung dari peningkatan populasi dan perubahan kondisi sosial-ekonomi.1

Eutrofikasi:

Pelepasan nitrogen (N) dan fosfor (P) yang tidak terkontrol dari air limbah telah menyebabkan eutrofikasi. Waduk Saguling di hulu DAS Citarum, misalnya, telah mencapai kondisi hyper-eutrophic.1 Meskipun sumber nutrisi lain, seperti agrikultur, dominan untuk Nitrogen (71%), kontribusi dari sumber domestik (misalnya, 14% Nitrogen dan 35% Fosfor di air tanah yang mengalir ke estuari Jepara) cukup signifikan untuk mendorong perairan pesisir dan sungai ke kondisi eutrofikasi sedang hingga parah.1 Eutrofikasi ini menyebabkan penipisan oksigen, mengurangi keanekaragaman hayati, dan menimbulkan ancaman toksisitas.3

Kontaminasi Mikrobial:

Studi di sepanjang Sungai Ciliwung menunjukkan bahwa kontribusi air abu-abu mencapai 26% di hulu.1 Selain itu, kontaminasi mikrobial dari air limbah domestik, termasuk air hitam, telah terdeteksi dalam sedimen Sungai Citarum, yang menyebabkan penurunan keanekaragaman mikrobial di situs-situs yang tercemar.1

 

Kerangka Strategis dan Rekomendasi Kebijakan

Untuk mengatasi kesenjangan sistemik dalam pengelolaan air limbah, diperlukan kerangka strategis yang didasarkan pada integrasi infrastruktur, adopsi teknologi yang sesuai, dan penguatan regulasi melalui mekanisme ekonomi.

A. Prinsip Pengelolaan Terintegrasi dan Kebutuhan Riset

Infrastruktur air bersih dan air limbah harus direncanakan secara terintegrasi.1 Pengguna yang dilayani oleh perusahaan air bersih (PDAM) harus secara otomatis dianggap sebagai pengguna potensial untuk layanan pengolahan air limbah, baik melalui sistem terpusat maupun desentralisasi.

Meskipun laporan ini menyajikan sintesis data yang ada, perencanaan strategis jangka panjang masih terhambat oleh kurangnya longitudinal studies (studi jangka panjang) dan studi di luar pulau Jawa. Keragaman kondisi lingkungan dan budaya Indonesia memerlukan data yang lebih spesifik dan berkelanjutan untuk memastikan bahwa solusi yang diusulkan efektif di berbagai wilayah.1

B. Pendekatan Teknologi dan Prioritas Pengolahan Grey Water

Mengingat volume air abu-abu yang besar dan tingginya kandungan surfaktan/deterjen, teknologi pengolahan harus disesuaikan dengan kebutuhan:

  1. Pengolahan Air Abu-abu: Proses pengolahan air abu-abu harus memprioritaskan sistem biologis aerobik. Surfaktan anionik, yang merupakan polutan utama di air abu-abu, mudah terdegradasi dalam kondisi aerobik tetapi cenderung persisten dalam kondisi anaerobik.1 Pilihan teknologi on-site atau off-site harus mempertimbangkan persyaratan Operasi dan Pemeliharaan (O&M) yang minimal dan footprint lahan yang kecil, terutama di wilayah perkotaan padat.1

  2. Pemanfaatan Kembali (Reuse): Pemanfaatan kembali air abu-abu yang telah diolah untuk keperluan non-potable (misalnya, penyiraman lansekap atau toilet flushing) dapat berfungsi sebagai insentif yang kuat bagi rumah tangga untuk berinvestasi dalam sistem pengolahan.1 Namun, sistem ini wajib memerlukan pengolahan tersier, termasuk filtrasi membran dan desinfeksi, untuk menjamin keamanan air.1

  3. Penguatan Black Water Treatment: Daripada terus bergantung pada instalasi tangki septik yang 83% diperkirakan gagal, kebijakan harus mengalihkan fokus ke: (1) Pengawasan kualitas konstruksi yang ketat untuk tangki septik baru, dan (2) Pengembangan sistem DEWATS komunal yang dikelola secara profesional untuk kepadatan menengah, untuk memastikan efisiensi dan keberlanjutan O&M, termasuk desludging rutin.1

C. Mekanisme Insentif dan Penalti

Skema insentif atau penalti yang mengikat secara hukum diperlukan untuk mendorong pembangunan infrastruktur dan memastikan kualitas pengolahan air limbah domestik di tingkat rumah tangga, komunitas, atau kota.1

  1. Insentif Finansial: Pemerintah perlu menawarkan subsidi substansial untuk biaya modal (CAPEX) instalasi sistem pengolahan air abu-abu on-site atau untuk pengembangan DEWATS komunal.1 Insentif juga harus mencakup subsidi biaya operasional dan biaya desludging berkala, yang saat ini sering diabaikan oleh pengguna.1

  2. Penalti Kepatuhan: Penalti harus diterapkan pada rumah tangga yang terbukti melakukan pembuangan air limbah (terutama air abu-abu) langsung ke badan air, atau jika inspeksi menunjukkan bahwa tangki septik mereka tidak memenuhi standar teknis.1 Namun, penerapan skema penalti memerlukan investasi dalam mekanisme pemantauan yang andal dan mahal (misalnya, sistem pengukuran otomatis).1 Oleh karena itu, skema insentif yang mendorong partisipasi sukarela mungkin lebih efektif dalam jangka pendek.

 

Kesimpulan

Air limbah domestik di Indonesia merupakan penyumbang utama polusi air, dengan air abu-abu yang tidak diolah menjadi penyumbang beban COD organik terbesar di kawasan perkotaan (rasio 1.7:1 dibandingkan air hitam). Meskipun air hitam memiliki konsentrasi polutan tertinggi, pelepasan langsung volume air abu-abu yang besar (51–53%) adalah masalah lingkungan yang mendominasi air permukaan.

Kegagalan yang meluas pada sistem pengolahan air hitam on-site (83% septic tank tidak memenuhi standar) menciptakan kontaminasi air tanah yang serius, sementara kurangnya regulasi dan skema insentif untuk pengolahan air abu-abu memperburuk kondisi air permukaan (Citarum, eutrofikasi).

Disarankan agar kebijakan sanitasi segera bergeser dari fokus tunggal pada air hitam menuju kerangka pengelolaan air limbah terintegrasi yang memprioritaskan pengolahan air abu-abu melalui sistem aerobik yang didukung oleh insentif, sambil secara simultan mengamanatkan kontrol kualitas dan O&M terpusat untuk semua sistem air hitam on-site dan desentralisasi. Implementasi skema insentif/penalti di tingkat rumah tangga dan komunitas sangat diperlukan untuk menjamin kualitas pengolahan dan keberlanjutan lingkungan.

 

Sumber Artikel:

Domestic wastewater in Indonesia: generation, characteristics and treatment - PMC, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC8853296/